Jokowi Harus Batasi Menteri Dari Parpol

Bivitri Susanti (kanan) dan Mahfud MD/RMOL

JAKARTA, RADARSUKABUMI.com – Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-6, menghasilkan beberapa rekomendasi mengenai desain, postur, dan proses pembentukan kabinet yang sesuai dengan sistem presidensial berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD). Ahli hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengatakan, ada posisi tawar presiden dan partai-partai dalam penyusunan kabinet.

“UU Kementerian Negara dan praktik ketatanegaraan yang menimbulkan adanya koalisi, ternyata sangat membatasi hak prerogatif presiden dalam penentuan kabinet karena presiden harus memperhitungkan secara politik, posisi partai-partai politik dalam pemerintahan,” ungkap Bivitri dalam jumpa pers KNHTN di Hotel JS Luwansa, Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (4/9).

Padahal di sisi lain, Presiden juga menginginkan kabinet yang lebih profesional. Oleh karenanya, kata Bivitri, pembatasan jumlah menteri dari partai politik perlu dilakukan. “Hak prerogatif presiden harus dimaknai secara mutlak pada kriteria atau kualifikasi menteri, meski partai politik bisa saja menawarkan kader-kader ataupun profesional yang terafiliasi dengan partainya untuk menduduki jabatan menteri,” paparnya.

Pembatasan jabatan menteri bagi kalangan partai politik dan profesional juga dinilai perlu dilakukan, seperti halnya menteri yang masuk dalam kategori konstitusional.

“Yaitu menteri luar negeri, menteri dalam negeri, menteri pertahanan, harus diduduki oleh orang-orang yang profesional. Begitu juga dengan menteri-menteri lainnya yang mensyaratkan keahlian ataupun pengalaman yang khusus,” ujarnya. Rencananya, usulan KNHTN akan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo minggu ini.

KNTN yang mengusung tema ‘Membentuk Kabiner Presidensial yang Efektif’ sebelumnya dibuka Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Senin lalu (2/9). KNHTN ke-6 ini diselenggarakan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, dan Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember.

 

(rmol)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *