INKLUSIVE

Sri Nurhayati, MM
Sri Nurhayati, MM Dosen Konseling Perguruan Tinggi AMIK AKPAR CBI

Oleh :Sri Nurhayati, MM
Dosen Konseling Perguruan Tinggi AMIK AKPAR CBI

Kata kata yang dipatahkan , ide ide yang dilemahkan, bahkan sampai pada perendahan kebisaan oleh orang lain menjumpakan kita padanya : adakah dia seorang reaktif yang enggan ditempatkan pada posisi sub ordinat hingga menyatakan konfrontasi , atau justru menjadi seorang nan bersahaja dengan menempatkan diri pada posisi self introsfectif ?

Sudah fenomena umum secara lahiriah;enggan secara tegas menjadi sub ordinat. Namun lebih berat lagi menjadi seseorang nan senantiasa menumbuhkan dalam diri self introsfektif : merasa memang ” aku yang lemah” , ” aku banyak kekurangan ” , “aku tak bermakna” .

Kerangka kerangka itu semacam sistem yang terbangun secara hidden, tapi ternampak secara visible, adalah kelakuan yang sering di sebut rendah hati, pengalah, dan apresiatif atas orang lain. Kenyataan inilah yang menghadirkan ke pada kita bahwa memang ada kesifatan sebagai inklusive.

Mana kala ada metode pembelajaran “inklusive learning” akan menjadi sempit bila dikonotatif sebagai analisis berbasis empirik saat metode ini pertama kali muncul di Denmark.

Kalaulah inklusive learning selalu diartikan sebagai bagaimana seorang guru mengajar terhadap murid murid disabilitas yang merupakan case study awal mula kasus ini muncul di Denmark , maka kitapun seolah digiring ke pada ha hal yang tekstual. Hingga kemudian inklusive itu dimaknakan menjadi sebuah cara.

Inklusive itu bukanlah cara atau metode, inklusive itu tidak selalu terkait dengan metode pembelajaran (inklusive learning), tetapi dia adalah keistimewaan nan diidamkan, tentang sifat bila dicontohkan kesalah satu pelakunya merupakan sufiisme, kesifatan sufi.

Terhadap pimpinan, bila ada gejolak dari bawah, diapun mengurai dan merasa “aku memang jauh dari bijak “. Terhadap dosen, melihat kekurangan penguasaan materi pembelajaran mahasiswa, diapun mengatakan “aku masih lemah ilmu dan metode mengajar”. Seseorang terhadap rekan sejawat, “aku belum mampu menyumbang warna dalam pembauran ini “.

Lalu apakah inklusive itu semacam orang yang lemah dan selalu kalah? Justru kebalikannya bahwa dibalik memposisikan diri sebagai obyek terhadap merasa kerdil dan kurang dengan itu pula energi improvement (perbaikan diri terus menerus) berjalan secara optimal. Sampai di sini kitapun tergerak untuk deskripsi yang lebih akurat, tentang merujuk kemana inklusive ?

Sehingga kemudian induksi itu mengarah ke pada apa yang disebut tawadlu. Sifat yang menuntun perjalanan dan perilaku kita bahwa ilmu kita ibarat sisa air yang lengket pada sebatang jarum setelah dicelupkankan ke air laut dibanding ilmu Allah yang seluas lautan.

Kenyataan kenyataan itu merupakan sebab tawadlu, adalah merupakan orang yang senantiasa dimaknai secara afektif di masyarakat. Salah satu modal dasar hablumminannas :tentang seseorang yang diterima masyarakat dengan perilaku menyenangkan.

Dalam konteks sosial, inklusive merupakan kesifatan suatu masyarakat dengan kerelaan menerima perbedaan hingga menumbuhkan sifat kesetaraan dengan yang lain.

Realisasinya seperti mengajak, mengikut sertakan, melibatkan tanpa memandang berbagai perbedaan. Sifat simpaty dan empaty merupakan daya dorong yang kuat untuk mewujudkannya.

Corak dasar tentang masyarakat Indonesia, antar suku bangsa dan teritorial saling menyokong dan membaur atas kekuatan inklusive yang tertanam sudah sejak lama. Potensi yang mahal ini merupakan salah satu ruh dan energi pembangunan.

Tiada keberatan bagi suatu suku bangsa dan daerah tertentu menerima kedatangan dari luar, namun justru dipandang sebagai harapan untuk memajukan.

Sampai di sini merupakan pemahaman sesungguhnya tentang salah satu prinsip dasar yang sudah melekat pada masyarakat kita : kalau ingin maju silakan merantau.

Inklusive mengharumkan bangsa kita di negri luar, melebihi kharisma keindahan alam hingga menyebabkan visitor mobility berkelanjutan ke tanah air.

Bukan hanya untuk kepentingan investasi bisnis tetapi juga untuk konteks tourism. Barang kali hampir tidak ada percakapan orang luar negri di negrinya tentang indahnya alam Indonesia bila bangsa kita tidak inklusive, sebab mereka sendiri akan enggan berkunjung sehingga tidak ada bukti empirik tentang indahnya tanah air kita. Inklusive kita terhadap pendatang luar negri sudah bertanda pada jumpa pertama melalui inisiatif merasa akrab : How are you Mr ?. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *