Babak Baru AI: Pertaruhan Profesionalisme di Era ChatGPT

kang-warsa

Oleh Kang Warsa

Tahun 2014, saat penggunaan ponsel cerdas terus mengalami tren peningkatan, saya memperbincangkan “hilangnya ranah privasi di ruang maya” dengan seorang teman. Berbagai platform media sosial mengalami pertumbuhan sejalan dengan peningkatan pengguna ponsel cerdas dan pertumbuhan akun media sosial.

Bacaan Lainnya

Surutnya wilayah privasi diawali oleh pengguna media sosial saat menuliskan atau menerbitkan status tentang dirinya, makanan yang dikonsumsi, keseharian dan gerak-gerik harian, kegemaran, hingga masalah keluarga dan apa saja yang menimpa dirinya.

Belum lagi disempurnakan oleh gerak tubuh dan tarian lenggak-lenggok di depan kamera ponsel. Sikap ini dipandang absurd dan aneh di masyarakat tradisional karena terlalu vulgar membicarakan diri sendiri sampai tidak ada lagi wilayah rahasia. Vulgar berarti terbuka selebar-lebarnya.

Kecerdasan buatan (artificial intelligence) hanya sebatas wacana saat itu. Namun dunia sedang mengarah ke sana, secara perlahan, kehadiran gawai-gawai cerdas mulai menggantikan peran para profesional.

Gawai cerdas berkembang menjadi mesin-mesin yang mampu mempelajari, mengolah data, dan memberikan saran bagi pemiliknya. Pemilik gawai cerdas –dapat  saja– justru dikalahkan oleh gawainya sendiri.

Misalnya, gawai cerdas dengan algoritma bawaannya mampu mendeteksi aktivitas keseharian, merekam jejak aktivititas, dan membuat formula yang tepat tentang tindakan apa yang harus dilakukan oleh pemiliknya agar sesuai dengan habit track.

Pemilik ponsel cerdas sendiri tidak menyadari atau memiliki kemampuan melacak perilaku kesehariannya, atau mungkin saja tidak mau tahu bahwa aktivitas hidupnya sedang direkam dan dicatat oleh mesin cerdas secara berkala.

Kecerdasan alamiah yang dimiliki oleh manusia tercipta melalui rentang waktu hingga puluhan ribu tahun. Manusia mengetahui bukan matahari yang bergerak mengelilingi bumi melainkan sebaliknya baru terjadi di era Copernicus di abad ke 15. Manusia baru mengetahui bulan merupakan benda angkasa yang terjebak oleh gravitas bumi baru pada abad ke 19.

Bahkan manusia mengetahui “quark” sebagai penyusun materi (unsur fundamental alam) yang berukuran lebih kecil dari atom baru terjadi akhir-akhir ini. Sementara itu, kecerdasan buatan sejak penemuan komputer pertama pada tahun 40-an terus melakukan revolusi secara cepat bahkan lebih cepat dari prediksi para ahli teknologi dan pembuatnya sendiri.

Laju kecerdasan buatan berbanding lurus dengan jumlah data yang dikirimkan oleh manusia ke dalam sistem daring kemudian sampai menghasilkan sebuah big data.

Google menjadi serba tahu karena memiliki bank data mengenai berbagai informasi yang dikirimkan oleh para pengguna ponsel cerdas. Sejak awal ponsel cerdas dengan sistem operasi android, saat itu juga informasi dialirkan ke saluran maya oleh para pemilik ponsel.

Keunggulan mesin cerdas yaitu mampu merekam setiap data dan menyimpannya dalam waktu lama, kemudian membekas menjadi jejak digital, dan akan datang kembali jika dipanggil berdasarkan kata-kata kunci yang tepat. Seluruh informasi daring ini diperoleh dari informasi yang disetorkan secara cuma-cuma oleh para pengguna ponsel cerdas.

Sangat berbeda dengan aktivitas di ruang nyata, misalkan seseorang akan benar-benar hilang di dunia nyata saat meninggal dunia, bekas dan jejaknya berujung pada batu nisan yang dilabeli namanya.

Sementara itu, jejak digital akan terus hidup dan dapat diakses oleh siapapun. Akun-akun mati yang ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya masih dapat diakses oleh orang lain, bahkan beberapa data gambar pada akun media sosial yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya ini masih dapat diunduh secara cuma-cuma. Artinya, tidak ada kecerdasan buatan ketika pasokan informasi dari pengguna gawai cerdas sangat minim.

Big data sebagai informasi yang terhimpun dari para pengguna gawai tidak sepenuhnya memiliki validitas dan akurasi yang benar. Sama halnya dengan informasi yang dihimpun oleh manusia selama puluhan ribu tahun.

Informasi tentang sejarah kehadiran dan sepak terjang manusia yang terdapat pada buku-buku sejarah pun tidak sepenuhnya valid dan benar atau berdasarkan fakta historis saat peristiwa terjadi.

Hanya saja, kecerdasan buatan mampu mengeliminasi data-data yang tidak valid jika di kemudian hari muncul informasi yang lebih valid dari sebelumnya.

Semua data ini berasal dari pasokan informasi yang dikirimkan oleh manusia ke dalam jagat maya. Raksasa media sosial seperti Facebook lebih lihai dalam proses pengumpulan data pengguna. Facebook hanya cukup menambahkan sebuah tombol untuk mendapatkan informasi detail seseorang.

Hanya dengan membuat satu pertanyaan sederhana, Facebook telah berhasil menjaring milyaran informasi para penggunanya. Bandingkan dengan BPS (Badan Pusat Statistik), untuk mendapatkan informasi pekerjaan warga negara, lembaga ini harus menyiapkan petugas pencacah lapangan. Waktu yang dibutuhkan bisa sampai satu hingga tiga bulan.

Kendati demikian, survey (tindakan memata-matai) oleh media sosial bukan berarti pengguna media sosial merupakan sosok-sosok berbahaya secara politis. Mereka mengepul informasi dan mengawasi pengguna media sosial atas kepentingan ekonomi.

Saat seseorang menonton salah satu video atau membuka gambar satu produk, pada tahap berikutnya video dan iklan serupa akan tampil otomatis di beranda media sosial, secara tidak langsung kita digaet untuk menonton dan membuka konten-konten serupa.

Mau tidak mau, karena konten-konten ini secara otomatis berseliweran di beranda media sosial. Algoritma media sosial membaca gerak-gerik kita dan diterjemahkan sebagai seseorang yang menyukai produk tertentu.

Kondisi keuangan seseorang dapat dibaca oleh algoritma mesin pembelajaran, tanpa disadari, pada beranda media sosial muncul tawaran pinjaman dari berbagai platform lembaga keuangan daring (pinjol). Siapa yang tidak tergiur oleh pinjaman dengan persyaratan ringan di saat kondisi keuangan sedang surut?

Para pemilik dan penyandang saham media sosial mengenal secara detail gerak-gerik hingga kebiasaan orang Indonesia. Sekadar untuk membuat gaduh seperti yang pernah terjadi di Suriah dengan isu Arab Spring mereka sebenarnya dapat melakukannya. Namun, bagi para pebisnis global, kondisi porak-porandanya sebuah negara, apalagi Indonesia sama dengan menghancurkan bisnisnya sendiri.

Kasus yang baru saja terjadi, penutupan tiga Bank di Amerika Serikat karena tingkat pengembalian pinjaman dari para pebisnis usaha rintisan di negara ini kurang baik merupakan buah dari sikap teledor para pengembang usaha rintisan dan para bankir saat membaca peluang usaha digital.

Padahal, raksasa digital seperti Google, Facebook, dan Twitter tidak pernah melakukan kengerian kendati mereka telah melanglang bisnis digital dan memiliki kemampuan membuat suatu negara kalang kabut diterjang kekacauan.

Pos terkait