Indonesia Masa Depan (2) : Melawan Musuh Besar, Import Pangan

Hazairin Sitepu (Bang HS) berdiskusi dengan
Hazairin Sitepu (Bang HS) berdiskusi dengan Rektor IPB University Prof Dr Arif Satria. (tangkapan layar)

IMPORT produk-produk pangan itu salah satu masalah besar Indonesia sebagai bangsa agraris ini. Inovasi dan teknologi adalah jalan terbaik untuk melawan dan mengatasi musuh besar itu, sehingga petani bisa lebih sejahtera dan pangan kita tidak terus bergantung kepada produk-produk sawah-ladang negara lain.

Berikut kutipan lanjutan diskusi Hazairin Sitepu (Bang HS) dengan Rektor IPB Prof Dr Arif Satria:

Bacaan Lainnya

Bang HS: Bagaimana menemukan level-level pertani itu? Berarti harus ada pemetaan?

Prof Arif Satria: Itulah, maka kita di IPB sekarang mempunyai roadmap research-nya. Pada awal menjadi rektor, yang pertama kali saya bangun adalah konsep 4.0 itu seperti apa. Konsep besarnya dulu. Kemudian butuh ekosistem apa. Kemudian di lapangan, kalau akan diterapkan, tahapannya seperti apa.

Sehingga sekarang saya bekerja sama dengan berbagai negara seperti Belanda untuk itu. Bagaimana proses transformasinya secara bijak. Teknologi yang cocok apa. Kita tidak bisa dalam konteks membangun pertanian (lalu) mengabaikan keragaman.

Bang HS: Untuk percepatan itu, butuh waktu yang banyak atau investasi yang besar?

Prof Arif Satria: Butuh keseriusan.

Bang HS: Oke…oke (kita memang butuh keseriusan).

Prof Arif Satria: Soal waktu, investasi itu tidak terlalu masalah kalau kita benar-benar serius ingin membangun pertanian inklusif. Maksud saya bukan cuma pemerintah, tetapi semua pihak termasuk perguruan tinggi.

Risetnya harus fokus ke sana. Swasta juga harus bangun, kemudian juga civil society. Jadi yang dimaksud adalah keseriusan semua pihak.

Bang HS: Bagaimana kondisi ekonomi pertanian kita pascacovid?

Prof Arif Satria: Sekarang ini, IPB serius betul ngurusin 4.0. Karena covid dan revolusi 4.0 membuat dunia ini di-restart. Jadi, sebelum covid dan revolusi 4.0, pertanian kita dengan Australia kan tertinggal jauh, dengan Jepang tertinggal jauh, dengan Belanda tertinggal jauh.

Tapi begitu ada revolusi 4.0, ada covid, ketika revolusi 4.0 tahun 2018/2019, saya keliling dunia.

Saya cek di China, sampai sejauh mana pertanian di China, majunya kayak apa untuk 4.0. Terus saya ke Australia, sampai di mana canggihnya. Saya ke Jepang, Belanda, Taiwan, saya cek semua kira-kira tingkat kemajuan ekonomi pertaniannya untuk 4.0 sampai mana. Mereka sedang belajar semua.

Kecuali Israel. Israel memang lebih cepat mengadopsi teknologi 4.0 dibanding dengan yang lain-lain.

Bang HS: Di Asia seperti apa?

Prof Arif Satria: Saya ke China, saya tanya pusat penelitian pertanian tercanggih di China di mana? Saya datangi. Saya datang ke sana, saya lihat ternyata kok masih belajar, masih uji lab. Saya ke Jepang, masih uji.

Artinya, sebenarnya posisi mereka dengan kita sama: masih belajar. Mereka belum tahu pada waktu itu bagaimana menerapkan AI untuk pertanian, bagaimana IOT untuk pertanian, bagaimana menerapkan blockchain untuk pertanian. Mereka sedang belajar juga.

Artinya sekarang ini kita start sama. Oleh Tuhan dibuat start yang sama akibat perubahan disrupsi. Maka siapa yang cepat berlari, siapa cepat belajar, itu akan bisa menang.

Artinya, sekarang momentum kita untuk berlari cepat untuk bisa. Dan saya yakin itu, mesti bisa.

Bang HS: Kuncinya apa?

Prof Arif Satria: Kita kan (unggul) soal strategi dan learning agility, kecepatan belajar terhadap hal-hal baru ini. Jadi, begitu mereka belajar AI, kita belajar AI. Kan sama posisinya. Sama-sama tidak tahu. Iya kan?

Kita ini bisa lebih survive kalau kita cepat belajar, kemudian langsung bergerak lari.

Bang HS: Ini adalah salah satu hal besar yang perlu didesain.

Prof Arif Satria: Perlu desain. Kerangka transformasi pertanian di Indonesia perlu desain yang komprehensif. Maka saya katakan perlu pertanian yang presisi dan inklusif. Presisi dalam arti teknologi. Sekarang, kalau ada penyakit tanaman, petani ambil sampel lalu lapor ke penyuluh.

Penyuluh bawa ke IPB atau ke dinas. Dianalisis penyakitnya apa. Butuh waktu berapa? Dua minggu baru tahu penyakitnya. Sekarang dengan HP, oh itu penyakitnya. Artinya, 4.0 memecahkan masalah dengan sangat cepat.

Katakanlah sawit. Pupuk itu kalau kurang, dari gambar ketahuan. Dari satelit ketahuan warna merah, kuning. Nah, sebenarnya satu area itu, yang kuning merah itu tidak semuanya. Tapi selama ini karena kita tidak tahu, kita pupuk dengan merata semuanya.

Jadi pemborosan. Nah dengan teknologi 4.0 bisa hemat 30 persen. Padahal pupuk itu adalah komponen yang paling besar dalam industri perkebunan. Jadi efisiensi banyak. Akurasi tinggi.

Bang HS: Tantangannya seperti apa?

Prof Arif Satria: Sekarang itu (pertanian) diuntungkan dengan teknologi luar biasa. Sehingga sekarang orang banyak menolak. “Mana mungkin petani di desa suruh mengadopsi 4.0”. Saya bilang, petani yang 3.0 sudah tidak ada masalah. Kita lepas. Yang lain-lain kita fasilitasi. Itulah pentingnya sociopreneur.

Tidak mungkin setiap rumah tangga punya drone sendiri dengan harga Rp300 juta. Kan tidak mungkin dia beli Rp300 juta untuk pupuk, untuk memantau kesehatan padi.

Bang HS: Lalu Siapa yang harus berperan besar di sini?

Prof Arif Satria: Itulah fungsi pemerintah, perguruan tinggi, atau lembaga sosial atau CSR perusahaan. Untuk di desa-desa itu, satu kawasan butuh 1 atau 2 drone untuk membantu kapan panen, berapa produksi, berapa prediksinya, macam-macam. Dengan teknologi itu bisa lebih akurat semua.

Karena itu, kita mendorong agar para sociopreneur, orang kampus, hadir di desa untuk menjadi fasilitator terhadap teknologi 4.0. Itu sudah keniscayaan.

 

Bang HS: Tentang kemandirian pangan, posisi kita seperti apa?

Prof Arif Satria: Untuk produksi padi, beras, alhamdulillah kita masih aman, masih relatif aman. Kemudian untuk tanaman pangan yang lain, kedelai, palawija, kita masih kurang. Karena produksi kita 400 ribu ton-an. Sementara impor 2,5 juta ton.

Bawang putih, misalnya, kita produksi 88 ribu ton dan impornya sekitar 400 ribu ton. sekitar itu gambarannya. memang untuk bawang putih dan kedelai, impornya lebih banyak dari pada produksi.

Bang HS: Bagaimana kontribusi IPB?

Prof Arif Satria: Misal untuk kedelai, IPB punya teknologi terhadap pasang surut itu. Produktivitas kedelai kalau nasional rata-rata 1.5 ton perhektar, kita bisa 4,6 ton perhektar atau 3x lipat nasional. Dan potensi lahan rawa yang ada di Indonesia ada 20 juta hektar.

Katakanlah 5 persen saja yang dipakai, berarti 1 juta hektar. berarti kita bisa produksi 4,6 juta ton kedelai.

Bang HS: Apakah itu dapat menutupi?

Prof Arif Satria: Ketutup. Artinya, di atas kertas, kalkulasi itu mungkin. Kemudian, yang kedua, bawang putih. Rata-rata nasional sekarang produktivitasnya sekitar 6 ton-7 ton perhektar. IPB sudah 15-23 ton perhektar.

Artinya, kalau kita ambil (rata-rata) 15 (ton) saja, dengan luas lahan bawang putih 40 ribu hektar, misalnya, itu sudah bisa menutupi. Karena kita impor kurang lebih sekitar 400/600 ribu ton.

Bang HS: Karena itu termasuk produk yang sering sekali krisis?

Prof Arif Satria: Kedelai ya. Lalu bawang putih itu kan penyedot devisa. Kemudian memang sekarang yang harus kita bangun adalah kemandirian pangan untuk bisa memsubtitusi produk-produk impor. Kedelai kita, sebenarnya bisa produksi. IPB sudah menyiapkan subtitusinya. Namanya kacang tunggak.

Kalau pernah makan krecek gudeg, itu membuat kacangnya putih. Dengan teknologi kita bisa buat putih, kemudian kacangnya itu sama dengan kedelai. Tastenya sama dengan kedelai.

Sekarang para pengrajin tempe tidak perlu lagi harus bergantung pada kedelai. Bisa pakai kacang tunggak. Sekarang kita produksi kacang tunggak dengan model tumpang sari.

Bang HS: Itu sudah?

Prof Arif Satria: Itu sudah kita produksi. Satu itu. Kemudian yang kedua, kita punya potensi sagu luar biasa.

Bang HS: Terutama di (Indonesia) timur ya?

Prof Arif Satria: Kita ini punya potensi singkong, sagu, sukun. Semuanya bisa dibentuk mie. Jadi mie tidak perlu dari gandum. Kemudian kita tidak perlu lagi beras tergantung dari padi. Kita punya beras dari jagung, singkong, sagu. (Secara) teknologi bisa dibuat mirip beras.

Sekarang kita bangun lagi beras dari rumput laut. Rumput laut bisa dijadikan beras. Nah subtitusi impor itu, menurut saya, harus didorong.

Bang HS: Untuk ini harus melakukan apa?

Prof Arif Satria: Saya usul kepada pemerintah begini: impor gandum itu memang tidak mungkin distop. Kita butuh mie instant, roti, dan macam-macam. Tapi yang kita lakukan adalah bagaimana ada kebijakan rasio. Kebijakan rasio adalah kalau 10 ton impor, 1 ton lokal dari produk yang diversifikasi tadi.

Kalau kapasitas bagus, sepuluh banding dua. Sepuluh banding tiga. Lama-lama bisa satu banding satu. Begitu kita dapat produk lokal, importir gandum harus membeli produk-produk lokal. Nah, produk produk lokal bisa hidup. Ekonomi hidup.

Bang HS: Beras kita aman? Dengan resources yang ada, dengan lahan dan seterusnya. Dengan penduduk kita yang 270 juta ini?

Prof Arif Satria: Sampai saat ini, data menurut pemerintah, masih aman. Tapi harus diwaspadai karena konversi lahan (masih) tidak distop. IPB pun menyiapkan instrumen untuk memonitor konversi lahan, seputar konversi lahan seminggu yang lalu. Jika bupati di Jawa Barat atau di mana pun ingin tahu minggu lalu berapa sawah yang terkonversi? Dalam waktu 10 menit bisa. Teknologi kita untuk early warning system.

Bang HS: Apakah itu sudah diterapkan?

Prof Arif Satria: Nah, kita harus ada (yang mendorong). Pemerintah tolong dipakai teknologi ini supaya mengendalikan konversi. Cuma, masalahnya, kan pemerintah di mana-mana selalu berpikir, ini ada investasi datang untuk perumahan, tekanan penduduk.

Ya, itulah. Tapi itu untuk lahan. Kedua terpenting adalah pendampingan teknologi. (bersambung)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *