Dipermasalahkan, Tarif PCR Diturunkan Jadi Rp300 Ribu

Calon penumpang pesawat saat menunjukkan surat hasil tes PCR di Terminal 2, Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (11/6/2020). Bandara Soekarno-Hatta mengimbau penumpang yang hendak menuju Tanjung Pandan, Denpasar, Padang dan Balikpapan untuk menyiapkan surat negatif Covid-19 dari hasil tes PCR. Foto: (Dery Ridwansah/JawaPos.com)

JAKARTA — Meski menuai kritik, pemerintah tetap menjadikan tes RT-PCR sebagai syarat perjalanan transportasi udara. Bahkan, penerapannya akan diperluas ke moda transportasi lain.

Menko Maritim dan Investasi sekaligus Koordinator PPKM Jawa-Bali Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan, ketetapan PCR pada moda transportasi pesawat ditujukan sebagai penyeimbang relaksasi pada aktivitas masyarakat, terutama di sektor pariwisata. Meski pertumbuhan kasus positif saat ini rendah, kegiatan protokol kesehatan 3M dan 3T (testing, tracing, treatment) harus tetap diperkuat.

Bacaan Lainnya

Dengan langkah itu, diharapkan kasus tidak kembali meningkat, terutama menghadapi periode libur Natal dan tahun baru (Nataru). Menurut Luhut, hal itu juga belajar dari pengalaman negara-negara lainnya. ”Secara bertahap, penggunaan tes PCR juga diterapkan pada transportasi lainnya pada masa liburan Nataru untuk antisipasi,” jelas Luhut kemarin (25/10).

Beberapa hal menjadi pertimbangan pemerintah. Di antaranya, selama periode Nataru tahun lalu, mobilitas tetap meningkat meski penerbangan ke Bali disyaratkan PCR. Akhirnya, itu mendorong kenaikan kasus. Padahal, varian Delta belum menyerang.

Luhut melanjutkan, saat ini mobilitas di Bali sudah sama dengan Nataru tahun lalu. ”Diperkirakan terus naik sampai akhir tahun ini sehingga meningkatkan risiko kenaikan kasus,” paparnya.

Untuk mengakomodasi keluhan masyarakat, kata Luhut, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan agar harga tes RT-PCR diturunkan menjadi Rp 300 ribu dan berlaku selama 3 x 24 jam untuk perjalanan pesawat.

Luhut mengakui bahwa pihaknya mendapatkan banyak masukan dan kritik dari masyarakat soal kebijakan tes PCR tersebut. Terutama berkaitan dengan kasus dan level PPKM yang menurun, tapi justru memberlakukan syarat tes PCR.

Menurut dia, kewajiban tes PCR diberlakukan lantaran pihaknya melihat risiko persebaran yang semakin meningkat karena naiknya mobilitas penduduk dalam beberapa minggu terakhir. ”Sekali lagi saya tegaskan, kita belajar dari banyak negara yang melakukan enam relaksasi aktivitas masyarakat dan protokol kesehatan, kemudian kasusnya meningkat pesat meskipun tingkat vaksinasi mereka jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia,” katanya.

Luhut mencontohkan Inggris, Belanda, Singapura, dan beberapa negara Eropa lainnya. ”Pemerintah hari ini terus memohon kepada masyarakat agar sekali lagi tidak bereuforia yang pada akhirnya mengabaikan segala bentuk protokol kesehatan yang ada,” imbuhnya.

Terpisah, epidemiolog Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan, kebijakan mewajibkan swab PCR untuk penumpang pesawat tidak didasari kajian yang mendalam. Khususnya soal cost effective dan cost efficiency. Menurut dia, harga tes PCR saat ini masih dinilai mahal oleh masyarakat.

Dia berharap pemerintah tidak sekadar menurunkan harga tes PCR. Patokan harga PCR bagi penumpang pesawat terbang Rp 300 ribu, menurut Yunis, masih mahal. Misalnya, penerbangan Jakarta–Jogjakarta dengan harga tiket sekitar Rp 500 ribu. Dengan perhitungan seperti itu, harga swab PCR sudah lebih dari 50 persen dari harga tiket pesawat.

Untuk itu, Yunis berharap pemerintah memberikan subsidi tes PCR penumpang pesawat. Dengan begitu, tarifnya tidak terlalu jomplang dengan harga tiket pesawatnya. Menurut dia, harga yang wajar dan bisa diterima masyarakat sekitar 20 persen dari harga tiket pesawat.

Saat ini masyarakat membandingkan dengan kebijakan swab antigen yang hanya Rp 100 ribuan. Tiket pesawat Rp 500 ribu ditambah biaya swab antigen Rp 100 ribu masih dinilai wajar oleh masyarakat.

Dia menegaskan, pemerintah harus konsisten dalam membuat kebijakan. Kalau berniat mengurangi mobilitas, kebijakan serupa juga diterapkan untuk penumpang bus dan kereta api. ’’Berbicara mengurangi mobilitas, jauh lebih banyak penumpang di kereta dan bus. Jauh lebih berkerumun penumpang bus dan kereta api,’’ tuturnya.

Sementara itu, anggota Komisi IX DPR Netty Prasetiyani meminta pemerintah memberikan penjelasan kepada masyarakat. Bahkan, jika ada, perlu disampaikan pula hasil penelitian ilmiahnya. Misalnya, penelitian sampel terkait mobilitas masyarakat via udara dengan peningkatan angka kasus positif. ’’Ini penting agar masyarakat tahu bahwa kebijakan tersebut dibuat berdasar hasil penelitian ilmiah,’’ jelas Netty kemarin.

Dia memahami upaya pemerintah agar tidak kebobolan hingga kasus positif Covid-19 kembali naik. Yang dipertanyakan, mengapa harus menggunakan tes PCR yang berbiaya tergolong tinggi. Selain itu, penerapannya dirasa diskriminatif karena hanya untuk perjalanan via udara.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *