Nasib Warga Terdampak Bencana Pergerakan Tanah Nyalindung, Meratap Nantikan Huntap

retakan tanah nyalindung
Salah seorang warga saat menunjukan kondisi bangunan rumahnya di wilayah Desa Mekarsari, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi yang terdampak bencana retakan tanah

Meskipun sudah tiga tahun berlalu, dampak bencana pergerakan tanah telah memporak-porandakan ratusan rumah warga hingga lahan pertanian di wilayah Desa Mekarsari dan Desa Cijangkar, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi. Namun, kondisinya masih sangat terasa bagi para penyintas yang hingga saat ini kian menunggu kepastikan mendapatkan hunian tetap dari pemerintah.

Laporan – Dendi Koswara Dikusumah, Nyalindung.

Bacaan Lainnya

Nasib warga terdampak bencana retakan tanah di wilayah Desa Mekarsari dan Desa Cijangkar, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi, menjerit akibat tidak kunjung selesainya pembangunan Hunian Tetap (Huntap) yang dijanjikan pemerintah.

Seorang warga Kampung Jati, RT 05/RW 04, Desa Mekarsari, Kecamatan Nyalindung, Yeti Nur Cahya (47) kepada Radar Sukabumi mengatakan, bencana pergerakan tanah yang terjadi pada Maret tahun 2021 lalu itu, telah merampas hak hidup keluarganya. Karena, bencana tersebut telah merusak bangunan rumah miliknya yang memiliki ukuran sekitar 8×6 meter. “Iya, peristiwa tiga tahun itu sangat merampas hak hidup kami. Karena, rumah saya ambruk akibat retakan tanah pada Maret tahun 2021 lalu,” kata Yeti kepada Radar Sukabumi pada Minggu (25/02).

Tidak ada korban jiwa maupun korban luka-luka pada peristiwa bencana alam tersebut. Hanya saja, rumah yang ditempati 2 Kepala Keluarga (KK) itu, ambruk akibat retakan tanah. “Waktu retakan awal kejadiannya lagi musim hujan. Memang, kondisi retakannya bertahap. Karena, waktu tahun itu hujannya terus menerus hingga akhirnya rumah ibu ambruk,” jelasnya.

Pasca rumah miliknya ambruk, ia bersama keluarganya langsung mengevakuasi diri ke rumah orangtuanya yang kondisi bangunannya cukup memprihatinkan. Selain bangunannya, masuk pada ketegori rumah tidak layak huni, rumah tempat mereka mengungsi juga lokasinya, tidak jauh dari tempat kejadian bencana retakan tanah. “Saya terpaksa ikut sama rumah ibu disini. Iya, tidak ada pilihan lain. Mahu bangun rumah lagi, uangnya belum ada. Jangankan buat beli tanah, buat makan sehari-hari saja sudah kelabakan untuk profesi buruh serabutan seperti suami saya itu,” paparnya.

“Kami tinggal dirumah tidak layak huni ini, dalam waktu cukup lama dan beresiko terhadap keselamatan. Karena, memang lokasi rumahnya berdekatan dengan retakan tanah,” jelasnya.

Jika hujan turun dengan intensitas tinggi, ia bersama keluarganya kerap dihantui rasa was-was. Lantaran, rumah yang ia tempati saat ini bersama ibunya merupakan tempat yang berpotensi bencana susulan retakan tanah. Untuk itu, apabila turun hujan, ia bersama keluarganya sering kali mengevakuasi secara mandiri ke rumah saudaranya ke tempat yang lebih aman.

“Kalau hujannya deras, jarang tinggal di rumah. Saya bersama keluarga dan ibu suka pindah dulu ke rumah mertua adik saya dekat kantor desa yang lokasinya ada di atas. Iya, kalau tinggal disini dan lagi hujan, takut tanahnya bergerak lagi,” paparnya.

Sebab itu, ia bersama warga penyintas lainnya berharap kepada pemerintah dapat segera merealisasikan pembangunan hunian tetap bagi warga terdampak bencana alam di wilayah tersebut. “Iya, itu lama. Ada 3 tahunan rencana pembangunan huntap itu, tapi sampai sekarang belum ada realisasinya,” tandasnya.

Sementara itu, Kepala Desa Mekarsari, Muhammad Ilham Maulana Kodratullah mengatakan, pihaknya juga mengaku prihatin melihat kondisi warganya sebagai penyintas bencana retakan tanah. Lantaran, sudah tiga tahun terkahir mereka yang dijanjikan pembangunan hunian tetap oleh pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi hingga pemerintah pusat. Namun, hingga saat ini belum juga terealisasi. “Di Desa Mekarsari hari ini, warga itu karena memang sudah lama tiga tahun terkatung-katung dan belum ada realisasi yang maksimal, untuk pembangunan huntap,” katanya.

“Sebenarnya, banyak penyintas yang stres karena tidak pernah ada kepastian apakah mereka benar-benar akan mendapat hunian tetap yang dibangun oleh pemerintah atau tidak. Belum lagi tekanan ekonomi untuk membiayai kebutuhan sehari-hari dari pekerjaan yang tidak menentu,” paparnya.

Kondisi saat ini, para penyintas bencana alam tersebut karena belum memiliki rumah hunian tetap, mereka terpaksa numpang di rumah saudara terdekat hingga rumah tetangganya dengan kondisi keterbatasan yang ada. “Jumlah warga yang terdampak di Desa Mekarsari itu, ada sekitar 21 KK. Nah, kalau di Desa Cijangkar itu ada 131 KK,” paparnya.

Pemerintah Desa Mekarsari, sudah berupaya maksimal dalam menanggulangi pasca bencana alam tersebut. Seperti melakukan rapat koordinasi dengan BPBD, pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi, pihak PTPN yang akan menyediakan tanah untuk tempat relokasi huntap, hingga pemerintah pusat melalui BNPB. Namun, ironisnya sampai tiga tahun ini pembangunan huntap untuk para penyintas bencana tersebut, belum juga terealisasi dengan baik.

“Waktu kami koordinasi, katanya pembangunan huntap itu, belum bisa dibangun alasanya, karena administrasinya belum selesai. Ini kan sudah tiga tahun. Apalagi, BNPB sudah menginstruksikan agar segera membangun huntap. Tapi, faktanya belum juga terealisasi. Makanya, kami berharap pemerintah lebih serius lagi. Iya, kasihan warga kami belum ada penanganan yang serius dari pemerintah soal pembangunan huntap itu,” paparnya.

Ketua Forum Penyintas Bencana Dusun Ciherang, Desa Cijangkar, Kecamatan Nyalindung, Budi mengatakan, pasca bencana alam yang terjadi pada tiga tahun lalu itu, kondisi saat ini warga penyintas bencana alam di Dusun Ciherang, telah melakukan relokasi secara mandiri dengan peralatan seadanya. “Iya, kan tahun-tahun sebelumnya, warga itu dijanjikan akan dibangun huntap oleh pemerintah. Tapi, hingga sekarang hanya wacana saja,” jelasnya.

Mayoritas ratusan kepala keluarga yang terdampak bencana retakan tanah di Dusun Ciherang itu, telah merelokasi secara mandiri ke rumah sanak saudaranya. “Adapun material yang bisa dipindahkan ya mereka pakai. Bermacam-macam, tapi untuk sementara yang ada di posko, sudah tidak ada,” timpalnya.

Awalnya, pemerintah itu telah menjanjikan kepada ratusan warga terdampak bencana alam di Kecamatan Nyalindung, khususnya di Desa Cijangkar dan Desa Mekarsari itu, akan dibangun huntap di lahan milik PTPN dengan luas lahan sekitar 4,2 hektare. “Iya, alasanya administrasi belum rampung. Padahal, HGU di PTPN ini sudah habis sekitar tahun 2012 lalu. Ini kan tanah negara, seharusnya pemerintah lebih peduli terhadap warganya, apalagi ini untuk kepentingan warga penyintas atau kepentingan aksi kemanusian,” bebernya.

Sebab itu, ia menilai pemerintah telah gagal melaksanakan mandat untuk memenuhi hak atas perumahan bagi para warga terdampak bencana yang menerjang dua desa di wilayah Kecamatan Nyalindung. Hal ini juga melanggar hak para penyintas atas rasa aman, hak atas kesehatan dan hak untuk mendapatkan lingkungan yang aman dan nyaman. “Iya, seharusnya pemerintah dapat memikul tanggung jawab bersama untuk memastikan warga terdampak bencana (WTB) seperti apa yang berhak atas huntap,” bebernya.

Para penyintas bencana alam yang sudah tidak memiliki tempat tinggal, seharusnya juga mendapatkan pemenuhan jaminan kelayakan hidup, sekurang-kurangnya agar WTB itu bisa hidup secara lebih layak dan tidak terlantar. “Karena, belum ada pembangunan huntap seperti apa yang dijanjikan pemerintah, terhadap para penyintas. Makanya, kami terus mendesak pemerintah untuk segera menuntaskan pembangunan hunian tetap yang hingga saat ini, kondisinya masih terkatung-katung,” pungkasnya. (Den)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *