Kisah AM Fatwa Cendekiawan Muslim Pejuang dan Politisi

Nama AM Fatwa identik dengan ikon perlawanan dan sikap kritisnya terhadap rezim otoriter Orde Lama maupun Baru. Keteguhannya memperjuangkan keadilan serta kesewenang-wenangan rezim kala itu, membuat para pengusa tak pernah nyenyak tidurnya.

Sejak muda, lelaki kelahiran Bone, Sulawesi Selatan tersebut sudah akrab dengan teror dan tindakan represif kedua rezim. Baginya, rumah sakit dan penjara bak hal yang biasa.

Bacaan Lainnya

Terakhir kali AM Fatwa dipenjara ketika kasus Lembaran Putih Peristiwa Tanjung Priok, 12 September 1984. Khutbah-khutbah politiknya yang kritis terhadap rezim Orde Baru, membuat penguasa waktu itu gerah.

Dilansir Wikipedia, AM Fatwa dihukum 18 tahun (dijalani efektif 9 tahun lalu dapat amnesti) dari tuntutan seumur hidup. Jika diakumulasi, ia menghabiskan waktu selama 12 tahun di balik jeruji besi.

Atas segala penyiksaan yang dialami, ia merupakan satu-satunya warga negara yang pernah menuntut Pangkobkamtib di pengadilan.

Meski berstatus narapidana bebas bersyarat (1993-1999) dan menjadi staf khusus Menteri Agama Tarmizi Taher dan Quraish Shihab, mantan Sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50 itu bersama Amien Rais menggulirkan gerakan reformasi, hingga Presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998.

Sepanjang hayatnya, AM Fatwa pernah menjabat beberapa jabatan struktural dan jabatan semi official. Misalnya pada Pemda DKI Jakarta dan Staff Khusus Gubernur Ali Sadikin di bidang politik dan agama.

Deklarator sekaligus ketua DPP PAN periode 1998-2005 ini pernah menjabat Wakil ketua DPR RI (1999-2004), Wakil Ketua MPR RI (2004- 2009), Anggota DPD RI/MPR RI (2009-2014). Kemudian wakil ketua MPP PAN (2005-sekarang) dan Ketua Badan Kehormatan DPD RI (2012-2014). Pada tanggal 14 Agustus 2008, ia dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana di Istana Negara.

Dan pada tanggal 29 Januari 2009 ia memperoleh Award Pejuang Anti Kezaliman dari Pemerintah Republik Islam Iran yang disampaikan oleh Presiden Mahmoud Ahmadinejad di Teheran bersama beberapa tokoh pejuang demokrasi dan kemerdekaan dari sembilan negara.

Kepiawaian dalam berdiplomasi membuat AM Fatwa juga beberapa kali dipercaya memimpin delegasi ke sejumlah negara asing, seperti memulihkan hubungan diplomatik dengan China, merintis dibukanya kedutaan RI di Tripoli Libya, serta menjadi kordinator group kerjasama bilateral parlemen RI dan Portugal.

Semasa hidupnya, AM Fatwa juga banyak menulis berbagai karya. Setidaknya ada sekitar 24 buku AM Fatwa. Di antaranya Dulu Demi

Reformasi, Kini Demi Pembangunan (1985), Demi Sebuah Rezim, Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili (1986, 2000), Saya Menghayati dan Mengamalkan pancasila Justru Saya Seorang Muslim (1994), Islam dan Negara (1955), Menggugat dari Balik Penjara (1999), Dari Mimbar ke Penjara (1999), Satu Islam Multipartai (2000).

Selanjutnya Pengadilan Ad Hoc HAM Tanjung Priok: Pengungkapan Kebenaran untuk Rekonsiliasi Nasional (2005), Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme (2006-2007), Satu Dasawarsa Reformasi Antara Harapan dan Kenyataan (2008), Grand Design Penguatan DPD RI: Potret Konstitusi Pasca Amendemen UUD 1945 (2009), hingga Pendidikan Politik Bernegara dengan Landasan Moral dan Etika (2009).

Atas kreatifitas dan produktifitasnya menulis buku, Museum Rekor Indonesia (MURI) memberinya penghargaan sebagai anggota parlemen paling produktif menulis buku, selain penghargaan atas pledoi terpanjang yang ditulisnya di penjara masa Orde Baru.

Karena pemikiran dan pengabdiannya pada masyarakat, khususnya di bidang pendidikan luar sekolah, AM Fatwa dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada 16 Juni 2009.

Sosok yang identik dengan perjuangan itu kini telah tiada. Tadi pagi sekitar pukul 06.25, Sang Khalik memanggilnya pulang. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun, selamat jalan AM Fatwa. Jasa dan pengorbanannya akan terus dikenang.

(mam/JPC)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *