Indonesia Masa Depan (1) : Sektor Tahan Banting dan Penyelamat Krisis

Hazairin Sitepu (Bang HS) berdiskusi dengan
Hazairin Sitepu (Bang HS) berdiskusi dengan Rektor IPB University Prof Dr Arif Satria

NEGARA agraris tetapi petani dan nelayan Indonesia masih miskin. Gandum, kedelai, daging, bawang putih, dan lain-lain masih import dalam jumlah sangat besar.

Penghasil produk sawit terbesar di dunia tetapi harga minyak goreng mahal. Bahan baku farmasi melimpah tetapi mengapa harus import.

Bacaan Lainnya

Hazairin Sitepu (Bang HS) berdiskusi panjang soal itu dengan Rektor IPB University Prof Dr Arif Satria.

Berikut petikan wawancara Bang HS dengan Prof Dr Arif Satria:

Bang HS: Dalam pandangan Prof Arif, persoalan apa saja yang penting di sektor pertanian, perikanan, terutama pangan, saat ini di negara kita?

Prof Arif Satria: Hal terpenting saat ini, yang urgent menurut saya, adalah desain ekonomi Indonesia pasca-newnormal yang harus kita rumuskan. Ini kan kita baru covid. 22 tahun kita kontraksi. Dan pada saat kontraksi ini ternyata sektor pertanian ataupun sektor agromaritim selalu tumbuh positif.

Bang HS: Jadi, mendesain perekonomian Indonesia pascacovid?

Prof Arif Satria: Ya. Ini penting. Karena pada saat covid, pada setiap krisis apa pun. Pada saat krisis moneter tahun 97, krisis finansial global tahun 2009, kemudian krisis karena pandemi tahun 2020-2021, ternyata sektor yang bertahan hanya pertanian.

Sektor pertanian adalah sektor yang konsisten. Selalu positif. Artinya, penyelamat ekonomi Indonesia di saat krisis adalah pertanian.

Bang HS: Sekuat apa sektor pertanian kita?

Prof Arif Satria: Pertama, selama ini tenaga kerja (sektor pertanian) kita masih dominan. Kedua, mayoritas PDRB provinsi-provinsi itu masih didominasi pertanian. Dan yang ketiga, bahwa sektor ini adalah sektor yang tahan banting. Penyelamat krisis.

Dan pada saat yang sama, kita tahu negara-negara di dunia juga sedang berpikir (untuk) menahan stok pangan.

Bang HS: Jadi sektor pertanian ini adalah sektor yang tahan banting?

Prof Arif Satria: Tahan banting.

Bang HS: Dan masyarakat pedesaan adalah masyarakat yang tahan banting juga?

Prof Arif Satria: Ya. Inilah yang harus kita apresiasi. Mereka punya jasa besar untuk menyelamatkan ekonomi nasional di saat krisis.

Sektor ini dalam kondisi normal sering kali dilupakan. Itu jasa masyarakat desa. Bahwa ketahanan ekonomi kita diperkuat oleh ekonomi desa dan ekonomi pertanian, ini harus ditambah dengan fakta bahwa negara-negara lain juga sekarang sedang menahan stok pangannya.

Maka tidak ada cara lain selain kemandirian pangan. Itu harus menjadi komitmen politik yang benar-benar dieksekusi.

 

Bang HS: Desain ekonomi pascacovid atau pada saat newnormal itu kira-kira seperti apa?

Prof Arif Satria: Kami merumuskan di IPB, bahwa pertama, sektor agromaritim harus menjadi fokus pembangunan. Kedua, desa harus menjadi lokus pembangunan. Karena agromaritim menjadi sektor yang akan didorong karena punya jasa yang besar pada saat krisis

Kemudian pada saat yang sama, dia sumber pangan, sumber energi, sumber kesehatan, sumber biomaterial. Dan kenyataan di setiap provinsi PDRB masih didominasi sektor pertanian. Maka, ketika kita mendorong sektor pertanian, sektor agromaritim, mau tidak mau akhirnya desa menjadi kekuatan.

Ketika desa menjadi kekuatan, maka ciri yang ketiga adalah ekonomi digital. Pada saat krisis sekarang ini, kita bersyukur karena didahului dengan revolusi 4.0. Digitalisasi ada di mana-mana sehingga ekonomi digital akan menjadi penciri.

Keempat adalah green economy. Karena orang sekarang sudah mulai pro-lingkungan. Orang mulai cinta lingkungan.

Kemudian yang kelima, ekonomi moral. Pada saat krisis ini, yang menyelamatkan pandemi covid ini siapa sih? Masyarakat. Karena masyarakat mempunyai social capital. Masyarakat mempunyai jiwa tolong menolong. Punya jiwa gotong royong. Kita sebut saja give economy.

Ini baru muncul sekarang dalam literatur ekonomi.

Bang HS: Kemarin, pada saat covid, di beberapa daerah, beberapa tempat, ada satu rumah yang penghuninya terkena covid. Ditulis “positif covid”. Masyarakat lain datang bawa makanan.

Prof Arif Satria: Pada saat covid, memberi adalah investasi. Dulu, memberi adalah cost. Sekarang, memberi adalah sesuatu yang penting untuk membangkitkan semuanya itu. Dan saya mengapresiasi Radar Bogor buka outlet untuk menampung UMKM-UMKM.

Kan, sesuatu yang bukan itung-itung bisnis. Saya yakin. Teman-teman Radar Bogor bukan itung-itungan bisnis tapi itungan hati. Kan gitu. Kepedulian dan sebagainya.

Itulah yang mendorong give economy itu menjadi ciri. Itu yang membedakan kita dengan ekonomi-ekonomi neolib yang ada di negara lain. Yang ada di Asia, khususnya Indonesia ini adalah give economy.

Bang HS: Lalu bagaimana dengan inovasi?

Prof Arif Satria: Inovasi akan menjadi salah satu faktor penting. Karena itu, membangun pertanian secara digital, ramah lingkungan, supaya lebih pro terhadap isu climate change.

Kemudian pertanian digital supaya lebih efisien, lebih akurat dan sebagainya. Inovasi supaya lebih berdaya saing untuk bisa mensupply konsumen yang sudah pro-lingkungan, pro-kesehatan dan sebagainya.

Sekarang, adalah bagaimana kita memahami inovasi menjadi satu kekuatan dalam ekonomi. Karena global inovation index itu berkorelasi positif dengan GDP (gross domestic pruduct) perkapita pertahun. Semakin tinggi global inovation index itu, semakin tinggi GDP perkapita pertahun.

Artinya, GDP perkapita pertahun biasanya disupport oleh inovasi yang bagus. Jadi jika kita sekarang GDP perkapita pertahun masih 4 ribu, berarti global inovasi index kita tengah tengah.

Masih belum terlalu rendah. Tapi kalo sudah di atas 30 ribu, 40 ribu, sudah pasti global inovation indexnya bagus. Sehingga itu menjadi kata kunci bahwa kemajuan sebuah bangsa, inovasi adalah kata kuncinya.

Bang HS: Lalu Infrastruktur teknologi dan digital di sektor pertanian, terutama di pedesaan, saat ini sudah seperti apa?

Prof Arif Satria: Memang kita punya dilema. Punya tantangan berbeda dibanding negara maju. Negara maju itu, kalau kita bicara level petaninya 1.0 sampai 4.0. Petani-petani di Jepang, petani di Belanda, dan petani di Australi, sebagian sudah 3.0. Sudah efisien. Sudah baik. Tinggal tambah IOT (internet of things) tambah AI (artificial intillegence) menjadi 4.0.

Nah, petani di Indonesia 3.0 banyak, 2.0 banyak, 1.0 juga banyak. Mungkin 0.0 juga banyak. Sehingga tantangan kita adalah kalau negara lain mengakselerasi pertanian, mentransformasi pertanian hanya naik satu tangga.

Kita ada yang 1 tangga, ada yg 4 tangga, tapi kepengennya maju bersama-sama. Tidak ada teori pembangunan di dunia ini yang mampu memberikan resep bagaimana membangun secara bersama-sama.

Bang HS: Siapa yang harus berperan di situ?

Prof Arif Satria: Pertama, kita harus mampu memetakan dulu. Memetakan kondisi petani di Indonesia seperti apa. Berapa yang 3.0? Berapa yang 2.0? Berapa yang 1.0? Kemudian yang 3.0 kebutuhannya apa? Kebutuhannya, misalnya, tinggal AI. Itulah yang didorong.

Desa itu kan tidak seragam. Ada desa yang memang buruh sudah langka. Karena itu butuh segera optimalisasi. Perlu drone. Karena kalau drone itu 1 hektar hanya perlu 10 menit untuk pupuk. Kalau dengan orang, perlu berjam-jam. Ongkosnya hanya Rp150 ribu. Sudah cepat harganya murah.

Bang HS: Apakah itu tidak mengancam tenaga kerja di perdesaan?

Kalau itu diterapkan dalam masyarakat desa yang masih padat karya, akan (menambah) pengangguran, kalau tidak disiapkan skenario lain. Jadi memang kita harus pilih-pilih strategi.

Memilih teknologi mekanisasi, teknologi otomatisasi, teknologi macem-macem ke setiap desa, harus bijak. Dalam arti memperhatikan realitas yang ada. Jangan digeneralisasi.

Kalau digeneralisasi bisa saja terjadi pengangguran. Karena itu butuh pemikiran yang mendalam. Proses transformasi pertanian itu bisa dilakukan dengan cepat tapi tepat dan bijak sehingga orang orang yang 1.0 harus kita gendong naik tangganya.

Kalo 3.0 biarkan saja biar market yang bekerja. Kalau yang 1.0, 2.0 harus kita gendong. Gendongnya dalam bentuk subsidi, bantuan teknologi, infrastruktur digital dibangun di desa itu.

Tapi kalo petani sudah besar-besar, hebat-hebat, dan kaya-kaya, idak perlu disupport. Hanya perlu diencorage agar tumbuh berkembang terus kemudian bermitra dengan yang bawah dan sebagainya. (bersambung)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *