Mengenal Sejarah Bencana Besar di Sukabumi, Ini Yang Perlu Diwaspadai

MEMBERSIHKAN : Salah seorang warga di Kampung Cibuntu, Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi saat membersihkan rumahnya yang terkena bencana banjir bandang

SUKABUMI — Jangan lupakan sejarah, adalah kata yang sering diucapkan untuk mengenang jasa para pahlawan. Namun, hal itu juga cocok digunakan untuk mengenal sejarah kebencanaan di wilayah di Kota dan Kabupaten yang pernah terjadi dan sekwatu-waktu bisa kembali terjadi seiringing dengan tanda-tanda alam. Bukan untuk menakut-natukti, tetapi mengajak masyarakat untuk siap untuk selamat ketika bencana besar melanda.

Kota dan Kabupaten Sukabumi terkenal dengan kondisi hutan, gunung rimba dan laut yang begitu indah. Namun, dibalik keindahannya sejarah mencatat pernah terjadi beberapa bencana besar yang menewaskan ratusan penduduknya, mulai dari letusan Gunung Gede Pangrango dan Gunung salak, kedua Pergerakan patahan sesar Cimandiri yang belakangan ini aktif selalu memunculkan getaran gempa, kemudian bencana Tsunami disepanjang pesisir pantai Selatan Kabupaten Sukabumi.

Bacaan Lainnya

Berdasarkan penulusaran sejarah, untuk letusan Gunung Gede Pangrango pertama kali terjadi pada tahun 1747/1748. Kemudian disusul letusan kecil pada tahun 1761, 1780, dan 1832. Setelah tertidur hampir 100 tahun, pada pukul 03,00 WIB tanggal 12 November 1840 terjadi letusan besar secara tiba-tiba dengam semburan api setinggi 50 meter ke udara. Pada tanggal 14 November letusan kembali terjadi dengan mengeluarkan batu besar yang berdiameter 1 meter lebih, disemburkan keudara.

Kemudian sekitar tanggal 1 Desember tahun 1840, letusan disertai hujan abu disemburkan sangat tinggi mencapai 200 m diatas puncak Gede. Salah satu letusan yang sangat hebat terjadi pada tanggal 11 Desember 1840 letusan sangat intens terjadi dan mengeluarkan hujan abu yang menutupi cahaya matahari dan gemuruh besar yang seringkali terjadi seperti halnya energi statis pada abu diberi listrik sehingga mengeluarkan energi. Aktivitas letusan akhirnya berhenti pada bulan Maret tahun 1841.

Namun, letusan-letusan kecil masih saja terjadi. Tercatat ada 24 kali terjadi setelah itu dalam kurun waktu 150 tahun. Misalnya, tahun 1852 terjadi letusan yang menghancurkan penginapan di Kandang Badak, tahun 1886 terjadi letusan yang disertai oleh hujan abu setebal 50 cm disemburkan sampai sejauh 500 meter dari kawah yang menghancurkan hampir seluruh vegetasi.

Kemudian Tahun 1940/1950 beberapa kali terjadi letusan kecil-kecil. Tahun 1957 merupakan letusan gunung Gede yang terakhir, namun ini bukan merupakan hal yang melegakan, karena semakin lama suatu gunung tidak aktif, dan bila terjadi letusan, akan merupakan letusan yang sangat besar dan hebat.

Sementara untuk kondisi Gunung Salak, hampir sama seperti kondisi gunung Gede Pangrango. Meski gempa-gempa masih terbilang kecil, aktifitas Gunung api purba tersebut mengharuskan masyakarat tetap waspada. Catatan dalam data dasar Gunung Api Indonesia (Edisi Kedua) menuliskan 5 Januari, 319 tahun silam merupakan letusan Gunung Salak Pertama kalinya. Letusan di akhir abad 16 itu pun membawa kerusakan masif di bangunan-bangunan sepanjang Bogor hingga Batavia (sekarang Jakarta). Abu hitam menyembur setinggi 50 ribu kaki dari puncak Gunung Salak.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *