Diah Ariani Arimbi, Dekan FIB Unair Peraih International Education Leadership Awards 2017 Buku Tersebar di 1.100 Perpustakaan di Kolong Langit

Jerih payah Diah Ariani Arimbi mempelajari kesetaraan gender dari kacamata sastra berbuah manis.

Sebuah penghargaan internasional dari World CSR Day tiba-tiba menghampirinya awal November lalu.

OKKY PUTRI RAHAYU

HARI itu, Senin (30/10), Diah Ariani Arimbi menerima sebuah surel.

Isinya sempat membuat Diah mengernyitkan dahi.

Heran.

Dosen Sastra Inggris Universitas Airlangga (Unair) itu kaget dengan tawaran dalam pesan tersebut.

Rupanya, sebuah lem ba ga nonprofit internasional menawarinya sebuah penghargaan.

Diah justru mengaku ragu.

”Saya ini nggak pernah daftar apa-apa, nggak ikut ajang apa pun, kok ditawari terima penghargaan,” tuturnya saat ditemui wartawan koran ini pada Rabu (15/11).

Ya, sebuah organisasi yang bernama World CSR Day bekerja sama dengan CMO Asia memberinya apresiasi atas kiprah dekan fakultas ilmu budaya (FIB) tersebut.

Meskipun demikian, Diah sempat tak percaya.

Dia pun lantas mengabaikan pesan tersebut.

Apalagi ketika rekannya mewanti-wanti Diah untuk waspada.

”Jangan-jangan itu hoax, penipuan,” ujarnya, menirukan rekannya.

Diah mulai setengah percaya pada saran itu.

Dia sempat berpikir bahwa lembaga tersebut meminta keuntungan.

Selain itu, Diah khawatir jika lembaga tersebut abal-abal.

Semua pikiran buruknya bercampur aduk saat itu.

Setelah tiga hari berpikir, Diah membaca ulang pesan tersebut.

Mencermatinya lagi.

Rupanya, isi surel itu sudah lengkap.

Tidak ada pungutan biaya.

Bahkan, proses seleksi yang diam-diam tersebut juga tertulis di situ.

”Mereka memilih secara diam-diam dengan mengamati kiprah para calon penerima,” jelasnya.

Bahkan, dalam surel itu tertulis pula deretan nama para juri yang berperan.

Sekaligus kriteria para penerima penghargaan yang tengah dicari.

Rupanya, sosok yang dicari adalah mereka yang mampu membuat perubahan.

Terutama mereka yang bergelut di bidang pendidikan seperti Diah.

Barulah Diah memutuskan untuk menerima penghargaan itu.

”Why not? Orang asing mengapresiasi kinerja kita, kenapa justru malah curiga?” ungkapnya.

Lagi pula, lanjut Diah, apresiasi itu sekaligus niat baik orang lain. Menurut dia, apresiasi tersebut tak pantas untuk diabaikan.

Akhirnya, perempuan kelahiran 5 April 1970 itu menerima penghargaan tersebut.

Sayang, dia tidak bisa hadir pada momen penghargaan yang berlangsung pada 4 November itu.

Maklum, kesibukan Diah memaksanya tidak datang ke Jakarta, lokasi penyerahan penghargaan.

”Terlalu mepet dan saya ada jadwal nguji,” ungkapnya.

Diah mengaku menyesal karena tak dapat hadir langsung.

Keponakannya, Gitanjali Prahasto, yang mewakilinya.

Karena itu, Diah tak bisa bertanya langsung alasan di balik penghargaan tersebut.

Apa pun alasannya, dia tetap bersyukur.

Bagi dia, penghargaan adalah apresiasi dari orang lain.

Meskipun, lanjut dia, itu hanya butiran kecil target hidupnya.

Sebab, bagi peraih gelar PhD dari University of New South Wales, Sydney, Australia, tersebut, yang terpenting adalah berkarya. Penghargaan hanyalah bonus.

Ya, Diah selama ini sibuk meneliti kesetaraan gender.

Anak bontot di antara enam bersaudara itu sangat aktif mengungkap peran para penulis perempuan.
Khususnya perempuan Islam.

Bagi Diah, menarik ketika mengamati bagaimana agama menafsirkan peran perempuan.

Sebab, menurut dia, agama sering kali dijadikan tabir untuk menghalangi kiprah perempuan. ”Nah, ternyata itu bergantung interpretasi kita,” ungkapnya.

Setelah mempelajari itu dalam disertasinya, Diah menemukan hal menarik.

Dia mengatakan bahwa Islam telah mengajarkan dua hal. Yakni keadilan dan kesetaraan.

Itulah yang membuat dia yakin bahwa Islam tidak pernah membedakan gender.

Apalagi menghalagi perempuan.

Lalu, untuk menguatkan temuannya, Diah mempelajari bagaimana penulis perempuan Islam memaknai perempuan.

Ada beberapa penulis lintas generasi yang
diamatinya.

Mulai Abidah El Khalieqy, Ratna Indraswari, Titis Retnoningrum Basino hingga Helvy Tiana Rosa.

Rupanya, kesemuanya hampir sama.

Para penulis itu, lanjut Diah, menggambarkan peran besar perempuan.

Utamanya melalui pendidikan. ”Kuncinya adalah pendidikan itu,” ungkap penggemar RA Kartini tersebut.

Penelitiannya itu tak hanya berakhir sebagai disertasi.

Diah lantas membukukannya. Tak tanggung-tanggung, buku tersebut diterbitkan Amsterdam
University Press pada 2009.

Rupanya, buku yang berjudul Reading Contemporary Indonesian Muslim Women Writers: Representation, Identity and Religion
of Muslim Women in Indonesian Fiction itu laris di banyak negara. Bahkan telah hadir di 1.100 perpustakaan di seluruh dunia.

Diah sempat tak menyangka hal tersebut.

Hingga James Armstrong, salah seorang pegawai US Library Congress, mengabarinya langsung.

Dalam surel, James
mengapresiasi buku Diah dan mengatakan bahwa buku tersebut sangat diminati.

”US Library Congress memang punya koneksi ke perpustakaan di seluruh dunia,”
terang Diah.

Diah lantas teringat saat masih mengejar gelar master di University of Northern Iowa, AS.

Semua buku langka yang dia cari akan mudah
ditemukan di US Library Congress.

Apalagi, Diah mengaku paling doyan membaca buku.

Rupanya, pengalaman berkuliah di AS juga titik awal ketertarikannya pada feminisme.

Saat itu, pada 1997, Diah aktif dalam komunitas muslim di Amerika.

Sayang, meskipun banyak ambil bagian, namanya tak pernah diapresiasi.

Hanya karena dia perempuan.

Padahal, Diah pernah membantu menyukseskan sebuah acara seminar.

Dia dan beberapa perempuan bertugas membuat spanduk.

”Tapi, pas di depan, kami tidak disebut.

Anggota pria yang diapresiasi,” katanya.

Dari sana, Diah mulai penasaran.

Sebuah tanda tanya besar terus dipikirkannya.

Padahal, saat menempuh studi master, Diah mengambil topik sastra pada
masa pascakolonialisme. Barulah pada studi S-3, Diah memperdalam topik kesetaraan gender.

Bagi dia, menarik untuk mengungkap penghalang yang
membuat perempuan tak bisa berkiprah.

Dan itu berlanjut hingga sekarang.

Selain aktif menulis, Diah aktif diundang dalam seminar internasional.

Mulai di Austria, Korea Selatan, Thailand, hingga masih banyak lagi negara lain.

Bahkan, saat ini Diah juga aktif sebagai reviewer untuk jurnal internasional yang berpusat di London, Inggris.

Sekaligus menjadi reviewer untuk jurnal Malaysia.

Bukan hanya itu, Diah juga didaulat menjadi penguji S-3 di kampus luar negeri.

Salah satunya Ruki College, India.

Nama Diah memang diperhitungkan di banyak negara.

Namun, bagi Diah, yang terpenting adalah terus membaca dan menulis.

Dua hal itu tak bisa dihentikan oleh Diah. Menurut dia, itu adalah senjatanya untuk bisa terus berbicara.

Ya, Diah selalu percaya bahwa perempuan bisa berbicara.

Salah satunya lewat tulisan. Pun, lewat kiprah dalam pendidikan.

Nah tekad tersebut dia dapat dari sang ayah, Soeleman.

”Anak wedok yo iso mlangkah (anak perempuan juga bisa melangkah,
Red),” ujar Diah, menirukan penuturan sang ayah.

Dari sana, Diah memang getol untuk terus berkarya.

Niat sederhana itu kini berbuah manis. Deretan apresiasi
dan penghargaan memang telah didapat Diah.

Ternyata, hal itu bukan capaian terbesar Diah.

Bagi penggemar Cak Kartolo tersebut, kesuk sesannya adalah ketika mahasiswanya bisa paham.

Kebahagiaannya justru ketika apa yang dia sampaikan membuat mahasiswanya lantas mengerti.

Apalagi terinspirasi untuk melakukan sesuatu.

”Itu, rasanya, semua capek saya langsung hilang.

Sueneng sekali,” imbuhnya.

Meskipun tak pernah bercitacita menjadi pendidik, Diah menemukan kebahagiaannya sebagai dosen.

Karena itu, Diah mengaku tetap bersemangat untuk terus meneliti.

Kini dia sudah menyiapkan jurnal terbarunya.

Bahkan, dia berencana membuat buku kedua.

Keinginan Diah selanjutnya adalah membuat novel.

”Pengin sekaliii.

Tapi belum sempat,” ujarnya, lalu tersenyum. (*/c11/dos)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *