Agustus 1945

Oleh: Kang Warsa

Bulan Agustus dipandang sebagai bulan sakral oleh bangsa ini. Hal ini bukan tanpa alasan, Kemerdekaan bangsa diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada bulan Agustus. Sejak 75 tahun lalu, Agustus dipandang sebagai jembatan emas bagi bangsa Indonesia untuk berpindah alam dari era panjang kolonialisme ke alam kemerdekaan, kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa dikte dari pihak manapun terutama dari negara-negara kolonial.

Bacaan Lainnya

Pekikan dan kumandang kalimat “merdeka atau mati” tidak sekadar euphoria dan terpampang pada dinding-dinding, spanduk sederhana, tetapi telah benar-benar membenam di dalam diri bangsa Indonesia setelah proklamasi dikumandangkan.

Meskipun ada diskursus bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan pemberian dari Jepang tetapi wacana seperti ini sama sekali tidak pernah mengurangi nilai dan semangat bahwa kemerdekaan bangsa ini diraih bukan dengan topang dagu semata.

Harta, nyawa, peluh, tenaga, dan pengorbanan lainnya yang telah dipersembahkan oleh leluhur bangsa ini merupakan perjalanan panjang yang dilalui oleh hampir lima generasi, sejak kedatangan Portugis dan beberapa negara Eropa pada tahun 1511 hingga 1945, sejak Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan hingga menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Maka, diskursus yang memandang kemerdekaan Indonesia sebagai hadiah atau pemberian dari Jepang sama sekali sulit diterima oleh nalar sehat.

Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada bulan Agustus 1945 bertepatan dengan berakhirnya dua perang dunia yang telah membawa malapetaka atau bencana kemanusiaan.

Perang yang berlangsung sejak awal abad 20 hingga 1945 telah melenyapkan 50-75 juta populasi manusia tidak berdosa, memorakporandakan empat kekaisaran besar, dan telah dicatat oleh sejarah sebagai malapetaka terhebat sepanjang sejarah manusia selain kematian yang disebabkan oleh wabah.

Agustus 1945 juga merupakan masa berakhirnya kolonialisme dan imperialisme oleh negara-negara Eropa dengan mengatasnamakan merkantilisme.

Namun di sisi lain merupakan babak baru pertarungan dua kekuatan besar, kapitalisme dan komunisme. Bagi bangsa Indonesia, Agustus merupakan titik tumpu yang dapat mengangkat martabat bangsa ke bhuwana yang lebih besar, dunia secara global.

17 Agustus 1945 bertepatan juga dengan tanggal 9 Ramadlan 1364 H. Salah satu bulan yang dipandang suci oleh umat Islam, bulan perjuangan.

Pemilihan tanggal, bulan, dan tahun kemerdekaan juga tidak terlepas dengan kebiasaan orang-orang di Nusantara dalam menentukan pelaksanaan dan perayaan hari besar dan bersejarah melalui “falakiyah” atau penghitungan yang memadukan rasionalitas dan ikatan mereka dengan alam.

Bagi umat Islam, tanggal 17 dapat saja ditafsirkan sebagai jumlah rakaat dalam salat. Bagi para penganut spiritual, angka 8 dipandang sebagai masa yang dipenuhi dengan kegemilangan, sebuah angka tanpa berkesudahan, simbol keberlangsungan tanpa henti.

Orang-orang di Nusantara meskipun mereka telah menganut keyakinan-keyakinan lain selalu memadukan apa yang ada di dalam keyakinannya dengan tradisi-tradisi yang telah lama berkembang dan dijalankan oleh leluhurnya.

Meskipun di dalam sejarah perjuangan bangsa disebutkan penetapan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan dilatarbelakangi oleh desakan kaum muda kepada para founding father, walakin hakikat di dalam penentuannya luput dari catatan sejarah.

Penamaan bulan ke 8 di dalam kalender Gregorian dengan sebutan Agustus merujuk kepada Octavianus Augustus, salah seorang kaisar Romawi yang dinobatkan pada tahun 27 M. Di bawah kepemimpinan Augustus, Romawi telah menempatkan dirinya pada puncak kegemilangan setelah sebelumnya –di bawah kepemimpinan Julius Caesar– sering diwarnai oleh penaklukan melalui cara-cara perang dan invasi dengan menciptakan teror dan rasa takut bagi penduduk daerah-daerah terdekat.

Agustus lebih banyak memilih cara-cara diplomasi kepada daerah-daerah taklukkannya, melakukan pendekatan persuasif agar daerah-daerah lain siap bergabung dengan kekaisaran. Pax Romana dipandang sebagai mercusuar perdamaian imperium Romawi.

Sosok Augustus lebih memilih cara-cara damai dengan pihak-pihak lain, hatta terhadap pihak yang merongrong kekaisaran Romawi Barat. Sebagai balas budi kepada Markus Antonius yang telah membantu Augustus tampil di tampuk kekuasaan, wilayah taklukkan kekaisaran Romawi sebelah timur diserahkan kepada Markus Antonius. Panggung perpolitikan dari dulu hingga sekarang tidak pernah luput dari intrik dan rasa haus terhadap kekuasaan.

Markus Antonius mencoba merebut kekuasaan Augustus di akhir masa kekaisarannya. Kedamaian yang telah dibangun oleh Augustus berakhir melalui peperangan antara kaisar dengan pegawai administraturnya sendiri. Markus Antonius mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.

Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 sejak diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta sampai beberapa tahun ke depan mengalami beragam dera cobaan. Konflik horisontal perebutan kekuasaan, agresi militer Belanda, pemberontakan PKI di Madiun, proklamasi DI/TII di sejumlah daerah, dan isu-isu lainnya mewarnai panggung kehidupan negara ini selama dua sampai beberapa dekade ke depan.

Bung Karno menyebut situasi ini sebagai era revolusi, sebuah terma yang berhembus dan bermula dari revolusi-revolusi yang pernah terjadi di Eropa; revolusi Perancis dan Bolshevik. Kerugian besar ditanggung oleh bangsa ini selama masa revolusi fisik.

Pemberontakan yang dilakukan oleh PKI Muso dan Alimin di Madiun telah memorakporandakan kerukunan antargolongan yang baru saja dibangun dalam kerangka kebhinekaan.

Teror yang dilakukan oleh PKI pada tahun 1948 tidak hanya dilakukan dalam bentuk verbal, kata-kata kotor, penyebutan setan desa kepada para kyai dan aparat desa. PKI juga mengambil langkah lainnya menghempaskan sikap kemanusiaan, para kyai dan aparat desa banyak yang dieksekusi.

Baru empat tahun Indonesia merdeka, pada tanggal 7 Agustus 1949, S.M Kartosoewirjo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII), sebelumnya dikenal dengan sebutan Darul Islam (DI) pada masa Pergerakan Kemerdekaan tahun 1912.

Tidak sedikit para laskar dan badan perjuangan rakyat dari Hizbullah dan Sabilillah tergoda oleh bujuk rayu pendirian negara di dalam negara ini. Negara Islam Indonesia juga sering disebut sebagai Negara Kurnia Allah (NKA).

S.M Kartosoewirjo mempropagandakan ‘perang sabil’ terhadap siapapun yang mencoba menghalangi berdirinya Darul Islam di Indonesia. Dalam pandangan NII, laskar-laskar perjuangan selain Tentara Islam Indonesia merupakan lawan yang harus terus diperangi. Pada pertengahan tahun 1953 dikeluarkan perma’luman atau pengumuman perang kepada pihak Republik Indonesia Kafir (RIK) yang berisi antara lain :

“ Perangilah mereka (kafirin) itu, hingga lenjap-musnahlah (segenap) fitnah di dunia. Bagi kita: RIK dan TRIK djahilin. Setiap muslim dan mudjahid wadjib menolak bahaja dan bentjana jang ditimbulkan oleh perbuatan kafirin dan djahilin RIK dan TRIK, ialah perbuatan djahanna jang njata-njata.”

Citra yang terbentuk di masyarakat, karena gerakan ini dilakukan secara bergerilya sering disebut oleh surat kabar atau koran-koran saat itu sebagai gerakan gorombolan DI/TII Kartosoewirjo. Kemudian saat berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) di awal tahun 1950-an , pemerintah menyebutnya dengan Gerakan DI/TII. Pada akhirnya sebutan ini melekat di dalam masyarakat.

Masyarakat bersama tentara-tentara dengan latar belakang nasionalis-religius sama sekali tidak memiliki alasan yang kuat untuk tergoda oleh propaganda DI/TII yang terus berkembang di Jawa Barat kecuali harus melawan dan menghancurkan pendirian negara di dalam negara ini.

Dapat dikatakan, lima tahun setelah DI/TII atau Negara Kurnia Allah (NKA) diproklamasikan di Jawa Barat oleh S.M Kartosoewirjo gerakan kaum gorombolan ini semakin terlihat lebih berani termasuk di Sukabumi. Daerah yang masih jarang penduduknya dijadikan basis utama dan barak militer para gorombolan.

Tanpa merasa berdosa karena doktrin yang dikembangkan dalam gerakan ini adalah penafsiran yang tidak tepat terhadap ayat-ayat Jihad di dalam Al-Quran, mereka melakukan aktivitas yang benar-benar bertolak belakang dengan ajaran yang ada di dalam Islam seperti; merampok harta kekayaan rakyat dengan dalih ghonimah, hingga melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap sebagai pesaing atau musuh Allah. Di daerah Parungséah, Sukabumi, terdapat sebuah tempat di mana para penentang DI/TII ini dieksekusi diberi nama Cipeuncit.

Teror dalam bentuk ancaman yang dilakukan oleh DI/TII memiliki kemiripan dengan gerakan kaum komunis di Madiun pada tahun 1948. Mereka menebar isu dan ancaman penculikan, perampokan, dan pembunuhan. Mayat-mayat yang telah dibunuh dengan sengaja disimpan di pinggir jalan dengan maksud untuk menimbulkan rasa takut kepada masyarakat.

Penggunaan kata kafir kepada para Tentara Kemanan Rakyat dan siapapun yang menentang gerakan ini dilakukan serupa dengan sebutan mereka kepada penjajah Belanda di masa sebelum kemerdekaan, mereka menyebut pribumi yang tidak sehaluan dan sejalan dengan mereka sebagai para “londo ireng”.

Adanya kemiripan teror dan ancaman antara kaum komunis dengan gorombolan ini menyulitkan masyarakat untuk membedakan mana saja peristiwa di masyarakat yang dilakukan oleh kaum komunis atau gorombolan.

Di saat semakin gencarnya gerakan kaum komunis dan gorombolan tidak sedikit beberapa tempat telah disiapkan sebagai peng-eksekusian para tentara, misalnya di Purabaya, menurut penuturan beberapa saksi, di kampung Legoknangka, Purabaya telah disiapkan delapan lobang (lomang) untuk mengubur hidup-hidup para tentara dan kyai desa, bisa jadi hal itu dilakukan oleh kaum komunis atau gorombolan.

Beberapa kesulitan yang dialami oleh tentara dan para pejuang di Sukabumi dalam menghentikan gerakan gorombolan DI/TII Kartosoewirjo disebabkan oleh: gerakan tersebut menggunakan terma-terma keislaman yang telah dianut oleh masyarakat Sukabumi, mau tidak mau, dengan penggunaan terma keislaman seperti kata Jihad telah menimbulkan simpati masyarakat terhadap perjuangan para gorombolan.

Medan Sukabumi sebelah Selatan merupakan daerah perbukitan dapat dikatakan sebagai tempat strategis bagi gorombolan untuk melakukan gerilya-gerilya di dalam melancarkan aksi terornya kepada masyarakat.

Pada awalnya, pemerintah Indonesia mulai dari pusat hingga daerah lebih memilih menggunakan pendekatan persuasif terhadap gerakan DI/TII ini, seperti yang dilakukan oleh M. Natsir.

Namun selama beberapa tahun, pendekatan seperti ini tidak mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik, maka untuk Jawa Barat, pemerintah Indonesia menempuh operasi militer Bharatayudha. S.M Kartosoewirjo bersama para tentaranya dapat ditaklukkan dan ditangkap pada tanggal 4 Juni 1962. Keberhasilan pemerintah Indonesia ini diikuti oleh keberhasilan penyelesaian pemberontakan DI/TII di Sukabumi.

Agustus tahun ini merupakan usia ke-75 keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertepatan juga dengan pandemi Covid-19. Perhetalan, perayaan, kariaan, dan kemeriahan agustusan yang biasa dilakukan di masyarakat mau tidak mau harus dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan maksimum.

Meskipun keberadaan wabah tidak akan pernah menyurutkan bangsa ini dalam memberi makna dan mengisi hari kemerdekaan, kemeriahan agustusan harus dilalui dengan suasana yang khidmat. Kemerdekaan Indonesia sebagai jembatan emas bangsa dalam melintasi kehidupan tetap akan menemui jalan terjal, curam, dan menikung.

Tujuan dan cita-cita kemerdekaan bangsa ini masih merupakan harapan yang hanya akan dicapai oleh niat yang tulus seperti yang telah dicontohkan oleh para pahlawan di saat mereka menghadapi kaum penjajah. [ ]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *