Perawakannya yang mungil dan wajahnya yang cantik, Syifa nampak seperti anak seusianya. Mahkotanya ia tutup dengan kerudung. Semangatnya untuk belajarpun layak diacungi jempol.
Begitu semangatnya ia ketika mulai di sekolahkan oleh kedua orang tuanya. Jauh sebelum pindah ke Kota Sukabumi, gadis ini harus menempuh jarak berpuluh-puluh kilometer untuk bisa mendapat pendidikan layak yang bisa menerima kekurangannya tersebut.
Sang ayah, Endang yang merupakan seorang wiraswasta dan ibunya seorang ibu rumah tangga, biasa tetap sabar merawat dan membesarkan Syifa dengan baik. Keduanya kompak mengurus serta menyekolahkannya, sama seperti anak-anak mereka yang lain. Syifa dianugerahi keistimewaan, meski tidak sedikit orang menyebutnya dengan kata keterbatasan atau kekurangan.
Sebagai seorang tunanetra, tidak membuat Syifa minder. Di balik gelapnya dunia, justru dia aktif dan kreatif. Ia berjuang keras untuk membuktikan bahwa anak tunanetra bisa berprestasi seperti anak-anak lain pada umumnya.
Jika tidak percaya, deretan piala dan penghargaan dimilikinya. Namun dibalik segudang prestasinya itu, ada kisah yang penuh perjuangan. Jauh sebelum bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) A Budi Nurani Kota Sukabumi, ia sempat mengenyam pendidikan di salah satu SD di Cianjur.
Hanya saja, kedua orang tuanya kerap digelayuti rasa khawatir. Mereka kasihan melihat kondisi anaknya selama bersekolah di sana. Padahal dalam UUD Tahun 1945 Pasal 31 Ayat 1 menyatakan dengan jelas bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” tidak terkecuali bagi anak penyandang disabilitas, tidak memandang suku, ras, agama, warna kulit serta jenis kelamin.
Tapi kenyataan di lapangan, tidak bisa dipungkiri bila masih banyak dijumpai ABK atau anak disabilitas ini yang sulit untuk belajar normal dengan berbagai alasan. Diantaranya, tidak memiliki sarana prasarana yang dapat mendukung pendidikan ABK dan kurikulum yang tidak sesuai dengan mereka. Belum lagi cemoohan yang datang.
Namun, kedua orang tuanya tetap mendukung Syifa untuk beraktivitas di luar rumah. Keduanya tidak gengsi memiliki anak berkebutuhan khusus seperti Syifa.
Karena Syifa termasuk ABK, sekolah umum dirasa bukan tempat yang tepat bagi anaknya. Menginjak kelas II SD, kedua orang tuanya menyadari bahwa anaknya ini harus tetap sekolah, tapi di sekolah yang memang memiliki program yang sesuai dengan kebutuhan anaknya.