Ketidakberdayaan Frengki dan Nevia Obati sang Anak yang Alami Kelainan Anus

Saban hari Cantika kesakitan tiap kali anus buatannya harus dimasuki besi agar tak tersumbat. Operasi kedua harus dilakukan, juga pengobatan untuk biji matanya yang hanya satu. Tapi, kedua orang tuanya sudah tak punya apa-apa untuk dijual.

IRVA GUSNADI, Kerinci

TIAP hari berganti adalah sebuah pengalaman menyakitkan bagi keluarga yang tinggal di gubuk itu. Kala sang ayah harus memasukkan besi ke anus buatan sang anak. Yang membuat si buah hati menjerit kesakitan dan ayah-bundanya bercucuran air mata. ”Saya tidak tega melihat anak saya menderita seperti itu,” ujar Frengki, sang ayah, kepada Jambi Ekspres sembari berlinang air mata.

Lavita Cantika, si anak yang baru berusia 11 bulan, menderita kelainan anus (anus imperforata) dan hanya memiliki satu bola mata. Operasi pembuatan anus buatan memang sudah dilakukan saat Cantika baru berusia 2,5 bulan. Tapi, ”ritual” menyakitkan tadi harus tetap dilakukan Frengki agar lubang buatan Cantika tidak tersumbat. ”Sekarang tinggal menunggu panggilan dari dokter untuk dilakukan operasi kedua,” kata Frengki.

Selain anus, lanjut suami Nevia itu, kata dokter, mata yang tidak memiliki bola mata harus tetap dibuka. ”Agar tidak menjadi sarang kuman,” ucap pria 32 tahun tersebut.Persoalannya, mereka sudah tidak punya apa-apa. Operasi pertama Cantika yang menelan biaya sampai Rp 32 juta telah menguras simpanan keluarga yang memang tidak banyak.

Keluarga dengan dua anak itu kini tinggal di gubuk ladang di Desa Tanjung Syam, Kecamatan Bukit Kerman, Kabupaten Kerinci, Jambi. Frengki merupakan warga Semurup, Kerinci. Sedangkan Nevia warga Desa Koto Padang, Kota Sungai Penuh.

Jadi, status mereka di pondok di tengah ladang tersebut hanya menumpang. Pondok bersahaja itu pun dibangun warga setempat. Yang bersimpati atas yang dialami pasangan muda tersebut. Sehari-hari Frengki bekerja sebagai buruh tani. Dengan penghasilan yang tak tentu, tentu saja. Padahal, di sisi lain, Cantika butuh penanganan segera.

Dokter sudah memintanya segera ke Padang. Agar operasi kedua buat Cantika bisa segera dilakukan. Tapi, jangankan ke Padang yang berada di Sumatera Barat. Pergi ke Sungai Penuh, ibu kota Kerinci, saja sudah tak terjangkau oleh keluarga itu.

Apalagi, mereka masih harus memikirkan biaya pendidikan untuk si anak pertama yang duduk di kelas III sekolah dasar. ”Suami sudah kerja banting tulang, tapi untuk makan saja susah,” ungkap Nevia sambil memeluk Cantika.

Sehari-hari, lanjut Nevia, Cantika makan seperti orang pada umumnya. Persoalan datang ketika dia harus buang air besar. ”Karena harus melalui anus buatan,” kata perempuan 25 tahun itu. Ketika mengetahui Cantika mengalami kelainan anus, Frengki tak berpikir panjang lagi untuk menyetujui operasi. Sebab, itulah satu-satunya cara agar si putri bungsu bisa bertahan hidup.

Semua harta yang dimiliki pun dijual. Sehingga operasi tahap pertama berhasil dilakukan. Dengan menghabiskan biaya Rp 32 juta. Semua harus ditanggung sendiri karena saat itu keluarga tersebut belum memiliki BPJS Kesehatan.

Kalau saja masih memiliki harta tersisa, Frengki mengaku juga tak akan ragu untuk menjualnya. Untuk operasi kedua Cantika. Keluarga besar tak bisa diharapkan. ”Ya, namanya juga orang miskin, mana ada keluarga yang mau datang membantu. Saya dan istri seakan-akan berjuang sendiri menghadapi masalah ini,” katanya.

Begitu pula aparat pemerintah, tak ada yang mengulurkan tangan. ”Belum pernah ada pejabat atau petugas kesehatan di Kerinci yang datang melihat kondisi kami,” bebernya lagi.

Kini suami istri tersebut hanya bisa berharap ada pihak yang terketuk untuk membantu, siapa pun itu. Sebab, mereka sungguh tak mau lagi melewati hari sembari mendengar jeritan kesakitan Cantika. Ketika sang ayah atau ibu dengan sangat terpaksa memasukkan besi ke anus buatannya. ”Kami tidak tega,” kata Nevia sembari sesenggukan.

 

(*/JPG/c9/ttg)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *