Journalis Journey Solidarity (JJS) Overland Trip 4, Eksplore Dusun Terisolir Sungai Cikaso (2-habis)

Journalis Journey Solidarity (JJS) Overland Trip 4
Tim Journalis Journey Solidarity (JJS) Overland Trip 4 saat melintasi Sungai Cikaso.

Alat Listrik Tak Pernah Awet, Kemana-mana Harus Pintar Amati Sungai

Memilih beristirahat di rumah milik warga Kadusunan Kadudahung membuat tenaga kami kembali pulih. Tapi, ada cerita lain selama merelaksasi tubuh dan bercengkrama dengan mereka. Hidup jauh kemana-mana serta dihadapkan pilihan yang mau tidak mau harus mereka terima sejak republik ini merdeka. Apa saja ?

VEGA SUKMAYUDHA, Sukabumi

Bacaan Lainnya

PAGI Itu hujan gerimis seolah tak mau berhenti. Benar kata orangtua, bulan berakhiran ber selalu ber-beran hujan. Tim semalaman tadi ada yang langsung terlelap tidur setelah diganjal makan malam suguhan empunya rumah. Tapi ada juga yang memilih ngawangkong hingga malam larut ditemani rintik hujan.

Dua rumah panggung yang kami tempati posisinya berjejer. Guyub dari malam sejak pagi begitu terasa. Beberapa tokoh masyarakat dan pemuda malah sejak malam ‘ogah’ pulang buru-buru. Mereka seperti ada teman baru.

Terlebih saat mengetahui bahwa pekerjaan kami adalah jurnalis. Segala keluh kesah mereka sampaikan seperti ingin segera dipecahkan dan dicari solusinya.

Di Kampung Kadudahung, ada sekitar 35an KK yang tinggal di sana bertahun-tahun. Mayoritas warganya bekerja sebagai petani penggarap di sekitar areal hutan konsensi Perhutani.

Pemuda-pemudinya kebanyakan memilih keluar kampung untuk bekerja dan melanjutkan sekolah. Nuansa Journalis Journey Solidarity (JJS) Overland yang kami bangun dari asas persaudaraan begitu terasa waktu itu.

Sejak pagi buta, ibu-ibu di sana sudah menyiapkan sarapan. Beberapa olahan pembuka seperti bala-bala plus sambel kacang dan kopi terhidang di teras saat kami bangun. Kebetulan, logistik makanan kami masih banyak. Sejak malam, Wilda Topan selaku juru masak tim sudah berkoordinasi dengan pemilik rumah untuk bekerjasama mengatur makanan yang akan disantap. Hehehehe.

Jika diamati, warga di sana tak ubahnya seperti masyarakat di daerah lain. Jaringan komunikasi meski kadang-kadang luplep tak menjadi masalah di handphone android milik mereka.

Hanya saja, keluhan muncul di peralatan elektronik seperti televisi, kulkas atau lampu dan lainnya. Maman salah satunya. Sang empunya rumah yang saya tempati mengaku sudah malas mengganti perangkat elektronik yang diberi oleh anak-anaknya di perantauan.

Keseringan spanneng (penurunan daya listrik) menjadi musababnya. Sejak malam saja, dua kali PLN terpaksa memutus aliran listrik. Parahnya saat listrik nyala, beban daya menjadi berkurang. Itu dapat terasa saat lampu yang tadinya menyala terang menjadi sedikit meredup.

“Tah di sini mah gitu. Apalagi musim hujan ahh sudah lah kalau mati (listrik) ya mati sekalian. Daripada mati hidup mati hidup, televisi saya jadi sering rusak,” seloroh pria paruh baya itu.

Kadang yang jadi kesal, tak pernah ada pemberitahuan akan ada pemadaman. Warga seperti dirinya sih sebetulnya terima-terima saja. Hanya intensitas mati listriknya ini yang kerap disoal dan membuat mengelus dada.

“Meski kampung saya mah jauh kemana-mana, tapi kadang kalau tidak hujan listrik sering mati tanpa sebab,” terang Maman diamini istrinya.

Apa yang menjadi keluhannya seperti diakui juga oleh Dilla, sang kepala dusun. Pria yang menemani kami melakukan bakti sosial warga terdampak banjir di daerah itu mengaku, kulkas miliknya sudah empat kali berganti. Jika sudah terkena spanneng, otomatis kekuatannya berkurang.

“Orang kaya saja tidak mungkin seperti saya. Sudah ganti kulkas empat kali,” bebernya terkekeh sembari menuju perahu miliknya.

Hidup di bantaran sungai dan jauh dari akses publik memang harus membuat sabar. Warga Kadusunan Kadudahung sudah cukup paham akan hal itu. Terlebih saat bencana banjir Sungai Cikaso bulan September lalu. Air bah yang datang tiba-tiba tidak hanya merusak pemukiman, beberapa areal pertanian sawah dan ternak hanyut jelas membuat mereka mengalami kerugian.

Dampaknya masih terlihat jelas saat tim JJS Overland menyusuri Perkampungan Ciloma dan Cibugel di Tegalbuleud.

Di beberapa rumah warga, air bekas genangan air ditandai dengan jejak tanah yang menempel di permukaan kaca rumah. Itu belum beberapa bagian rumah yang ambruk saking derasnya banjir. Tim waktu itu sengaja memilih menggunakan sampan milik sang kadus.

Lima kendaraan kami tidak bisa memaksakan menuju Ciloma. Selain tidak dilengkapi winch, medan menuju ke sana cukup terisolir di banding Kadudahung. Ciloma berada persis di pinggiran sungai. Akses jalan yang tergerus longsor langsung berbatasan dengan permukaan sungai dan tebing di sisi lainnya.

Dikomandani Dilla, beberapa warga di pinggiran sungai menyambut kami. Beberapa sembako yang sudah kami packing sedikit banyaknya bisa meringankan beban mereka. 30 menit berada di atas sampan, kami tiba di Kampung Cibugel.

Meski tidak berada di bawah kedusunannya, Dilla paham di kampung itu bantuan pemerintah belum sepenuhnya rata. Padahal, dampaknya hampir sama dengan Ciloma.

Kami memilih mendistribusikan beberapa bantuan seperti pakaian layak pakai, musaf alqur’an dan beberapa makanan anak-anak di sana. Beberapa orang tim malah sengaja mentraktir warga makanan ringan.Kebetulan ada tukang bandros yang berkeliling di sekitar kampung itu.

“Alhamdulillah emak mah atoh aya aden-aden kadieu. Didu’akeun ya sing jaradi gegeden,” celotoh Hohom, seorang warga terdampak banjir yang kami temui.

Shihabudin wakil ketua RT setempat yang kami temui amat mengucap syukur. Sebab, warganya saat ini membutuhkan pakaian layak pakai. Banjir waktu itu menghanyutkan hampir seluruh apa yang ada di dalam rumah.

Vega Sukmayudha
Jurnalis Radar Sukabumi, Vega Sukmayudha saat memberikan bantuan kepada warga di Kadusunan Kadudahung, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi.

“Saya saja tersisa cuma baju yang saya pakai saja. Waktu itu kejadian kan malam. Air tiba-tiba semata kaki, selutut, sepinggang lalu segini,” katanya yang menunjuk dada tanda ketinggian air saat kejadian.

Hidup di sekitar sungai besar, memang membuat warga harus paham akan alam. Terlebih di saat penghujan kali ini. Warganya sengaja ronda hanya untuk memantau permukaan air tiap malam. Kampungnya apalagi berada di dua sungai. Cikaso dan Cibugel.

Debit air dan arus sungai harus jadi perhitungan. Ia yang juga tenaga pengajar di SMP satu atap Cibitung juga kerap harus bijaksana. Tak bisa ia memaksakan jam mengajar apabila debit air sedang tinggi. Ia tak mau keselamatan siswa-siswinya dipertaruhkan.

“Kami ini tiap hari mengandalkan perahu sampan. Kalau tidak bisa membaca situasi (sungai) ya sangat besar resikonya,” kelakarnya.

Kabupaten Sukabumi memang memiliki banyak sisi lain. Sepanjang pulang kami hanya merenung membandingkan kualitas hidup kami yang serba mudah. Rumah panggung dan permanen di tepian sungai besar yang kami amati, tak harus membuat kami terbang ke jauh-jauh ke pedalaman Kalimantan jika ingin merasakan suasananya.

Yang membuat kami sedikit tertampar dan bangga, saat singgah di bangunan permanen SMP 1 Atap Cibitung. Di situ tertulis pemerintah Australia selaku donatur utama pembangunannya. Luarrr biasa.

Jauh-jauh dari seberang Tegalbuleud untuk kemajuan dunia pendidikan di pelosok. Kita bisa apa dan harus seperti apa ? Jangan lupa, Hidup adalah Udunan. (***)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *