Titik Nol Kilometer Kota Sukabumi

Oleh Kang Warsa

Tidak semua kota di Indonesia memiliki titik nol kilometer karena tidak semua kota menjadi daerah yang dipandang memiliki keistimewaan oleh Pemerintah Hindia Belanda beberapa waktu lalu. Kota Sukabumi menjadi salah satu daerah yang memiliki hubungan erat dengan Pemerintah Kolonial Belanda, hal ini dibuktikan oleh banyak peninggalan dan jejak  fakta masa lalu mulai dari arsitektur hingga sistem pemerintahan awal berdiri daerah ini. Sebagian besar darinya dapat kita baca sampai saat ini.

Bacaan Lainnya

Sebagian besar pemerhati sejarah Sukabumi telah menginformasikan, penyebutan Sukabumi pada abad ke-19 saja diperkenalkan oleh De Wilde, seorang pemilik perkebunan teh di Sukabumi. Meskipun, dapat saja, penamaan Sukabumi ini telah jauh-jauh hari dituturkan oleh orang-orang yang menempati daerah di Selatan Gunung Gede-Pangrango ini. Namun, informasi yang dituturkan oleh orang-orang Sukabumi sebelum abad ke-19 selalu luput dari catatan karena budaya verbal dalam bertutur (periwayatan) pada akhirnya berhenti hanya pada dua sampai tiga generasi saja.

Belanda tidak sekadar meninggalkan jejak masa lalu dalam bentuk arsitektur, juga telah menyisakan ornamen penting bagi sebuah kota atau daerah yang memiliki koneksi dengan daerah-daerah lain. Penentuan titik nol kilometer oleh Pemerintah Hindia Belanda  di Sukabumi, sekarang telah diberi penanda dengan simbol hurup Nol di Jalan Ahmad Yani, dimaksudkan untuk mengetahui jarak Kota Sukabumi terhadap  kota-kota lain dan pusat pemerintahan saat itu.

Penentuan titik nol kilometer merupakan hal yang dipandang penting sebelum manusia menemukan GPS dan peta virtual. Bahkan, penentuan titik nol garis bujur  dunia sampai saat ini berpengaruh besar terhadap kehadiran GPS dan peta virtual. Jika penentuan titik nol pada garis bujur peta dunia begitu penting untuk menentukan pembagian waktu di dunia, maka penetapan titik nol kilometer begitu penting bukan hanya untuk mengetahui jarak dari satu  kota ke kota lainnya, juga sebagai titik sentral alokasi pengembangan dan penataan kota dari pusat perkotaan ke wilayah-wilayah yang belum terjaman oleh pembangunan.

Bagi sebagian besar manusia Sukabumi modern sekarang, pengecatan titik nol kilometer mungkin hanya dipandang perlu sebagai areal untuk berswaphoto, namun bagi Pemerintah Hindia Belanda saat itu kehadiran titik nol kilometer di sebuah kota dapat memengaruhi bidang lain mulai dari biaya pengangkutan sumber daya alam, terutama terhadap tata kelola kota dan hubungan pembangunan antara pusat kota dengan daerah terdekatnya. Seperti halnya titik nol kilometer Kota Sukabumi, sebagai sebuah radius internal pembangunan perkotaan, sejauh radius satu kilometer, sejak daerah ini berdiri telah menjadi pusat kegiatan dan aktivitas urban. Bangunan-bangunan permanen telah didirikan pada radius tersebut ketika daerah-daerah di luar radius titik nol kilometer masih merupakan daerah tradisional rural perdesaan.

Pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan entitas-entitas penting sebagai daya dukung kehidupan wilayah urban perkotaan di dalam radius titik nol kilometer seperti; pembangunan pusat pemerintahan, daerah pemukiman, pusat perekonomian, rumah-rumah ibadah,  kanal atau saluran air, alun-alun, infrastruktur lalu-lintas, dan pasar. Apa yang terjadi di masa lalu, selama satu abad lebih sampai sekarang masih dapat kita saksikan.

Jika saja kemajuan teknologi berjalan lebih lambat lima puluh tahun, daerah-daerah rural perdesaan sampai sekarang tidak akan semeriah seperti hari ini. Meskipun kemajuan teknologi, faktanya begitu cepat, wilayah yang dulu merupakan daerah rural perdesaan, saat ini telah memiliki fasilitas-falisitas perbelanjaan. Warung-warung dan minimarket dapat kita jumpai sampai ke pelosok. Kendati demikian, tetap saja Pusat Kota Sukabumi memiliki daya tarik yang kuat bagi orang-orang Sukabumi. Lihatlah, dua sampai satu pekan menjelang lebaran tentang daya tarik Pusat Kota Sukabumi masih belum terkalahkan meskipun wilayah perkampungan telah memiliki apa yang ada di daerah perkotaan.

Memperlakukan Titik Nol Kilometer

Kita telah diwarisi banyak hal oleh Pemerintah Hindi Belanda, terutama dalam hal penataan kota. Saya tidak hendak mengaburkan sejarah dan mereduksinya bahwa Belanda bukan penjajah, walakin peninggalan Belanda sampai sekarang ini masih dapat dimanfaatkan terutama oleh Pemerintah Kota Sukabumi. Toh, sebagian besar dari kita juga memercayai bahwa penamaan Sukabumi merupakan hasil jerih payah seorang Andries de Wilde. Hal lainnya, pegiat kesejarahan pun tidak dapat lepas mengurai informasi di era kolonilisasi. Beberapa bangunan produk Belanda pun telah diusulkan sebagai warisan yang harus dilestarikan dalam bingkai cagar budaya.

Kenyataan bahwa Belanda telah mewariskan masa lalu bagi generasi sekarang tidak perlu dihadapi secara getir. Bagaimana juga, budaya tidak bersifat kaku. Justru ketika kita memandangnya secara rigid akan memunculkan dilema, apalagi ketika generasi sekarang masih memendam sikap sungkan menelusuri jejak masa lalu leluhur (karuhun). Kita hanya dapat membayangkan, situasi dan kondisi satu abad lalu, penataan Kota Sukabumi oleh Belanda benar-benar murni memerhatikan hal terbaik untuk wilayah ini. Misalnya, pembuatan saluran air bawah tanah dimaksudkan untuk mengantisipasi banjir. Saluran-saluran bawah ini justru baru diketahui keberadaannya oleh generasi sekarang baru beberapa tahun terakhir ini.

Maka, sudah selaiknya generasi sekarang juga memikirkan pembangunan dari mulai penataan perkotaan hingga memfungsikan apa yang telah dibangun ini dengan memerhatikan kemanfaatannya. Pusat kota semakin padat, tidak hanya oleh hunian dan pusat perbelanjaan, juga oleh faktor dinamis, kehadiran manusia. Sangat musykil bagi sebuah kota menolak kehadiran manusia di ruang-ruang keramaian dan pusat kota ketika konsensus yang dibangun didasarkan pada ikatan transaksi dan kebutuhan. Kehadiran ruang publik dengan wajah baru di pusat kota saja telah mampu menarik pengunjung dari luar kota, misalnya; Lapang Merdeka dikunjungi juga oleh orang-orang dari luar Kota Sukabumi.

Keberadaan titik nol kilometer Kota Sukabumi di zaman sekarang memang harus difungsikan bukan hanya untuk menentukan jarak sebuah kota ke daerah-daerah lain seperti Ibu Kota Provinsi dan Ibu Kota Negara. Penggunaan GPS dan peta virtual sudah mengubah keabsolutan jarak menjadi kenisbian yang dimiliki oleh setiap orang. Setiap orang dapat mengetahui jarak tempuh ke kota terjauh sekalipun berdasarkan titik lokasi mereka berada melalui gawai  canggihnya. Untuk mengetahui jarak dari Kota Sukabumi ke Bandung, warga kota sudah tidak perlu lagi menanyakannya ke jawatan pemerintah seperti kantor pemerintahan, kantor pos, hanya cukup membuka aplikasi peta virtual kemudian sentuh tombol rute.

Titik nol kilometer Kota Sukabumi harus difungsikan sebagai pemindai pembangunan sebuah kota, bahkan bila perlu menjadi penanda dalam memunculkan radius pembangunan entitas perkotaan dari pusat ke daerah perbatasan. Harus diakui, mewujudkan pembangunan sebuah kota hingga membentuk kota ideal mulai dari  infrastruktur hingga suprastrukturnya bukan hal sederhana. Mungkin dibutuhkan waktu ratusan tahun karena berbanding lurus dengan upaya menanamkan kesadaran semua pihak dalam menata kotanya sendiri. Pada peta virtual dengan citra satelit, kita dapat mengamati dan menganalisa bagaimana pola tata ruang wilayah kota-kota yang telah dikatakan lebih maju. Hampir semua bangunan memiliki pola teratur, ke arah mana bangunan-bangunan menghadap, berapa ukuran ideal sebuah bangunan, berapa perbandingan jumlah bangunan dengan ruang terbuka hijau.

Akan jauh berbeda ketika sorotan peta virtual diarahkan ke kota-kota di negara dunia ketiga. Rata-rata memiliki pola bangunan acak, sebaran yang tidak merata, bahkan di beberapa kota akan kita temui kesenjangan mencolok antara pemukinan yang tersusun acak ini dengan kebutuhan ruang terbuka hijau yang sering terabaikan. Seorang teman pernah bertanya tentang fenomena ini, kenapa melalui citra satelit saja kota-kota di negara dunia ketiga dapat kita saksikan benar-benar tidak tertata rapi? Hal ini dapat saja disebabkan oleh pola pikir, sikap, watak, dan tabiat kurang baik penduduknya. Ketika satu kota terlihat tidak rapi dalam menata ruang  sudah dipastikan hal ini sebagai pengaruh dari kebiasaan buruk penghuninya yang sulit menata dirinya sendiri, masyarakatnya, dan kotanya. Kita harus mengakui ini secara jujur.

Pemerintah mulai dari pusat hingga daerah sudah tentu akan mengalami kesulitan menata ulang kembali atau menata ulang ruang-ruang yang telah terisi penuh oleh bangunan beton dengan pola alakadarnya. Pemerintah hanya perlu memberikan pemahaman betapa penting penataan kota dan menyusun pola tata ruang yang rapi dan tertata baik demi alasan citra atau penampakan setiap wilayah telah dapat diakses dari manapun oleh siapa saja. Bayangkan jika sepuluh sampai dua puluh tahun ke depan, seorang John Rambo dari Amerika Serikat tidak dapat menyembunyikan rasa takjubnya ketika dia melihat citra satu kawasan di Kota Sukabumi tertata sangat rapi mengalahkan kota-kota modern di dunia pada aplikasi peta virtual 3D.

Saat ini kita masih kalah oleh masyarakat Baduy Dalam. Rumah seorang puun sebagai titik nol kilometer pemukiman penduduk  menjadi sentral tata perkampungan. Ke mana bangunan itu menghadap, rumah penduduk cenderung memiliki ukuran dan jenis yang sama untuk menghindari kecemberuan sosial, dan penataannya pun benar-benar terpola secara baik. Orang modern seperti kita harus banyak belajar kepada mereka yang kita pandang masih berperilaku sangat tradisional. Yakinlah, mereka lebih rapi dari kita.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *