Fenomena Burnout di Kalangan Gen Z

Leonita Siwiyanti, S.Ag, M.M
Leonita Siwiyanti, S.Ag, M.M Seorang dosen di Program Studi Manajemen Retail Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sukabumi

Oleh :Leonita Siwiyanti

Dosen Program studi Manajemen Retail Fakultas EkonomiUniversitas Muhammadiyah Sukabumi dan Mahasiswa Doktoral Ilmu Manajemen Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia

Bacaan Lainnya

Burnout merupakan kondisi seseorang pekerja yang mengalami berbagai gejala fisik dan psikologis, sehingga mengakibatkan kehilangan produktivitas dan kepuasan kerja. Semua orang termasuk Gen Z atau milenial muda yang lahir antara tahun 1997 sampai dengan tahun 2012 sering mengalami kondisi ini.

Sebenarnya siapa pun bisa mengalami kelelahan. Namun, penelitian baru-baru ini yang dilakukan oleh American Psychological Association menunjukkan bahwa anak-anak muda (Gen Z) adalah generasi yang paling sering mengalami kelelahan. Burnout pada Gen Z disebabkan oleh kombinasi berbagai tekanan yang saling terkait terutama di dunia kerja.

Kadang kita melihat kondisi mereka yang sering kali tidak memiliki ketidakpastian tentang masa depan. Seperti halnya pekerjaan yang tidak stabil serta masalah keuangan keluarga dan pribadi. Faktor-faktor ini secara bersamaan dapat menyebabkan situasi yang sulit dihadapi bagi Gen Z. Mereka merasa terjebak dalam siklus tekanan yang tak kunjung berakhir yang meningkatkan risiko kelelahan.

Faktor-Faktor Penyebab Burnout di Lingkungan Kerja

Burnout Semua itu dikarenakan kehidupan mereka yang penuh dengan tekanan dan stres. Banyak faktor yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari mereka adalah penyebabnya.

Mereka tidak memiliki kendali atas apa yang mereka lakukan, sehingga Gen Z biasanya sering mengalami burnout. Rasa tidak pasti dan kecemasan yang mereka alami meresap ke dalam rutinitas sehari-hari. Selain itu, ekspektasi pekerjaan yang terlalu tinggi menjadi beban tambahan. Terutama berlaku untuk Gen Z yang merasa sulit untuk mengakui kemampuan mereka.

Tempat kerja yang monoton atau tidak menantang juga dapat menyebabkan kelelahan. Kejenuhan dan kebosanan dapat terjadi karena beban kerja yang tidak memotivasi dan tidak memberikan kesempatan untuk berkembang. Selain itu, budaya kerja yang tidak sesuai dengan prinsip Gen Z dapat berkontribusi pada pembentukan lingkungan kerja yang tidak sehat.

Faktor gaya hidup yang tidak seimbang, seperti ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif dan kurangnya hubungan yang dekat dan mendukung. Hal ini mendorong untuk terus menuntut diri sendiri hingga batas tertinggi. Semua itu merupakan beberapa faktor yang memainkan peran penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung stres.

Kompleksitas burnout dipengaruhi oleh faktor kepribadian. Gen Z menghadapi beban psikologis seperti perfeksionis yang berlebihan. Pandangan pesimistis terhadap diri sendiri dan juga keinginan untuk menjalankan segalanya dengan cepat. Kehilangan kendali pada diri sendiri dan terlalu keras berpikir untuk mencapai produktivitas yang toksik juga dapat menyebabkan kelelahan yang merugikan Gen Z.

Dampak Burnout pada Gen Z

Masalah kesehatan fisik seperti sakit kepala dan masalah tidur adalah beberapa gejala yang sering dialami Gen Z saat dalam kondisi burnout. Kondisi ini seringkali disebabkan oleh kerja terlalu keras, tidak mendapatkan apresiasi, dan lingkungan kerja yang tidak sehat. Namun, hasil survei Populix menunjukkan bahwa gejala kelelahan Gen Z berbeda-beda, termasuk merasa selalu lelah, tidak berguna, sulit tidur, depresi, dan membenci pekerjaan.

Hal itu ditunjukkan oleh 27% dari 1.190 orang yang menjawab pada tanggal 24 hingga 27 Juli 2023. Gen Z mengatakan 21% mengalami gejala kelelahan seperti merasa tidak berguna dan 15% mengalami kesulitan tidur. Sebanyak 11% responden menunjukkan depresi dan mudah marah, dan 8% menunjukkan sakit kepala sebagai gejala burnout yang paling umum. Sementara, 3% responden membenci pekerjaannya.

Selain mengalami kelelahan, Gen Z di Indonesia memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi daripada generasi lainnya. Menurut hasil survei yang dilakukan oleh Alvara Research Centre pada tahun 2021, menunjukkan bahwa 28,3% orang yang disurvei mengalami kecemasan. Dampak burnout terhadap kesehatan mental Gen Z sangat signifikan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa Gen Z belum memiliki banyak pengalaman dibandingkan dengan genarasi X dan milineal.

Saya melihat sendiri dampak burnout di kalangan Gen Z ini sangat berpengaruh pada kinerja organisasi atau perusahaan. Semakin lembeknya mereka ketika mendapatkan masalah pada lingkungan kerja, sehingga mereka memutuskan untuk resign dari pekerjaan. Tuntutan pimpinan dan rekan kerja yang toksik bukan menjadi motivasi untuk memperbaiki diri. Mereka cenderung lari dari masalah dan tuntutan tersebut. Karena itulah seringkali Gen Z disebut dengan generasi strawberry.

Strategi untuk Mengatasi Burnout di Kalangan Gen Z

Meskipun mengatasi burnout bukanlah hal yang mudah, ada banyak cara untuk mempertahankan keseimbangan dan kesejahteraan. Pertama, sangat penting untuk memastikan bahwa tugas dan beban kerja sesuai dengan kontrak awal. Yakni membandingkan tugas harian dengan uraian pekerjaan dalam kontrak awal. Hal ini dapat membantu untuk mengetahui apakah Gen Z terlalu terbebani. Jika demikian, maka mereka dapat menghindari kelelahan.

Agar kita dapat mengurangi stres, tetapkan batasan yang jelas pada diri sendiri. Hal bijak yang bisa kita lakukan agar dapat memulihkan fisik dan mental dengan cara mengambil cuti atau liburan. Sangat penting untuk memiliki kesempatan untuk benar-benar merelaksasi diri tanpa terlalu terlibat dengan pekerjaan. Semua itu juga penting agar mereka memiliki kesempatan untuk memanjakan diri dan menemukan keseimbangan dalam hidup.

Selain itu, menciptakan lingkungan yang penuh dengan energi positif adalah kunci untuk mengatasi burnout. Kita dapat menerima dan mengekspresikan energi positif kepada orang lain, sehingga menjadi pengalaman yang meningkatkan semangat. Jika Gen Z merasa lelah, berusahalah untuk berada di sekitar orang lain yang memiliki energi positif.

Sehingga dapat menjadi cara yang bagus untuk saling mendukung. Sepanjang hari, berolahraga dan berkumpul dengan orang-orang terdekat dapat memberikan energi positif yang membantu untuk tetap semangat, fokus, dan produktif.

Gen Z juga diharapkan dapat membantu menjaga keseimbangan dan mengatasi burnout dengan melakukan hal-hal tersebut. Semua itu akan memungkinkan mereka kembali bekerja dengan semangat dan produktivitas yang optimal. Dalam mencapai keberhasilan jangka panjang, sangatlah penting untuk mengembangkan kebiasaan yang baik secara pribadi maupun profesional.

Jadi, dalam menghadapi kompleksitas fenomena burnout di kalangan Gen Z menjadi hal yang sangat penting. Kita harus memahami bahwa tekanan yang mereka alami tidak hanya berasal dari tuntutan lingkungan kerja saja. Selain itu juga bersumber dari dinamika kehidupan sehari-hari mereka.

Gen Z memiliki pengendalian yang minim atas tugas pekerjaan, lingkungan kerja yang monoton, dan faktor gaya hidup yang tidak seimbang. Ditambah tekanan kepribadian menjadi elemen-elemen utama yang menyatukan kondisi burnout bagi Gen Z.

Situasi di dunia kerja memungkinkan kita untuk memberikan dukungan yang lebih besar kepada Gen Z. Mereka perlu diberdayakan dengan pemahaman tentang cara mengelola beban tersebut. Sehingga dapat menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan mental dan emosional mereka. Dengan begitu, Gen Z dapat memandang masa depan dengan lebih optimis. Kita dapat bersama-sama membentuk dunia kerja yang lebih seimbang dan berdaya saing.
*

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *