Di Balik Syuting Film Ambu di Kampung Baduy

RADARSUKABUMI.com – Suku Baduy terkenal kuat mempertahankan adat istiadat. Segala bentuk modernisasi tak mampu menembus suku yang tinggal sekitar 135 kilometer dari Jakarta tersebut. Karena itu, proses syuting film di wilayah tersebut pun memicu polemik.

ANISATUL UMAH, Lebak-Banten

Bacaan Lainnya

SIANG itu (28/11), beberapa gadis dan ibu tampak sibuk menenun di beranda rumah-rumah kayu. Sebagian yang lain baru pulang dari ladang. Di pinggiran desa, para kaum lelaki tampak bergotong royong mengangkat bambu. Bambu-bambu itu hendak digunakan untuk membangun rumah.

Kehangatan dan kekeluargaan memang terasa kuat di desa adat suku Baduy, Kabupaten Lebak, Banten. Tempat para perempuan yang siang itu menenun dan para lelaki yang mengangkat bambu tersebut.

Nilai-nilai adat kesukuan juga masih dipegang erat. Salah satunya aturan tentang pernikahan. Warga Baduy hanya boleh menikah dengan sesama orang Baduy. Aturan menikah itu pun punya konsekuensi-konsekuensi. Jika dilanggar, hukumannya adalah dikeluarkan dari suku Baduy. Larangan itulah yang berusaha digambarkan rumah produksi Skytree Pictures melalui film Ambu yang disutradarai Farid Hermawan.

Film yang tayang Januari 2019 itu bercerita tentang konflik batin ibu dan anak. Ambu memiliki arti ibu dalam bahasa Sunda. Ambu Misnah (Widyawati) ditinggal Fatma (Laudya Cynthia Bella), anak perempuannya yang mengejar cinta kepada laki-laki Jakarta bernama Nico (Baim Wong).

Mereka berdua kemudian menikah. Lalu, lahirlah buah cinta mereka, Nona (Luthesa). Belasan tahun berselang, Fatma mengajak putrinya mengunjungi neneknya atau Ambu Misnah yang tinggal di Baduy. Nona yang mulanya tidak suka saat diajak mengunjungi neneknya justru jatuh cinta dengan pemuda asli Baduy bernama Jaya.

Salah seorang warga Baduy yang terlibat di balik layar film Ambu bernama Misnah. Namanya sama dengan tokoh yang diperankan Widyawati. Perempuan 43 tahun itu berperan di balik layar. Misnah membantu mengarahkan pemain untuk mengucapkan bahasa Sunda sesuai dengan percakapan sehari-hari warga Baduy.

Selain mengarahkan bahasa, Misnah menjadi pengarah dalam kegiatan menenun. ”Saya mengarahkan menenun supaya tidak rusak,” katanya. Bagi dia, film sangat positif bagi suku Baduy. Sebab, bisa memperkenalkan budaya Baduy, terlebih hasil tenunnya, kepada publik. ”Ini bisa mengangkat perekonomian di Baduy ke depan,” ujarnya.

Meski menyebut film itu positif, Misnah menyesal. Lho kok? Sebab, syuting film tersebut menjadi polemik di Baduy. Hal itu terjadi lantaran saat syuting banyak kamera dan alat elektronik yang masuk kampung Baduy. Warga Baduy kaget dengan semua itu. Misnah pun sempat didatangi tetua adat. ”Saya tidak dimarahi secara langsung, tetapi diminta untuk menyudahi kegiatan syuting,” ungkapnya.

Misnah menyebut pembuatan film itu memang mendapat izin. Namun, mereka tidak menyangka ada aneka peralatan elektronik yang dibawa ke Baduy. Izin yang telanjur dikeluarkan membuat warga Baduy tak bisa menghentikan kegiatan syuting karena sudah ada artis dan alat-alat yang diusung ke Baduy luar. Tapi, sebelum syuting, perdebatan sempat terjadi. ”Dari adat kan ada banyak orang. Ada yang setuju, ada yang tidak,” ungkapnya.

Banyaknya peralatan yang dibawa, menurut dia, sudah tidak etis di Baduy yang sebenarnya melarang penggunaan alat elektronik. Meskipun, suku Baduy luar lebih longgar atas aturan itu. Dalam kesempatan terpisah, sutradara Farid Hermawan mengakui memang ada beberapa larangan yang disampaikan warga Baduy. Misalnya, penggunaan lampu sorot (lighting) dan genset listrik. Karena itu, syuting hanya dilakukan sampai sore. ”Begitu petang, syuting kami hentikan. Alat-alat kami batasi,” ujarnya.

Misnah menambahkan, struktur adat Baduy tertinggi dipimpin puun dari warga Baduy dalam. Di bawah puun ada 12 wakil puun. Di bawahnya lagi ada 12 tanggungan. Sementara itu, jaro atau kepala desa sebagai wakil pemerintahan mendapat posisi paling rendah di adat. Mereka itulah yang memutuskan memberikan izin.

Tentu izin keluar setelah dikomunikasikan dengan puun sekaligus mendapat lampu hijau dari yang bersangkutan. Di situ kesalahpahaman komunikasi terjadi. Puun ternyata tidak tahu terkait dengan peralatan yang digunakan. ”Jadinya beliau menyesal kasih izin. Dan ini jadi pembelajaran,” katanya dengan raut penyesalan. ”Sebaiknya jangan ada lagi. Capek, repot, dari tetua adat juga ada teguran keras,” sebutnya.

(*/c19/fim)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *