Proteksi Perdagangan akan Diperketat

DAPAT PELUANG: Pemerintah Indonesia bakal menambah jumlah ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) ke Amerika Serikat (AS) di tengah perang dagang negara adikuasa itu dengan Tiongkok. Kementerian Perdagangan (Kemendag) justru melihat peluang ekspor TPT ke AS karena selama ini tekstil yang masuk ke sana didominasi Tiongkok. Bahkan diproyeksi, industri tekstil bisa tumbuh 25-30 persen tahun ini imbas perang dagang tersebut. Tampak pedagang tekstil di Pasar Mayestik, Jakarta Selatan.

JAKARTA – Perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) berimbas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Salah satu imbas perang dagang itu adalah munculnya predatory pricing.

Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Pemerintah akan memperkuat proteksi perdagangan untuk melindungi industri lokal.

Ketua Komite Antidumping Indonesia (KADI) Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi menjelaskan, meningkatnya eskalasi perang dagang antara AS dan Tiongkok membuat aktivitas perdagangan dunia mengalami penurunan.

”Perang dagang tersebut turut berimbas pada penyempitan pangsa pasar perdagangan global.

Penyempitan pangsa pasar tersebut bisa memicu banyak negara menerapkan praktik perdagangan yang curang agar produk ekspornya diterima di negara lain,” ujarnya di Jakarta.

Saat ini, lanjutnya, praktik yang paling marak adalah predatory pricing.

‘Banyak produsen atau negara mitra kita sengaja menekan harga jual produknya untuk menyingkirkan kompetitornya di negara tujuan ekspor.

Sebab, kalau mereka tidak melakukan kebijakan itu (predatory pricing), mereka akan lebih rugi karena pangsa pasarnya mengecil pascaperang dagang,” katanya.

Dia menjelaskan, Indonesia merupakan salah satu sasaran empuk dari praktik curang tersebut.

Pasalnya, potensi pasar dan konsumen yang di Indonesia sangat besar.

Guna melindungi pasar Indonesia dari praktik curang tersebut, Bachrul menyebutkan, KADI telah mempercepat proses penyelidikan kasus dumping yang selama ini tertunda.

Menurutnya, hampir semua permohonan penyelidikan antidumping telah selesai diperiksa dan diserahkan ke Kementerian Keuangan untuk dikeluarkan aturan pengenaan tarif antidumpingnya.

Kebijakan trade remedies adalah instrumen yang digunakan secara sah untuk melindungi industri dalam negeri suatu negara dari kerugian akibat praktik perdagangan tidak sehat (unfair trade).

Bentuknya bisa berupa bea masuk antidumping (BMAD) atau bea masuk tindak pengamanan sementara (BMTP) yang dikenal sebagai safeguard.

Terpisah, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menyoroti pemerintah yang dinilai lamban dalam menerapkan trade remedies sebagai upaya perlindungan industri dalam negeri.

sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan, trade remedies merupakan salah satu cara mengendalikan impor yang secara legal diizinkan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).

”Dalam dua tahun terakhir banyak kasus yang telah direkomendasikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) maupun Komite Pengaman Perdagangan Indonesia (KPPI) untuk dikenakan tambahan bea masuk justru mengalami kebuntuan,” jelasnya.

Redma menjelaskan perang dagang mengakibatkan opsi peningkatan ekspor saat ini sangat terbatas.

Terlebih, insentif bagi industri sangat minim, sehingga sisi impor yang harus dimainkan.

”Alih-alih memberikan insentif untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri, justru importir pedagang yang banyak menikmati insentif,” kritiknya.

Dia menyebutkan insentif yang dinikmati oleh para importir itu salah satunya adalah Pusat Logistik Berikat (PLB) yang didukung oleh beberapa Peraturan Menteri Perdagangan.

Padahal, pemerintah telah mempunyai Kawasan Berikat dan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) sebagai dukungan untuk mendorong ekspor bagi industri yang memerlukan bahan baku impor.

Dari sisi tingkat utilisasi, saat ini industri tekstil dan produk tekstil (TPT) belum optimal kendati rerata pertumbuhan konsumsi dalam negeri setiap tahun sebesar 6 persen.

Hal ini disebabkan pertumbuhan konsumsi tersebut justru dinikmati oleh barang-barang impor yang membanjiri pasar domestik.

”Oleh karena itu, utilisasi produksi sektor ini masih rendah, rata-rata baru mencapai 73,8 persen,” tuntasnya.

(dew)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *