Menyaksikan Pilkada Pertama di Luar WIlayah yang Dijalani Pengungsi Syiah

Mereka sudah enam tahun terusir dari kampung halaman. Mulai Agustus 2012. Dan, tepat 20 Juni lalu, sudah lima tahun dipaksa menghuni Flat Puspa Agro. Sebelum dipindah ke Sidoarjo, mereka diungsikan di GOR Sampang.

Meski demikian, mereka masih dicatat sebagai warga Sampang. Dan, dalam pemilihan bupati dan wakil bupati Sampang 2018, nama mereka juga tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT). Hak pilih mereka diakui. Namun, mereka tak diizinkan memilih di kampung halamannya.

“Kami ini disuruh memilih, tapi syarat tidak dipenuhi. Kami juga tidak boleh memilih di Sampang,” ujar Tajul Muluk, pimpinan Syiah Sampang. Padahal, para pengungsi Syiah sangat tidak keberatan menggunakan hak pilih. Mereka pun siap memilih di kampung halamannya.

Tapi, KPU memutuskan lain. KPU menerbitkan surat bernomor 553/2018 yang mengizinkan pengungsi Syiah memilih di tempat pengungsian. “Secara prinsip, kebijakan ini dilakukan karena faktor keamanan,” terang Ketua KPU Arief Budiman.

Untuk detail teknisnya, Arief menyerahkan ke KPU Jawa Timur dan Sampang. Akhirnya, jadilah pemilihan bupati Sampang di Flat Puspa Agro kemarin (27/6) coblosan pilkada pertama di Indonesia yang dilakukan di luar wilayah. Selama ini memang ada proses coblosan pemilihan presiden dan legislatif yang dilakukan di negara lain. Tapi, untuk pilkada, baru kali ini ada coblosan yang dilakukan di luar daerah.

Ada dua TPS untuk pengungsi Syiah di Flat Puspa Agro. TPS 9 Desa Karang Gayam, Omben, dan TPS 25 Desa Blu’uran, Karangpenang. Di TPS 9 Karang Gayam ada 113 pemilih. Perinciannya, 56 laki-laki dan 57 perempuan. Di TPS itu pula Tajul Muluk memilih. Namun, nama yang tercantum di DPT bukan Tajul Muluk. Melainkan Ali Murtadha.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *