Biaya Top Up e-Money, HG: Bisa Jadi Blunder

SUKABUMI – Belum lama ini, Bank Indonesia (BI) direncanakan akan merilis aturan pengenaan biaya isi ulang (top-up) uang elektronik atau e-money dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) diseluruh ruas tol Indonesia.

Mulai Oktober, masyarakat nantinya diwajibkan menggunakan transaksi nontunai.

Bacaan Lainnya

Kebijakan itu nampaknya langsung mendapat sorotan dari Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan.

Pengenaan biaya top-up e-money disebut-sebut untuk memberikan insentif kepada perbankan sehingga dapat memperbanyak infrastruktur pembayaran uang elektronik.

Disebutkan pula besaran biaya top-up yang akan diterapkan bank kepada konsumen sebesar Rp1.500 per transaksi.

Tak ayal, pengenaan biaya top-up itu mencuatkan kisruh. Selain bertentangan dengan semangat dan visi cashless society yang gencar disosialisasikan BI, juga karena hal tersebut memberatkan rakyat.

“Pertama, pengenaan top up tersebut kontra-produktif dengan semangat Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) menuju cashless society yang bertujuan untuk mewujudkan sistem pembayaran yang transparan, efisien, minim risiko, aman dan terhindar dari tipu-tipu. Meskipun, kebijakan tersebut untuk mengatur agar biaya lebih murah ketimbang mengisinya di merchant, tapi, sedapat mungkin BI sebagai regulator bisa berpihak ke masyarakat dan menghindarkan mereka dari potensi pungutan fee dari setiap isi ulang e-money yang memberatkan,” kata HG, sapaan akrab Ketua DPP Gerindra Bidang Perdagangan ini saat dihubungi Radar Sukabumi, kemarin (18/9/2017).

Kedua, dinilai HG aturan tersebut bisa jadi pintu masuk BI untuk memfasilitasi animo masyarakat yang makin aktif menggunakan e-money mewujudkan visi besar cashless society itu.

Tahun 2017 saja tercatat transaksi uang elektronik telah mencapai 58 juta transaksi dengan nilai Rp1,1 triliun.

Kalau ada biaya top-up justru bisa jadi blunder yang berujung pada distrust.

“Sebab, masyarakat yang mestinya mendapat insentif dari kelebihan-kelebihan e-money, justru mendapat disinsentif. Jelas, itu tidak elok,” tuturnya.

Lalu ketiga, kata HG, distrust masyarakat itu berupa sentimen negatif atas GNNT. Jangan sampai masyarakat sampai berpikir bahwa ini jadi semacam “alat” perbankan untuk menarik dana dari masyarakat.

“Itu tak pantas, tidak elok. Perbankan itu adalah institusi dengan aset yang besar. Image itulah yang musti tetap dijaga. Jangan sampai rusak hanya gara-gara uang receh,” imbuhnya.

Keempat, lanjut HG, pengenaan top-up itu lebih menguntungkan perbankan ketimbang masyarakat.

Pasalnya, bank sudah menerima uang sebelum transaksi terjadi. Hitunglah tiap kartu baru e-money itu dibeli dengan harga Rp25.000.

Lalu, biaya top up e-money yang dibebankan ke masyarakat sebesar Rp1.500.

Untuk diketahui, misalnya, dari empat Bank saja tercatat pengguna kartu e-money sebesar 27,6 juta (Bank Mandiri 9,61 juta + BNI 1,5 juta kartu + BRI 6,6 juta + BCA 10).

Jika rata-rata transaksi per bulan sebanyak 1 kali transaksi, maka uang top-up yang diraup bank sebesar 27,6 juta x Rp1.500 = Rp41,4 miliar per bulan. Sehingga, dalam waktu setahun = Rp41,4 x 12 bulan = Rp496,8 miliar. Kalau kita tambah dengan harga beli kartu Rp25.000, maka total dana masyarakat yang disimpan di bank = Rp496,8 + (Rp25.000 x 27,6 juta) = Rp1,2 triliun per tahun.

“Itu bukan uang yang sedikit. Nah, uang itu dibikin apa? Bagaimana pertanggungjawabannya di bank-bank, terutama BUMN? Kan, tidak jelas. Padahal semangat e-money itu adalah transparansi sistem pembayaran,” ujarnya.

“Kelima, lain lagi dengan e-money untuk kartu tol. Harga belinya Rp50.000 tapi hanya berisi Rp30.000. Nah, sisa yang Rp15.000 setelah dipotong biaya administrasi, dengan asumsi sebesar, misalnya, Rp5.000, kemana?” tanyanya.

Hal itu, tutur HG, tentunya sangat merugikan dan memberatkan masyarakat.

Harusnya dalam rangka mendukung cashless society, maka masyarakat mustinya diberi insentif.

Sebab, dengan beli kartu baru e-money berarti masyarakat sudah menaruh uangnya di bank, maka wajar mereka dapat insentif.

Insentif tersebut bisa berwujud gratisnya seluruh biaya, bebas pungutan apapun.

BI, mustinya melihat itu dalam proporsi yang objektif. Etos masyarakat beli kartu tersebut harusnya dikuatkan dengan perlindungan atas hak-hak mereka atas semua fasilitas e-money tanpa harus dipungut biaya sama sekali.

Alasan penyediaan infrastruktur pembayaran elektronik jangan jadi tameng yang seolah-olah itu adalah tanggung jawab masyarakat.

BI sebagai bank sentral yang independen yang bertugas mengatur kebijakan sistem pembayaran harus berpihak ke masyarakat.

Jangan bertindak seolah-olah menjadi Bank Komersil yang mencari untung.

Sebab itu, BI musti meninjau ulang kebijakan top up tersebut.

(ren)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *