PGRI Menilai Pengaturan Guru Masih Buruk

JAKARTA – Penataan guru di berbagai daerah masih berjalan sulit, apabila semua pemangku kepentingan berjalan sendiri-sendiri.

Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Unifah Rosyidi mengatakan, selama para pemangku kepentingan tersebut belum diikat dengan sistem yang jelas dan terintegrasi, maka potret buram pengaturan guru masih akan terus terjadi.

“Saya lihat ketidakberdayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas sistem ini. Makanya kita harus bersama-sama membantu proses pendidikan ini, tetapi Kemendikbud tidak bisa berbuat apa-apa, karena kewenangan,” kata Unifah Rosyidi dalam diskusi pendidikan ‘Menata Guru dengan Sistem Zonasi: Mulai dari Mana?” yang digelar di Aula Graha 1 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dia melanjutkan, sistem zonasi yang menempatkan ekosistem pendidikan di satu pusat dan menggerakkan pada delapan standar pendidikan masih tidak bisa berbuat apa-apa ketika akan memindahkan guru.

Secara implisit dia menjelaskan hal ini terjadi lantaran adanya regulasi yang mengatur para guru saat ini dimiliki pemerintah daerah mulai dari tingkat kabupaten dan kota untuk para guru PAUD dan pendidikan dasar serta guru pendidikan menengah di tingkat provinsi.

PB PGRI, kata Unifah, melihat anggaran sebesar Rp 500 triliun yang mengalir ke kas pemerintah daerah seharusnya mampu mendorong kinerja sekolah dan kinerja guru pula. Sebab dua hal tersebut merupakan unsur dasar yang memengaruhi mutu pendidikan di setiap jenjang. Namun kenyataannya anggaran sebesar itu tidak bisa mengontrol dua hal penting tersebut.
“Ada satu hal yang jadi persoalan utama, bagaimana konsistensi pelaksanaan program ini dan keberlanjutannya. Ini persoalan serius. Anomali sistem ini harus dibenahi,” kata Unifah.

Sementara itu, Praktisi Pendidikan dan sekaligus anggota Dewan Pendidikan Jakarta Timur, Robertus Budi Setiono mengatakan, penerapan zonasi semestinya dilakukan terhadap sekolah-sekolah negeri terlebih dahulu baru kemudian diterapkan kepada sekolah swasta.

Dia khawatir akan banyak sekolah swasta yang kolaps karena tidak bisa bersaing dengan sekolah negeri.

Untuk menghadapi kebijakan yang berkembang selama ini, kata Robert, biasanya sekolah swasta melakukan kolaborasi dengan sekolah negeri dan saling berbagi pengalaman ataupun kemampuan satu sama lain agar dapat menjadi pintu untuk meningkatkan kualitas guru.

“Zonasi ini ayo sampai jadi, jangan sampai yang baru menghilangkanpolicy sebelumnya. Termasuk sinkronisasi dengan kebijakan lainnya,” kata Robert.

Dia melanjutkan mendidik guru bukan perkara gampang. Sebab ketika mereka diminta untuk berubah maka yang selanjutnya adalah terjadi resitensi.

Terkait mutasi para guru yang bertujuan untuk memeratakan pendidikan Indonesia, dia melihat kebijakan itu sangat bagus meskipun secara realita tidak gampang dilakukan apalagi untuk bangsa sebesar Indonesia.

“Memang ada imbal baliknya, tentang kesejahteraan dan kenyamanan bagi daerah yang dikirim ke daerah terpencil. Contoh, perusahaan mengirim ke daerah dan cabang, ada namanya tunjangan.

Sistem ini mirip-mirip. Ada guru dididik di kota, tapi disuruh ke daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Awalnya mungkin senang, tapi setelah 2 tahun bisa jadi tidak bahagia,” pungkasnya.

Menanggapi hal itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, tengah mencanangkan penerapan sistem zonasi pendidikan yang dapat membuat siswa tidak perlu lagi mendaftarkan diri mereka ke sekolah.

Hal ini diharapkan mampu berjalan demikian karena nama-nama siswa tersebut sudah terdaftar di sekolah yang berada di dekat rumah mereka.

Muhadjir melanjutkan, pada dasarnya sistem zonasi pendidikan sangat memudahkan siswa saat hendak mendaftarkan diri mereka karena contohnya siapapun yang akan melanjutkan jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada tahun berikutnya adalah mereka yang sudah terdaftar sebagai siswa yang duduk di kelas enam pada jenjang Sekolah Dasar (SD).

Menurut Muhadjir, sistem zonasi pendidikan merupakan puncak dari restorasi pendidikan yang dijalankan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Tentunya penerapan sistem ini memerlukan dukungan dari semua pemerintah daerah terutama yang berkaitan dengan penyediaan data kependudukan untuk pendataan peserta program Kartu Indonesia Pintar (KIP).

“Sistem ini mengutamakan kedekatan jarak domisili peserta didik dengan sekolah. Namun bukan hanya mendekatkan lingkungan sekolah dengan peserta didik, tetapi juga mencegah penumpukan guru berkualitas di suatu sekolah, menghilangkan ekslusivitas, dan mengintegrasikan pendidikan formal dan nonformal,” katanya.

Di masa mendatang, ujar mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), pemerintah juga akan menggunakan data sistem zonasi sebagai dasar dalam pemberian berbagai bantuan.

Pun akan mengalokasikan anggaran untuk kesejahteraan guru serta peningkatan pelatihan guru.“Saat ini sudah ada sekitar 2.570 zonasi dan berharap selanjutnya bisa meningkat menjadi 5.000 zonasi,” kata Muhadjir.

(nas)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *