Maestro School of Technopreneur, Kampus Vokasi dengan Konsep Berbeda

Tiap mahasiswa Maestro School of Technopreneur tak dikungkung dalam program studi. Mereka bebas memilih bidang sesuai bakat dan minat. Mayoritas perkuliahannya langsung kepada para pakar di tempat kerja.

Hilmi Setiawan, Bogor

MATA M. Rahman Fadil sesekali melirik ke komputer jinjing di depannya. Yang tampak terbuka di layar situs foye-foye.com. ’’Ini proyek magang saya. Situs penjualan tiket pesawat, kereta, dan hotel,’’ kata Fadil yang saat ini magang di pemilik perusahaan sistem keamanan IT bernama PT Triza itu.

Selain Fadil, di ruangan berukuran 3 x 4 meter tersebut juga ada Ahmad Faris Aprilio dan beberapa mahasiswa Maestro School of Technopreneur (MSOT) yang lain. Mereka mengikuti sesi mentoring oleh Donny Prayudi Nugroho, kepala akademik sekaligus tutor business ethics. Yang dibahas soal bisnis dan pemasaran.

Seperti Fadil, Faren, sapaan Ahmad Faris Aprilio, saat ini juga magang di sebuah rumah produksi bernama Jalan Sore. ’’Sebelumnya saya magang di Samsara Picture, rumah produksi yang sering menggarap video iklan televisi,’’ ungkapnya.

Sesuai dengan namanya, setiap mahasiswa di MSOT yang merupakan kampus vokasi D-3 memang langsung nyantrik. Alias magang atau belajar langsung kepada maestro. Sesuai dengan minat dan bakat masing-masing.
Donny menjelaskan, secara formal, penjurusan kampusnya adalah kewirausahaan. Tapi, nama resmi itu hanya untuk proses pengajuan izin ke pemerintah. Dalam praktiknya, proses pendidikannya benar-benar fleksibel dan cair. Masing-masing mahasiswa tidak dikungkung dalam satu program studi (prodi) atau jurusan.

Sebaliknya, masing-masing mahasiswa dilayani sesuai dengan bakat dan minat masing-masing. Caranya, ya itu tadi, belajar langsung kepada pakar. Dengan sistem perkuliahan 30 persen teori dan 70 persen praktik, kampus MSOT di Parung, Kabupaten Bogor, tidak membutuhkan banyak gedung kelas maupun laboratorium. Sebab, tempat berpraktik mahasiswanya ya di tempat kerja para maestro yang digandengkan.

Sementara itu, untuk 30 persen teori, juga tidak terlalu membutuhkan ruang kelas. Sebab, hampir seluruh dosen pengampu kuliah, khususnya terkait bisnis, adalah para pemilik atau pendiri perusahaan langsung.
’’Jadi, kuliahnya anak-anak datang langsung ke kantornya. Dengan suasana kantor tempat kerja, bukan ruang kelas,’’ jelasnya.

Dalam sebulan, paling hanya sepekan mahasiswa ke kampus untuk mengikuti forum brifing berupa teori. Misalnya, yang dilakukan Donny pada Senin lalu itu (11/12) yang juga diikuti Jawa Pos. Suasananya juga sangat santai. Donny dan kelima mahasiswa semester I dan III duduk bersebelahan dan berhadapan. Ada papan tulis putih, proyektor, serta meja di bagian tengahnya.

Layaknya diskusi sembari nongkrong. Jadi, Donny juga tak terganggu ketika para mahasiswanya menyimak sembari mengamati proyek magang mereka. Fadil, misalnya, mengaku masih harus memperbaiki sistem website-nya. Sekaligus membuat versi aplikasi berbasis Android.

Kelak Fadil ingin menjadikan foye-foye.com berfokus pada layanan jasa wisata khusus dalam negeri. ’’Karena Indonesia itu memiliki banyak destinasi wisata yang indah,’’ tuturnya.

Semua rancangan itu merupakan bagian dari ilmu yang dia serap dari proses magang di PT Triza. Dia mengaku sangat senang belajar di perusahaan tersebut. Sebab, sang pemilik kerap mengajaknya bertemu klien. Juga, diberi kesempatan membuka beberapa sesi pelatihan atau seminar yang melibatkan PT Triza.

Begitu pula Faren. Ilmu dan pengalaman dari magang, serta tambahan teori di kampus, membuatnya kian yakin mewujudkan mimpinya selama ini. ’’Saya ingin jadi filmmaker,’’ katanya.

MSOT merupakan pengembangan konsep sekolah alam yang dibuat Lendo Novo. Dirintis sejak 2013, kompleks MSOT juga menjadi satu dengan sekolah alam bernama School of Universe (SOU) di Parung. ’’Sebelumnya, kampus MSOT berada di Kuningan. Tetapi sekarang pindah ke sini,’’ ujar Donny.

MSOT memiliki 14 mahasiswa saat ini. Perinciannya, 5 orang di angkatan pertama (semester VII), satu orang dari angkatan kedua, dan masing-masing 4 orang di angkatan ketiga dan keempat. MSOT memang lebih banyak mengandalkan mahasiswa dari sekolah alam.

’’Kami tak mempermasalahkan jumlah mahasiswa,’’ tegas Donny.
MSOT nekat mengambil ’’jalan yang beda’’ dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi karena dipicu hasil sebuah survei. Survei tersebut memperlihatkan, 87 persen mahasiswa di Indonesia salah mengambil jurusan kuliah. Salah itu maksudnya jurusan yang dipilih tidak sesuai dengan bakat dan minat.

Belum lagi ketidaksesuaian jurusan kuliah dengan pekerjaan. Misalnya, lulusan kampus pertanian bekerja di perbankan dan lain sejenisnya. Padahal, menurut Donny, jika mahasiswa diarahkan sesuai dengan bakat dan minat, terbuka peluang bagi mereka untuk menjadi pakar di bidang masing-masing. Dia mencontohkan mahasiswanya semester VII bernama Irfan Burhanudin Anwar.

Irfan adalah anak Prof Warsito Purwo Taruno yang sempat heboh dengan penemuan alat terapi kanker. Awalnya, sewaktu di SOU, Irfan ditengarai berminat pada musik. Sampai suatu ketika, saat kursus musik, dia mendapati sebuah motor rusak. Diperbaikilah motor tersebut. ’’Ternyata, motor yang rusak itu bisa digunakan. Dari situ ketahuan bakatnya di mesin atau otomotif,’’ jelas Donny.

Akhirnya, Irfan diarahkan menekuni utak-atik motor atau custom culture. Saat ini Irfan bergabung dengan Thrive Motorcycle, sebuah pusat custom motor di Kemang, Jakarta. Dalam testimoninya di website kampus MSOT, Irfan mengatakan, ’’Menurut gue, maestro gak cuma mengajarkan teori, tetapi juga realisasi.’’

Beberapa dosen yang sekaligus bos perusahaan di MSOT adalah Rudi Maulana, CEO Proxsis, sebuah perusahaan jasa konsultan. Ada juga Syauki Amin, bos Siskem.

Siskem adalah perusahaan yang bergerak di bidang kimia dan air. Materi teori yang disampaikan umumnya soal seluk-beluk bisnis. Melalui cara itu, mahasiswa dibiasakan dengan lingkungan kerja sesungguhnya.

Menjadi sebuah kampus dengan model belajar yang berbeda tentu tak bisa lepas dari kendala. Perizinan, misalnya. Sampai saat ini tim akademik MSOT masih menunggu hasil perizinan yang sudah dimasukkan ke Kemenristekdikti.

Donny menyatakan, meski izin masih dalam proses, para orang tua mahasiswa tidak terlalu mempermasalahkan. Apalagi banyak orang tua yang berorientasi ingin anaknya menjadi pengusaha sesuai minat. ’’Bagi kami, yang lebih penting itu mengasah skill atau keahlian anak-anak,’’ tegasnya. (*/c5/ttg)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *