Demagogi Jurnalis Asing

Oleh: Handi Salam
Redaktur di Radar Sukabumi

BEBERAPA hari kebelakang saya menemukan artikel-artikel yang bagus untuk dibaca, hingga saat saya membacanya jadi putus asa mengenai keterampilan saya menulis yang buruk. Namun, ketika membaca artikel yang buruk membuat saya marah, sebab ia menular. Sebagai penulis yang tersendat-sendat, tingkat produktivitas yang menyedihkan saya selalu bisa menemukan kambing hitam dalam diri saya untuk disalahkan.

Bacaan Lainnya

Seperti hari minggu kemarin saya membaca sebuah artikel lumayan bagus dari laman Stuff.co.nz yang menceritakan tentang kisah Riadi Subagya Warga Negara Indonesia (WNI) sukses di Wellington Selandia Baru dengan menciptakan bisnis angkutan. Tak ada yang menarik dalam tulisan itu, cuma mengisahkan sosok WNI yang memiliki reputasi baik di negara asing.

Tapi, yang membuat saya teringat terus adalah bagaimana Riadi membuat masyarakat Selandia Baru senang dan bahagia saat naik mobilnya. Bahkan tak hanya masyarakat biasa hingga pejabat negarapun pernah merasakan kenyamanan jasanya. Padahal hanya menambahkan sedikit inovasi dalam mobilnya dengan menambahkan alat karoke bekas. Lagu Tom Jones yang berjudul ‘Delilah’ jadi senjata utama kendaraanya dan saya menggemari lagu itu.

Tulisan baik itu jadi contoh, dan bahkan disebarkan oleh media-media Nasional Indonesia dalam beberapa pekan terakhir. Kesuksesan WNI ini tercatat dalam sejarah bahwa dirinya bisa dan mampu bersaing meski di negara Asing.

Ya artikel itu tidak membawa penghasutan terhadap orang banyak, hanya memberitahu keberhasilan WNI. Beda dengan Artikel yang di yang dipublikasikan di Asia Times edisi 23 Januari 2018 dengan judul, ‘Widodo’s smoke and mirrors hide hard truths“. karya jurnalis Asing John Mc Beth berkebangsaan Negara Selandia Baru.

Artikel yang di klaim mejabarkan dan menyampaikan secara gamblang bahwa Pemerintahan Indonesia yang sedang dipimpin oleh Joko Widodo sedang memainkan permainan “Asap dan Kaca”. Dalam tulisannya Jhon menuding Jokowi diselimuti media-media yang pro Jokowi hingga keburukan dan kekacauan tidak timbul ke permukaan.

Bahkan Wartawan kelahiran 1944 itu, menyebut Jokowi sudah menjadi seorang empu (master) Smoke and mirrors. Maksud dari tulisan ini adalah sebuah idiom yang diadopsi dari para pemain sulap yang dalam aksi panggungnya menggunakan semburan asap dan cermin untuk menyembunyikan sesuatu dan menciptakan efek ilusi. Dalam kamus Cambridge difinisi maksud tulisan Smoke and Mirrors adalah “Something that is described as smoke and mirrors is intended to make you believe that something is being done or is true, when it is no”. Sesuatu yang dimaksudkan untuk membuat anda percaya bahwa ada sesuatu yang sedang dilakukan atau benar telah dilakukan, padahal tidak.

Mungkin dalam bahasa lebih sederhana smoke and mirrors adalah melebih-lebihkan fakta. Meski ngambang, artikel ini jelas menuding presiden Jokowi dengan buruk. Betapa tidak, wartawan senior yang memiliki istri WNI ini membuat pernyataan-pernyataan resmi yang sifatnya ngambang, tidak jelas dan dihiasi sedemikian rupa. Mulai dari persoalan daging, sumberdaya alam hingga permasalahan infrastruktur.

Menurutnya semua itu, dilakukan dalam rangka menaikkan citra positifnya menuju hari Pilpres 2019 yang sudah semakin dekat. Isi tulisan McBeth sendiri sebenarnya biasa saja dan tidak ada yang cukup baru. Mulai dari isu soal Freeport McBeth menyebut pemerintahan Jokowi melebih-lebihkan keberhasilan dalam divestasi saham sebesar 51 persen. Namun bagaimana cara pemerintah membayarnya dan bagaimana penguasaan manajemennya tidak jelas. Justru yang terjadi pemerintah kembali mengizinkan Freeport mengekspor konsentrat tembaga.

Selain itu, dirinya menyoroti soal swasembada pangan yang dijanjikan pada saat kampanye dulu, Jokowi menyatakan akan menghentikan berbagai impor komoditi pangan termasuk daging dan beras. Namun, janji itu sulit dilakukan dan nyaris tak berkutik oleh jeritan-jeritan rakyatnya. Ya, kalau benar pemerintahan Jokowi berhasil melakukan swasembada pangan, hal itu merupakan capaian yang luar biasa. Swasembada pangan berhasil dicapai saat Indonesia dipimpin Soeharto pada tahun 1980-an. Setelah itu para presiden penggantinya, tidak ada yang berhasil melakukannya.

Hingga saat ini atikel ini masih menjadi kehebohan masyarakat khususnya lawan politik dan sejumlah jurnalis media nasional. Kata idiom yang digunakan, dan reputasi pribadinya sebagai wartawan yang sangat menguasai peta politik Indonesia jadi satu alasan tulisan ini jadi viral. Tuduhan penggunaan idiom smoke and mirrors dan hide hard truths. Sebuah kosa kata yang tidak main-main karena mengandung tuduhan bahwa Presiden Jokowi mencoba menyembunyikan sebuah kebenaran.

Bahkan di akhir tulisannya Mcbeth meramalkan, cepat atau lambat kebenaran itu akan terungkap dan masyarakat akan menyadarinya. Dia menggunakan kata “Sooner or later, the smoke and the mirrors will inevitably lift to reveal hard realities”. Setelah membaca artikel ini, saya langsung melihat kanan dan kiri, terutama di media sosial. Benar saja, tulisan suami mantan wartawan senior Tempo Yuli Ismartono ini jadi senjata lawan politik Jokowi. Meski tulisan ngambang, mereka fikir artikel ini adalah baik. Ya, jika melihat pengalaman wartawan yang saat ini menghabiskan masa tuanya di Bali adalah wartawan Asia yang sudah berpengalaman.

Tapi, itu bukan salah satu syarat untuk percaya secara penuh. Faktanya bukan hanya saat ini McBeth mengkritik pemimpin Indonesia, di era SBYpun dirinya pernah menulis sebuah buku berjudul The Loner: President Yudhoyono’s Decade of Trial and Indecision. Sebuah buku yang menulis dengan sangat lengkap masa kepemimpinan SBY selama dua periode sebagai presiden keenam RI dan presiden pertama yang terpilih secara demokratis.

Demagogi jurnalis asing bisa merusak atau memperbaiki, tergantung masyarakatnya. Yang saya khawatirkan ini adalah cara halus untuk mengadu domba antara dua kelompok masyarakat yang sedang tegang-tegangnya. Mereka lupa, akibat isu-isu hoax yang bersifat hasut akan meruntuhkan sebuah negara. Lihat saja Irak dan negara timur tengah lainnya yang dimainkan oleh isu orang asing.
Pada akhirnya, siapapun yang memimpin bangsa ini hasilnya akan sama saja, kaum yang menolak dan tidak setuju akan selalu hadir berteriak lantang. Saya mendukung pemerintah, tapi bukan kelompok Pak Jokowi ataupun lawan politiknya. Yang saya ingin, rakyat tidak perlu saling bermusuhan cukup para wakil dan pemimpinnya, bukan sebaliknya. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *