Berbagi Tanggung Jawab

Nuchraha Alhuda Hasnda

Oleh : Nuchraha Alhuda Hasnda, SH., MH.
Dosen Prodi Hukum Universitas Nusa Putra

(Berbagi Tanggung Jawab Bersama terhadap Pengungsi dari Rohingya)

Bacaan Lainnya

Refleksi akhir tahun 2023 dihadir berbagi krisi kemanusia Global, baru saja masyarakat dunia beranjak dari pandemi yang mengurangi populasi manusia dan menghancurkan perekonomian dunia, konflik militer di ukraina masih juga belum menemukan jalan damai, dan masyarakat dunia juga dihantam dengan bombardir Konflik senjata dari wilayah Gaza.

Melalui mata telanjang masyarakat di seluruh dunia dipertontonkan segala kesengsaraan dari saudara-saudara mereka di seluruh penjuru dunia apakah melalui gawai Sosial media, media elektronik dan media massa. Tentu tidak henti-hentinya hati ini menangis melihat semua peristiwa kemanusian tersebut.

Turunan dari krisis tersebut berkelanjutan dari dengan lonjakan migrasi dimana masyarakat yang terdampak bencana kemanusian tersebut berupaya untuk meneyelamatkan diri mencari perlindungan dan keamanan negara-negara terdekat atau negara yang dirasa dapat memberikan perlindungan dan keamanan baginya dan orang tercinta mereka yang dikenal dengan sebutan Pengungsi/refugee.

Khusus untuk regional ASEAN bisa disaksikan masih berlanjutnya krisis kemanusia yang menimpa masyarakat Rohingya di Myanmar. Masyarakat Myanmar yang terampas haknya, terancam hidupnya, keluarga dan hidup orang yang dicintainya karena tidak lagi memiliki kekuatan dalam mempertahankan diri maupun berlindung dari beringasnya laras senjata api.

Kondisi ini menghadirkan keputusan untuk memilih menemukan tempat yang aman bagi hidup mereka dan orang yang dicintai.

Masyarakat rohingya berhamburan mencari perlindungan menyelamatkan diri meninggalkan tempat mereka berdiam, tempat mereka memperoleh penghidupan demi melanjutkan dan menyelamatkan hidup dari ancaman, intimidasi, penyiksaan, pembunuhan pengilangan anggota keluar yang dilakukan rezim pemerintahan Myanmar.

Melewati pertaruhan nyawa dari peluru yang beterbangan dan dipaksa mengarungi samudra dengan berbagai ancamannya bermodalkan baju dan celana yang melekat di badan.

Tidak jarang daerah yang mereka tuju tidak menerima kehadirannya karena dianggap meresahkan, beban mengganggu ketertiban wilayah tujuan tersebut.

Hal ini yang terjadi hampir dua minggu kebelakang di Indonesia ketika masyarakat Aceh Utara dan Bireuen tidak menghendaki kehadiran mereka yang datang dengan kapal nelayan mengarungi puluhan kilometer ombak samudra Hindia yang terkenal beringas dan ganas.

Meskipun Indonesia bukan negara peserta konvensi Jenewa tentang Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol 1967 tetapi perlu diingat masyarakat Indonesia dibebankan tanggung untuk memberikan perlindungan bantuan dan menghormati setiap manusia sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan Sebagai wujud dari sila 1 (Pertama) ketuhanan yang maha esa, mengakui berkeadilan di ke-2 (Dua) dan bersama-sama mewujudkan kesejahteraan sosial bersama sila ke- 5 (Lima).

Emanuelle Kant dalam teori masyarakat kosmopolitan nya (Weltbürgerrecht) mengingatkan kembali bahwa terkait status individu sebagai manusia, bukan hanya interaksi individu didalam negara saja tetapi individu yang merupakan bagian dari masyarakat global.

Dalam teori masyarakat kosmopolitan tersebut tatanan dunia yang adil menurut pandangan Kant tidak hanya mempertimbangkan hubungan antar negara tetapi juga memastikan perlindungan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia di sesama individual, tanpa mempertimbangkan batas nasional atau berlaku dimana saja dan untuk siapa saja.

Dengan demikian, hukum kosmopolitan dalam pandangan Kant menawarkan pandangan yang lebih inklusif dan universal tentang hak dan kewajiban moral, yang mencakup individu sebagai manusia di tingkat global. Ini mencerminkan aspirasi untuk menciptakan tatanan dunia yang tidak hanya adil dalam hubungan antar negara tetapi juga dalam perlakuan terhadap individu sebagai bagian dari komunitas dunia yang lebih besar.

Indonesia secara tegas sudah mendeklarasikan dirinya untuk mengutuk seluruh bentuk penjajahan dan penindasan yang tidak sesuai dengan pri kemanusia dan pri keadila yang disebutkan di dalam pembukaan alinea 1 (pertama) Undang-Undang Dasar 1945 yang selang di deklarasikan di setiap hari kebesaran nasional maupun upacara pengibaran bendera merah putih. Apabila kita sepakat Undang-Undang Dasar sebagai landasan penyelenggaraan negara tidak bisa dilepaskan dari konsep kontrak sosial yang disampaikan John Locke dan Thomas Hobbes pada abad ke-16 sampai 17 bahwa Undang-Undang dasar sebagai representasi dari kontrak masyarakat Indonesia dalam bernegara.

Di dalam UUD 1945 harus dipahami tidak mengatur hidup antar sesama manusia di negara atau nasional tetapi juga sesama manusia secara bagian dari masyarakat Global. Kita bisa lihat pembagian antara Frasa setiap orang dengan setiap warga.

Sebagaimana permohonan uji materil Undang-Undang Perlindungan HAM untuk perluasan kewenangan Pengadilan HAM Nasional dalam upaya mengadili pelaku kejahatan atas perlakuan pemerintah terhadap masyarakat Rohingya agar dapat diadili.

Uji materil ini diajukan oleh Marzuki Darusman Menteri Negara Urusan HAM pada Kabinet Reformasi Pembangunan di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan Muhammad Busyro Muqoddas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) pada periode 2008-2013 yang diajukan pada tahun 2022.

Kenapa disebut sebagai kejahatan Internasional peristiwa Myanmar atas masyarakat Rohingnya bisa dilihat bagaimana mahkamah Internasional (International Court of Justice pada tahun 2019 mengadili militer Myanmar atas pengajuan dari Gambia di Den Haag Belanda.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *