Menyaksikan Pilkada Pertama di Luar WIlayah yang Dijalani Pengungsi Syiah

Di TPS 25 Desa Blu’uran terdaftar 123 pemilih. Sebanyak 62 laki-laki dan 61 lainnya perempuan. Iklil memilih di TPS tersebut. “Kami ini memilih dalam posisi serbasalah. Sebab, kerahasiaan pilihan kami tidak terjaga,” ujar Iklil yang termasuk dituakan para pengungsi Syiah di Flat Puspa Agro.

Tidak berarti saat mencoblos mereka didampingi sehingga yang dipilih diketahui orang lain. Kerahasiaan yang tidak terjaga yang dimaksud Iklil itu adalah proses penghitungan suara yang dilakukan di Flat Puspa Agro.

Tidak dijadikan satu di kampung halaman mereka. “Ini sama artinya kami tidak bebas memilih. Sebab, perolehan suara di sini bisa diketahui banyak orang dan itu berarti kerahasiaan pilihan kami tidak terjaga,” ungkap Tajul Muluk.

Tajul Muluk memang tak menyebut siapa. Tapi, dengan terbukanya angka-angka pilihan mereka, itu dikhawatirkan bisa dijadikan senjata untuk “menembak” para pengungsi Syiah.

Juga, bisa dijadikan alat menyerang calon yang dominan dipilih pengungsi Syiah. Itulah yang benar-benar mengganjal di hati Tajul Muluk, Iklil, dan para pengungsi Syiah. “Api permusuhan seharusnya tidak terus dipelihara,” kata Tajul Muluk.

Padahal, ketika mereka mendapat hak pilih dalam pemilihan bupati Sampang kali ini, terbit harapan mereka bakal pulang. Bakal kembali menjejak tanah dan menghirup udara kampung halaman. Sebab, mereka masih merasa diakui sebagai warga Sampang.

“Ketika kami masih diakui sebagai warga Sampang, harapan kami untuk mendapatkan hak tinggal kembali di kampung halaman, di tanah milik kami, semakin menyala,” tutur Tajul Muluk.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *