Tujuh Etika Membayar Zakat

Zakat (ilustrasi)
Zakat (ilustrasi)

Dikutip pada halaman nu.or.id, terdapat tujuh etika membayar zakat, yaitu:
1. Segera Membayar Zakat Setelah Waktu Wajibnya Tiba
Ini dilakukan karena beberapa pertimbangan, yaitu: a) menampakkan rasa senang menaati perintah Allah SWT dan Rasul-Nya; b) membahagiakan orang yang menerimanya; c) sadar bahwa kalau ditunda bisa saja ada hal lain yang menghalanginya; dan d) menjadi maksiat apabila sampai habis waktunya zakat belum jadi dikeluarkan.

2. Merahasiakan Pembayaran Zakat
Merahasiakan zakat lebih dapat menghindarkan seseorang dari riya’ (pamer) dan sum’ah (mencari popularitas).

Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 271 yang artinya Dan apabila kalian menyembunyikan (pembayaran) zakat dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikannya itu lebih baik bagi kalian.

Bahkan segolongan ulama salaf secara sungguh-sungguh berupaya merahasikan zakatnya, yaitu dengan menyalurkannya lewat perantara, sehingga penerima zakat tidak mengetahui siapa pemberi sebenarnya.

Hal itu dilakukan tidak lain karena menghindari sifat riya’ dan sum’ah.

Sebab, ketika sifat riya’ mendominasi pembayaran zakat, maka ia akan meleburnya, meskipun secara fiqh zakatnya sah.

3. Membayar Zakat Secara Terang-terangan
Etika ini dilakukan ketika situasi dan kondisi mendukungnya.

Yaitu ada kalanya agar ditiru atau karena ada seseorang yang meminta zakat secara terang-terangan di depan orang lain.

Dalam kondisi seperti ini, hendaknya muzakki tidak menghindar dari memberikan zakatnya dengan alasan khawatir riya’.

Namun seharusnya ia tetap memberikan zakat serta menjaga hati dari riya’ semampunya.

Sebab, dalam membayar zakat secara terang-terangan, selain terdapat riya’ dan al-mann (menyebut kebaikan), terdapat unsur yang tercela lain, yaitu menampakkan kefakiran orang lain.

Karena terkadang seseorang merasa hina ketika dirinya terlihat membutuhkan.

4. Tidak Merusak Zakat
Maksudnya tidak merusak zakat dengan al-mann dan al-adza.

l-Mann adalah menyebut-nyebut amal saleh (dalam hal ini zakat) dan menceritakannya, mengeksploitasi si penerimanya, atau takabur kepadanya karena zakat yang diberikan.

Sementara al-adza adalah menampak-nampakkan zakat, mencela kefakiran, membentak-bentak, atau mencerca si penerima karena meminta-minta zakat kepadanya.

5. Menganggap Zakatnya Sebagai Hal Kecil
Hendaknya orang yang membayar zakat menilai zakatnya sebagai hal kecil dan tidak membesar-besarkannya.

Sebab bila dibesar-besarkan maka akan melahirkan sifat ‘ujub (kagum terhadap diri sendiri).

Padahal ‘ujub termasuk perkara yang melebur amal.

6. Zakat dengan Harta Terbaik
Mengeluarkan zakat dengan harta yang terbaik dan yang paling disukai.

Sebab, Allah adalah Dzat Yang Maha Baik dan tidak menerima kecuali harta yang baik.

Bila yang dikeluarkan bukan harta yang terbaik maka termasuk su’ul adab kepada Allah SWT.

7. Selektif Memilih Penerima Zakat
Yaitu dengan memprioritaskan orang-orang yang mempunyai sifat-sifat berikut ini; bertakwa, ahli ilmu agama, benar tauhidnya, merahasiakan dari membutuhkan zakat, punya keluarga, sedang sakit dan semisalnya, dan merupakan keluarga atau kerabat.

(Jamaluddin Al-Qasimi, Mauizhatul Mu`minin, juz I, halaman 95-99).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *