Dari Kampung Laut Ke Sekolah Dokter

Teman berangkat Utrek adalah Rey Marthen Wadiwe dan Ina Nuraida Sonya Mansoben. Juga dari kabupaten Supiori. ”Kalau ayah saya mantan anggota DPRD. Dari partai PKS,” ujar Ina.

Di Papua, kata Ina, biasa saja orang Kristen jadi anggota DPRD dari PKS. Dua di antara yang ikut makan siang kemarin adalah calon mahasiswi berjilbab. Lulusan madrasah Aliyah. Mufida Alamri lulusan pesantren Hubullah. Bahasa Arabnya bagus. Saya coba menanyainya beberapa hal. Dalam bahasa Arab. Mufida menjawabnya dengan lancar. Dan tidak ragu-ragu.

Bacaan Lainnya

Mufida mengaku banyak ditanya-tanya. Oleh orang-orang Gorontalo. Yang umumnya sangat religius. Mengapa ke Tiongkok. Kok tidak ke Mesir, misalnya. Teman Mufida dari Gorontalo adalah Ajeng Elsinta Mutaji. Dari madrasah Aliyah negeri kota Gorontalo.

Utrek dan teman-teman Supiorinya mendapat beasiswa dari Tiongkok. Untuk biaya kuliah dan asramanya. Lalu dapat bea siswa dari bupati Supiori untuk keperluan makan, buku dan pakaian. Kalau Mufidah dan Ajeng hanya dapat bea siswa dari yayasan. Untuk kuliah dan asramanya. Makan ditanggung sendiri. Dengan bantuan dari pemda.

Hanya Amanda yang bapak ibunya Tionghoa. Tinggal di kota Tanjung Selor, ibukota propinsi baru: Kalimantan Utara. Tahun ini, seperti tahun lalu, Kaltara juaranya. Terbanyak mengirim calon mahasiswa: 65 orang. Mereka dari perbatasan dan dari pedalaman. Termasuk banyak yang dari suku Dayak.

Gadis-gadis Dayak nanti pasti mengagetkan orang di Tiongkok sana: kok kulitnya begitu kuning? Kok matanya juga sipit? Pasti banyak yang mengira mereka penduduk asli Tiongkok. Kelak. Kalau mereka sudah bicara dengan logat sana. Bahkan mereka ini, sumpah, bisa terlihat lebih cantik-cantik.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *