Jabatan Kades Bertambah 8 Tahun,  APDESI Kabupaten Sukabumi : Biasa Aja!

Sebanyak 85 Kades di Sukabumi Terancam Sanksi Black List, hal tersebut menyusul ketika sejumlah Kades terlibat dalam kerja sama bantuan hukum desa
Ilustrasi Kades

SUKABUMI — Pasca Revisi Undang-Undang (RUU) tentang Desa disahkan menjadi undang-undang (UU) oleh DPR RI, khususnya poin yang mengatur masa jabatan kepala desa (kades) menjadi 8 tahun maksimal 2 periode, pada rapat paripurna yang digelar di gedung Nusantara II kompleks MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta pada Kamis (28/03), telah menyita perhatian semua kalangan.

Bendahara Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Assosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kabupaten Sukabumi, Deden Gunaefi kepada Radar Sukabumi mengatakan, sampai saat ini DPC APDESI Kabupaten Sukabumi, belum menyatakan sikap secara jelas setelah disahkannya RUU Desa menjadi UU oleh DPR RI itu, khususnya pada poin penambahan masa jabatan dari 6 tahun maksimal 3 periode menjadi 8 tahun maksimal 2 periode.

Bacaan Lainnya

“Kalau sikap APDESI atau dari organisasi menanggapinya biasa aja. Setuju tidak, iya juga enggak dan memang organisasi tidak terlalu euforia lah, karena tidak ada kepentingan,” kata Deden kepada Radar Sukabumi pada Jumat (29/03).

Namun demikian, ia yang telah menjabat selama 2 periode sebagai Kepala Desa Sukajaya, Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, telah menolak terkait perpanjangan masa jabatan kepala desa tersebut.

“Saya mah biasa saja, karena memang dari awal saya kurang setuju kaitan dengan revisi undang-undang khususnya dalam penambahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 8 tahun itu,” ujarnya.

Ketika disinggung menganai alasan penolakan undang-undang tersebut, Deden menjawab. Bahwa, penambahan masa jabatan kepala desa tersebut, dinilai tidak relevan dengan revisi undang-undang yang diperjuangkan. Khususnya terhadap poin penambahan masa jabatan.

“Jadi, yang saya harapkan karena lebih kepada masyarakat luas atau kepentingan umum. Contohnya, lebih kepada regulasi yang mengatur sekarang lebih kepada regulasinya masih di atur oleh pemerintah pusat. Sedangkan perencanaan dilapangan kan kami dari kepala desa,” bebernya.

“Contoh ada regulasi tentang bantuan langsung tunai, sedangkan di musyawarah desa itu, tidak pernah seperti itu dan tidak sesuai harapan dan inginnya kepentingan lokal yang diutamakan,” paparnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, pada tahun 1997 ramai digemborkan gerakan reformasi, tepatnya saat lengsernya orde baru. Karena, terlalu lamanya Presiden menjabat sampai 32 tahun. Sementara, awalnya yang dituntut itu masa jabatan 9 tahun maksimal 3 periode. Namun, UU yang disahkannya menjadi 8 tahun maksimal 2 periode. “Sedangkan dulu itu, reformasi menuntut. Karena terlalu lama jabatan yang lama. Nah, kan kenapa dulu ingin reformasi begitu. Sedangkan masa jabatan presiden, Bupati dan Gubernur itu, tidak lebih dari 5 tahun,” timpalnya.

Untuk itu, ia berpendapat lebih baik masa jabatan kades 6 tahun maksimal 3 periode saja. Sehingga, nantinya masyarakat bisa menilai perihal kepemimpinan kepala desa tersebut.

“Nah, sekarang kan kalau 6 tahun maksimal 3 periode, jadi 18 tahun kalau masih dipercaya sama masyarakat. Sekarang kan akhirnya UU yang disahkan 8 tahun maksimal 2 periode sama dengan 16 tahun. Dan saya rasa itu sama saja, malah saya menilai ini ada kepentingan lain,” ujarnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *