Kisah Kampung Mati Gunung Batu Sukabumi

Kampung Gunung Batu Sukabumi
Suasana di Kampung Gunung Batu, Desa Kertaangsana, Kecamatan Nyalindung, tampak sunyi jadi kampung mati, pasca diterjang bencana retakan tanah.

RADARSUKABUMI.com – Suasana sunyi dan sepi, tampak terasa saat memasuki Kampung Gunung Batu, Desa Kertaangsana, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi. Area perkampungan yang dulunya, ramai dengan hingar bingar aktivitas warga.

Namun, kini menjadi kampung mati dan kondisinya kosong melompong ditinggalkan warga, akibat dilanda bencana retakan tanah pada beberapa tahun silam. Namun, di kampung sunyi itu, masih ada sejumlah warga yang masih tinggal di rumah yang kondisinya cukup memprihatinkan.

Bacaan Lainnya

Laporan – Dendi Koswara Dikusumah, Nyalindung

Nasib memilukan menimpa sejumlah warga penyintas bencana alam pergerakan tanah di Kampung Gunung Batu, Desa Kertaangsana, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi.

Bagaimana tidak, sedikitnya sembilan warga dari tiga kepala keluarga (KK), terpaksa harus rela tinggal bertahun-tahun di kampung mati mati, pasca diterjang bencana retakan tanah pada beberapa tahun silam.

Selama empat tahun itu, sembilan warga penyintas bencana tersebut tinggal di rumah yang kondisi bangunannya miring akibat diterjang bencana alam. Padahal, pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi kerap mengagungkan wacana untuk memberikan bantuan hunian tetap (Huntap). Namun, hingga saat ini bantuan tersebut belum kunjung terealisasi.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Radar Sukabumi, dulunya di Kampung Gunung Batu, Desa Kertaangsana, Kecamatan Nyalindung itu, terdapat sekitar 129 rumah yang di huni oleh 482 jiwa dari 161 kepala keluarga (KK).

Namun, setelah dilanda bencana pergerakan tanah pada Mei 2019 silam, kampung tersebut langsung dikosongkan. Mereka terpaksa meninggalkan kampung itu. Lantaran, retakan tanah tersebut, selain memporak porandakan bangunan rumah, juga merusak area pesawahan dan tempat pemakaman umum (TPU) yang ada di wilayah tersebut.

Salah seorang warga yang terdampak dari bencana pergerakan tanah di kampung tersebut, Omah Romlah (52) mengatakan, ia bersama suami dan satu orang anaknya, terpaksa harus tinggal di kampung mati atau rumah yang terdampak bencana alam itu. Lantaran, selain keterbatasan faktor ekonomi, juga ia sangat menyayangkan jika rumah satu-satunya itu, ditinggalkan begitu saja.

“Saya dari dulu tinggal disini dan kami memilih tetap bertahan. Kami hanya mengungsi ke rumah yang lebih aman atau menyewa rumah, hanya untuk keperluan tidur saja, khususnya ketika musim hujan dengan intensitas tinggi, dan akan kembali lagi ke rumah ini saat sudah reda hujan,” kata Omah pada Kamis (16/03).

Dirinya juga, mengaku khawatir jika terus tetap tinggal di rumah yang kondisinya cukup memprihatinkan itu. Terlebih, jika saat turun hujan deras mereka merasa cemas bila sewaktu-waktu rumah yang mereka tinggal ambruk, akibat bencana susulan.

“Iya takut, kalau siang masih disini. Tapi, kalau malam ngontrak, kalau hujan deras ya pergi ke kontrakan, tapi kalau hujannya kecil ya disini. Kami sudah sudah empat tahun yah di sini, semenjak bencana itu. Makanya, ingin cepat-cepat ada bantuan hutap dari pemerintah,” tandasnya.

Pos terkait