SNI Penanggulanan Bencana Diterbitkan BSN Gara-gara Rawan Gempa

Gempa
Ilutrasi Gempa

RADARSUKABUMI.com – Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Kukuh S. Achmad berpendapat bahwa seluruh masyarakat terutama unsur pemerintah harus menyadari pentingnya kemampuan tanggap bencana. Sebab bencana alam di Indonesia dapat terjadi kapanpun dan berapa kalipun.

“BSN berupaya mendukung program pemerintah terkait kebencanaan melalui pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI),” kata Kukuh, Kamis (22/4).

Dia menjelaskan, dalam sistem standardisasi, BSN memiliki Komite Teknis 13-08 Perumusan SNI Penanggulangan bencana. Komite ini sudah menyusun beberapa SNI terkait bencana.

Salah satunya SNI 8357:2017 desa dan kelurahan tangguh bencana. “SNI ini bahkan telah dimasukkan dalam program diseminasi oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), terutama ke desa-desa yang rawan bencana,” tutur Kukuh.

Kukuh mengatakan agar terbentuk kesadaran tanggap bencana, masyarakat lewat pemerintah daerah setempat membutuhkan sebuah acuan. SNI 8357:2017 desa dan kelurahan tangguh bencana dirumuskan dengan tujuan sebagai standar penerapan desa atau kelurahan tangguh bencana.

SNI ini diharapkan bisa menjadi acuan bersama dalam melakukan upaya pengelolaan risiko bencana berbasis masyarakat.

Termasuk di dalamnya adaptasi terhadap fenomena perubahan iklim yang banyak diinisiasi baik oleh kementerian/lembaga, organisasi non pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat desa dan kelurahan itu sendiri.

“Dengan penerapan SNI desa dan kelurahan tangguh bencana, diharapkan upaya-upaya pengelolaan risiko bencana tersebut bisa berkontribusi dalam penurunan risiko bencana termasuk dampak perubahan iklim,” ucapnya.

Pengelolaannya tambah Kukuh, melalui pemberdayaan masyarakat desa dan kelurahan dengan pelibatan langsung masyarakat, termasuk di dalamnya kelompok rentan dan kelompok marginal lainnya. Kukuh menambahkan SNI 8357:2017 memuat 8 prinsip desa dan kelurahan tangguh bencana.

Pertama menggunakan pendekatan multi bahaya. Kedua berlandaskan asas perlindungan masyarakat dan berfokus pada pengelolaan risiko. Kemudian ketiga berpusat pada masyarakat dengan mengutamakan kemandirian dan alokasi sumberdaya lokal.

Keempat merupakan gerakan kolektivitas dengan melibatkan dan mempertimbangkan semua pemangku kepentingan. Kelima berbasis pada kaidah ilmu pengetahuan dan kearifan lokal. Keenam dilakukan secara berkala dan berkesinambungan. Ketujuh memerhatikan prinsip akuntabilitas sosial.

“Terakhir adalah integrasi ke dalam perencanaan pembangunan,” pungkasnya. (jpnn/izo)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *