Jejak-jejak Harimau Jawa di Sukabumi Sejak Masa Kolonial

Harimau-Jawa

SUKABUMI – Pengamat sejarah dan budaya Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan, ada ragam cerita tentang Harimau Jawa di era penjajahan kolonial Belanda zaman dulu. Dia mengatakan, Harimau Jawa di Sukabumi saat itu pada masa kolonial masih cukup banyak dan dijadikan buruan.

“Jadi, Harimau Jawa itu diburu sebagai olahraga atapun diburu oleh warga karena mengganggu ternak. Misalnya, ketika Scipio dan Tanujiwa akan berkunjung ke Gunungguruh dan Pelabuhanratu tahun 1687 mereka menemukan bekas benteng Pajajaran yang sudah jadi hutan rimba dan dihuni harimau hingga anak buahnya ada yang dimangsa,” kata Irman yang juga pendiri Yayasan Dapuran Kipahare.

Bacaan Lainnya

Scipio yang dimaksud Irman adalah Pieter Scipio van Oostende. Dia adalah seorang penjelajah sekaligus prajurit dari Belanda. Di abad ke-17 Masehi, Scipio berpangkat Sersan.

Sedangkan Tanujiwa, lanjut Irman, adalah seorang warga pribumi keturunan Pajajaran yang diangkat jadi letnan oleh Belanda namun bersekongkol dengan Prawatasari dari Jampang.

“Nah, lalu ketika Joseph Arnold mengunjungi Andries de Wilde pada 1829 di Sukabumi, dia diceritakan bahwa jalan menuju gudang kopi seringkali dilintasi harimau dan pekerjanya ada beberapa yang dimangsa. Gudang kopi itu adanya di sekitar Jalan Gudang Kota Sukabumi saat ini,” papar Irman.

Cerita yang dituturkan Irman tersebut merujuk pada referensi berbagai buku sejarah yang ada. Semisal, F de Haan dengan judul “Priangan”. Selain itu, referensi lainnya adalah buku Andries de Wilde berjudul “Preanger Regentschappen”.

Selain itu, Irman juga mengisahkan cerita Junghunn. Frans Willem Junghunn adalah seorang peneliti dari Jerman yang memiliki perkebunan pasir junghunn di Bandung. Dia disebutkan menelusuri wilayah Sukabumi untuk penelitian juga menemukan harimau di wilayah selatan.

“Junghunn menceritakan pengalamannya menyaksikan malam yang buas di Ciletuh, saat itu terang bulan purnama, dari peristirahatannya di atas pohon dia melihat pemandangan yang belum pernah ia saksikan seumur hidupnya, yaitu kemunculan ribuan penyu ke pantai untuk bertelur,” ucap Irman.

Namun nahasnya, lanjut Irman lagi, sebelum mereka selesai bertelur dan kembali ke Samudera Hindia, muncul sekelompok ajag yang kemudian memakan telur-telur tersebut. Bahkan setelah semua telur habis, induk penyu pun dimakan. Tak lama, sebuah pertarungan yang tidak seimbang dan kejam, terjadi semacam pembantaian penyu.

“Kisah terus berlanjut. Saat para ajag kekenyangan, muncul harimau yang sebelumnya sudah mengintai. Mereka menyerang para ajag, menggigit dan memakannya. Suasana mencekam itu terjadi semalaman dan saat paginya ketika fajar menyingsing, bangkai penyu dan para ajag tersebut menjadi santapan buaya yang muncul dari muara sungai,” kisah Irman.

Peristiwa tersebut kemudian menambah semangat Junghunn untuk terus menggali potensi dan ilmu di Hindia Belanda. Junghuun pun diceritakan membeli peralatan fotografi senilai 835 gulden untuk membantu kegiatannya. Alhasil, Junghuun dijuluki Humboldt van Java.

Irman menjelaskan tentang lokasi Ciletuh bersumber dari sejumlah referensi buku yang dia baca. Kendati lokasinya masih mengandung perdebatan. Menurut Irman ada yang menyebut dekat Ujungkulon namun dari ciri-ciri wilayah kawasan itu berada di Kabupaten Sukabumi.

“Saya melihat ciri-ciri wilayah yang disebutnya sekitar Pantai Ciletuh atau Ujunggenteng yang banyak penyu, namun secara umum faktanya dia pernah ke Sukabumi dua kali dan meneliti berbulan bulan mulai Gununggede hingga pantai selatan termasuk mengunjungi menhir tugu Sukaraja menelusuri wilayah Sukabumi untuk penelitian juga menemukan harimau di wilayah selatan, Oost Indische Spiegel Karya Rob Nieuwhuys,” pungkas Irman. (izo)

Harimau-Jawa

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *