Upah Minimum 2022, Refleksi Awal atas PP 36/2021

Mohamad Anis Agung Nugroho

Oleh: Mohamad Anis Agung Nugroho
(Direktur Eksekutif Kemitraan Kerja)

Upah Minimum Propinsi (UMP) untuk tahun 2022 sudah ditetapkan dengan rata-rata kenaikan 1,09% berdasarkan formula yang dimuat dalam PP 36/2021. Demikian juga dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) untuk tahun 2022.

Meskipun mendapatkan tekanan dari Serikat Pekerja/Buruh, Gubernur tetap mengikuti PP 36/2021, sehingga kenaikannya sangat kecil. Bahkan beberapa daerah seperti Kabupaten Bekasi, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bogor, tidak naik karena UMK-nya saat ini sudah melebihi batas atas upah minimum yang juga dihitung berdasarkan PP 36/2021.

Keputusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan formil terhadap UU 11/2020 juga mengisi ruang publik. Seperti kita tahu, PP 36/2021 adalah produk turunan dari UU 11/2020 yang dinyatakan inskonstitional bersyarat oleh MK.

Menurut MK, inskonstitional bersyarat berarti, UU 11/2020 tetap berlaku, tapi harus diperbaiki dalam dua tahun, kalau tidak, akan dinyatakan inskonstitutional permanen.

Keputusan ini memicu perdebatan baru tentang keabsahan UU 11/2020. Serikat Pekerja/Buruh menganggap UU 11/2020 cacat dan tidak bisa dipakai, termasuk aturan turunannya, yaitu PP 36/2021 tentang Pengupahan.

PP 36/2021 mengubah beberapa hal termasuk menghapus upah minimum sektoral (UMS) dan memberikan pengecualian usaha mikro dan kecil dari kewajiban membayar upah minimum. Berbeda dengan PP 78/2015, PP 36/2021 menggunakan formula baru dengan variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, median upah, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi dari daerah yang bersangkutan.

PP 36/2021 ini juga memperkenalkan formula untuk menghitung batas atas sehingga upah minimum di sebuah daerah tidak naik jika besarannya melebihi batas atas.

Variabel yang digunakan untuk menghitung batas atas adalah rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, serta rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja pada setiap rumah tangga. Dan perubahan lainnya adalah ada sanksi bagi kepala daerah yang tidak mentaati PP 36/32021.

Sejak Pemerintah menerbitkan PP 78/2015 upah minimum ditetapkan dengan formula matematika, bukan dengan perundingan di dewan pengupahan daerah seperti sebelumnya.

Tahun ini, berdasarkan UU 11/2020 Tentang Cipta Kerja, pemerintah mengatur cara penetapan upah minimum dengan PP 36/2021 yang akan berlaku untuk Tahun 2022.

Serikat Pekerja/Buruh meresponse kecilnya kenaikan upah minimum dengan memberikan tekanan kepada Bupati/Walikota untuk merekomendasikan besaran upah minimum yang lebih besar kepada Gubernur .

Tetapi rekomendasi itu ditolak dan Gubernur tetap menggunakan formula dalam PP 36/2021 untuk menetapkan UMP dan UMK .

Upah minimum dapat dihitung dengan formula matematika dengan variabel ekonomi sebagaimana yang kita gunakan sekarang dan bisa juga dirundingkan, seperti yang dipakai sebelum tahun 2015. Beberapa literatur mencatat kelebihan dan kekurangan dari kedua cara tersebut.

Menurut Dickens (2015) model perundingan memberikan fleksibilitas dan ruang dialog antara pekerja dengan pengusaha, tetapi prosesnya lama dan besarannya sulit diprediksi, apalagi jika ada intervensi politik.

Sementara itu, model formula memberikan transparansi dan kepastian dalam proses dan ketepatan waktu, tetapi kurang fleksibel dalam merespons keadaan pasar tenaga kerja yang dinamis.

Selain itu, sering terjadi formula yang ditetapkan tidak dapat memasukkan semua faktor ekonomi dan ketenagakerjaan yang sangat kompleks (ILO, 2017).

Kita perlu mencari model yang sesuai kemampuan institusi yang dimiliki oleh suatu negara, kemampuan badan statistik, dan kemampuan para pemangku kepentingan (ILO, 2017) untuk mencapai tujuan kebijakan upah minimum.

Dalam konteks Indonesia, Nugroho dalam tesisnya yang berjudul : Menggunakan Metode Delphi Untuk Menganalisis Efisiensi Kelembagaan Penetapan Upah Minimum di Indonesia : Model Formula vs. Model Perundingan (2021) menemukan bahwa model formula matematika memberikan biaya transaksi ex-ante lebih rendah dibandingkan model perundingan, tetapi dapat meningkatkan resiko biaya ex-post.

Tesis pada Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, FEB Universitas Indonesia tersebut menggunakan transaction cost economics (ekonomi biaya transaksi) dengan metode Delphi untuk mendapatkan konsensus pakar yang menjadi nara sumber penelitian.

Pakar dalam penelitian tersebut sepakat bahwa penghapusan perundingan, penggunaan data Badan Pusat Statistik (BPS), dan penghapusan peran kepala daerah dalam menetapkan besaran upah minimum meningkatkan efisiensi waktu dan efisiensi koordinasi.

Tetapi, pakar tidak mencapai konsensus dalam menilai risiko perselisihan hubungan industrial yang muncul karena penerapan PP 36/2021. Sebagian pakar menilai penggunaan formula menurunkan risiko perselisihan, sebagian lain berpendapat risiko perselisihan naik karena upah minimum di beberapa daerah tidak naik.

Nampaknya, perselisihan hubungan industrial masih akan terjadi sampai beberapa waktu kedepan karena pekerja/buruh merasa dirugikan dengan kebijakan upah minimum yang berlaku saat ini.

Secara umum hubungan industrial memang sedang tidak baik. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya unjuk rasa dan gugatan pada PP 78/2015 dan dilanjutkan unjuk rasa dan gugatan kepada UU 11/2020 Tentang Cipta Kerja.

Mahkamah Konstitusi baru saja menetapkan bahwa Undang-Undang 11/2020 inkonstitutional bersyarat berdasarkan gugatan formil yang diajukan oleh SP/SB .

Peraturan Pemerintah No 36/2021 yang saat ini mengatur kebijakan upah minimum adalah turunan dari UU 11/2020, sehingga hasil gugatan pada undang-undang tersebut dapat berdampak pada kebijakan upah minimum.

Untuk meresponse kemungkinan memburuknya hubungan industrial ini, para pemangku kepentingan, khususnya Pemerintah dalam melakukan beberapa hal dalam jangka pendek dan jangka menengah/panjang.

Harapannya, biaya transaksi ekonomi yang muncul setelah penetapan kebijakan upah minimum dan kebijakan ketenagakerjaan pada umumnya dapat dikendalikan.

Bagi pemerintah, PP 36/2021 tetap berlaku dan digunakan dalam menghitung upah minimum. Sehingga Pemerintah perlu segera mengawasi kewajiban perusahaan menyusun struktur dan skala upah yang juga diamanatkan dalam PP 36/2021.

Struktur dan skala upah merupakan bagian dari Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang dirundingkan ditingkat perusahaan. Pemerintah dapat mengurangi perselisihan hubungan industrial dengan mendorong adanya struktur dan skala upah berbasis produktifitas.

Sehingga meskipun upah minimum tidak naik, pekerja dapat menikmati upah yang lebih tinggi sesuai dengan struktur dan skala upah ditingkat perusahaan. Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota yang memiliki tugas pembinaan dan pengawasan ketenagakerjaan dapat memberikan bantuan teknis bagi perusahaan untuk membuat struktur dan skala upah.

Usaha Pemerintah Kabupaten Sukabumi untuk mendorong adanya kesepakatan antara pekerja dan pengusaha pada sektor garment berorientasi ekspor juga perlu di apresiasi .

Meskipun upah minimum sektoral sudah tidak ada, tetapi perundingan yang menghasilkan kesepakatan upah diatas upah minimum perlu didorong.

Dalam jangka pendek, pemerintah daerah juga dapat memberikan subsidi seperti Kartu Pekerja Jakarta . Dengan subsidi ini, beban hidup pekerja yang cukup tinggi karena pandemi dapat dikurangi meskipun kenaikan upahnya kecil.

Program bantuan subsidi upah yang sempat diberikan oleh Pemerintah pada tahun 2020 juga dapat diberikan lagi untuk pekerja di beberapa daerah yang tidak mendapatkan kenaikan upah minimum.

Meskipun demikian, dalam jangka menengah dan panjang, Pemerintah perlu terus memonitor pelaksanaan kebijakan upah minimum, karena ini merupakan program strategis nasional.

Dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah perlu memonitor pelaksanaan kebijakan upah minimum secara berkesinambungan, sebagai bagian dari program strategis nasional.

Pemerintah membutuhkan sistem monitoring dan evaluasi yang baik, sehingga tujuan kebijakan upah minimum dapat dicapai dan dampak buruknya dapat dikurangi.

Monitoring dan evaluasi juga diperlukan untuk memastikan kebijakan upah minimum adaptif terhadap pasar tenaga kerja yang dinamis.

Bila perlu, formula penghitungan upah minimum dapat diubah, disesuaikan dengan pasar kerja yang dinamis. Nugroho (2021) menemukan bahwa meskipun pakar mencapai konsensus penggunaan formula lebih efisien dibandingkan perundingan, tetapi mereka memberikan catatan pada formula dan variabel yang digunakan dalam PP 36/2021.

Selain lebih rumit dibandingkan dengan formula pada PP 78/2015, beberapa pakar menilai formula ini mungkin tidak cocok dengan kondisi daerah tertentu. Sebagian juga menilai formula yang digunakan tidak memperhitungkan kebutuhan dasar.

Sebagian pakar juga mengkritisi batas atas upah minimum yang sebaiknya digunakan hanya di beberapa daerah yang upah minimumnya sudah terlalu tinggi saja.

Peninjauan kembali ini juga dapat mengambil momentum tindak lanjut keputusan Mahkamah Konstitusi yang meminta Pemerintah dan DPR memperbaiki tata cara pembuatan UU 11/2020, yang merupakan induk dari PP 36/2021.

Dalam jangka menengah, pengawasan harus terus dilakukan untuk memastikan hak pekerja untuk berserikat dan berunding juga dihormati oleh pengusaha.

Dengan berserikat, yang merupakan hak dasar, pekerja mempunyai jalur untuk berunding dan mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik.

Harapan pekerja untuk mendapatkan kenaikan upah bisa didapatkan dari perundingan ditingkat perusahaan.

Sayangnya, tidak banyak pekerja yang menjadi anggota Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Menurut BPS, hanya 13 orang menjadi anggota serikat pekerja dari 100 pekerja di Indonesia pada tahun 2018. Hal ini juga merupakan pekerjaan rumah untuk aktifis serikat pekerja/buruh.

Pengawasan juga perlu ditingkatkan untuk memastikan pekerja mendapatkan hak-hak lainnya seperti hak atas jaminan sosial, jam kerja dan jam istirahat, tunjangan hari raya, cuti melahirkan dan hak lainnya sesuai dengan ketentuan.

Sosial dialog menjadi kata kunci bagi hubungan industrial yang harmonis yang perlu terus dikembangkan baik oleh SP/SB, APINDO maupun Pemerintah. Sosial dialog seharusnya dilakukan secara berkala, tidak hanya ketika ada perselisihan hubungan industrial.

Bahkan, sebenarnya sudah sangat terlambat untuk melakukan sosial dialog ketika sudah terjadi perselisihan. Pemerintah dapat memulai sosial dialog ini dalam rangka perbaikan UU 11/2020 yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Meskipun MK hanya meminta perbaikan proses pembentukan UU 11/2020, tapi masalah materiilnya juga bisa diselesaikan apabila pihak-pihak yang terlibat dapat mengedepankan hubungan industrial yang dewasa.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *