Refleksi Hari Bahari Nasional dan Hari Tani Nasional 2020

Sejumlah petani di salah satu wilayah Kabupaten Sukabumi pada saat memanen padi.

Oleh : Amalia Nur Milla1) dan Yana Fajar Basori2)
1) Dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sukabumi
2) Dosen Program Studi Administrasi Publik FIAH Universitas Muhammadiyah Sukabumi

Tanggal 23 September yang merupakan Hari Bahari Nasional (HBN) dan 24 September yang merupakan Hari Tani Nasional (HTN), muncul refleksi, perenungan tentang kedua hari tersebut. Apakah masyarakat mengetahui apa dan bagaimana HBN dan HTN tersebut? Apa makna dan kedua hari tersebut? Tulisan ini berupaya mengajak kita semua untuk mengenang kembali sejarah HBN dan HTN serta apa maknanya bagi kita.

Hari Bahari Nasional

HBN awalnya bernama Hari Maritim yang diperingati sejak tanggal 23 September 1964. Setelah setahun sebelumnya yaitu tanggal 23 September 1963 diselenggarakan Munas Maritim yang kemudian diperingati sebagai Hari Maritim berdasarkan pada Surat Keputusan (SK) Persiden No 249 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno.

Sejarah HBN dimulai sejak Presiden Soeharto menjabat menggantikan Presiden Soekarno, menggantikan nama Hari Maritim menjadi HBN. Harapan Presiden Soeharto dengan peringatan HBN dapat mengingatkan bangsa Indonesia agar senantiasa meningkatkan potensi bahari Nusantara dan melestarikannya.

Luas negara Indonesia yang di dominasi oleh lautan merupakan tiga-perempat luas Indonesia. Begitu luasnya lautan Indonesia potensinya sungguh luar biasa, kita mungkin hanya teringat jika potensi laut adalah perikanan.

Padahal bukan hanya itu, bukan hanya sumber daya alam yang akan menghasilkan ekonomi kelautan, bioteknologi, wisata kelautan, tapi juga perairan laut dalam dan sumber mineral laut yang belum tergali. Potensi lainnya berupa industri maritim, pelayaran dan pertahanan.

Letak negara kita di daerah ekuator yang berada di antara benua Asia dan Australia sangat strategis menguntungkan secara politik dan ekonomi global karena menghubungkan antar kawasan. Aspek kelautan tidak booleh terlupakan itu yang mendasar founding father kita Bung Karno mengadakan hari maritim yang oleh Presiden Soeharto menjadi hari Bahari.

Pada tahun 2014 Presiden Jokowi meluncurkan program ‘Indonesia sebagai poros maritim dunia’. Poros maritim dunia menjadi salah satu visi penting yang diutarakan oleh Presiden Jokowi. Pencanangan Indonesia sebagai poros maritim dunia ini dilakukan melalui pengembangan ekonomi berbasis maritim sehingga dapat tercipta kesejahteraan.

Dalam perjalanan pemerintahan selama lima tahun periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi, visi poros maritim dunia diwujudkan dalam berbagai kebijakan. Hal tersebut dilakukan sebagai langkah dalam usaha untuk meningkatkan ekonomi sekaligus secara langsung memperkuat pertahanan dan keamanan laut Indonesia.

Visi poros maritim dunia juga merupakan usaha untuk meningkatkan konektivitas dan keterjangkauan antarpulau di Indonesia. Visi tersebut bertumpu pada tujuh pilar utama, yakni maritim dan sumber daya manusia; pertahanan laut, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut. tata kelola kelautan; ekonomi dan infrastruktur laut; pengelolaan tata ruang maut dan perlindungan lingkungan; budaya maritim; dan diplomasi maritim.

Pembangunan di sektor maritim harus senantiasa mewarnai setiap gerak langkah kebijakan pembangunan yang ada, sehingga aspek yang selama ini hampir terlupakan tentang kelautan dan perikanan akan bisa digarap lebih optimal.

Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh The Habibie Center tahun 2019, Indonesia sebagai poros maritim dunia yang dicanangkan tahun 2014 lalu itu baru menyumbang 7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Tanah Air.

Poros maritim terhadap PDB Indonesia baru 7 persen dari Rp 14.300 triliun. Padahal potensi ekonomi dari maritim kita dari semua ikan, udang dan lainnya jauh lebih besar dari itu. Hal lainnya seperti gerakan mengkonsumsi ikan, Indonesia masih kalah dibandingkan negara-negara lain di dunia.

Pada tahun 2019 Indonesia menargetkan jumlah masyarakat mengonsumsi ikan sebanyak 49-50 kilogram per kapita. Namun, target tersebut juga masih kalah dibandingkan negara lain yang sudah menargetkan 70-80 kilogram per kapita. Bahkan, Jepang sudah menargetkam 100 kilogram per kapita.

Prioritas arah kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2020-2025 adalah pembangunan sumberdaya manusia yang berkualitas. Peningkatan SDM Kelautan dan Perikanan saat ini sangat penting karena Indonesia memasuki era pasar bebas ASEAN (Masyarakat Ekonomi Asean/MEA).

Harapannya lima tahun yang akan datang sektor Kelautan dan Perikanan mampu membangun kedaulatan dan memiliki kemandirian dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Semoga dapat terwujud kesejahteraan bagi nelayan kita.

Hari Tani Nasional

HTN diperingati setiap tanggal 24 September. Hal ini diawali dengan ditetapkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960. Tahun 2020 ini tepat 60 tahun yang lalu Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) diberlakukan. Anatomi UUPA berisi tentang konversi, pendaftaran tanah dan tentang landreform.

Bagaimanakah implementasinya?

Kebijakan land reform dipahami sebagai ikhtiar meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, untuk kesatuan dan kesederhanaan sistem hukum pertanahan, serta meletakkan dasar-dasar untuk kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya (Soemarjan, 1962: 23-30), ‘yang akan menjadi alat untuk membawakan kemakmuran, keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur’ (Penjelasan UUPA 1960).

Pada awal implementasi, land reform diberlakukan melalui ketentuan pembatasan kepemilikan lahan, larangan kepemilikan secara absentee serta kewenangan Negara untuk membagikan tanah-tanah tersebut kepada yang rakyat petani yang paling membutuhkan, dpersiapkan (Safitrim 2018: 87-110). Landreform yang sesuai dengan amanah UUPA 1960 hanya sempat dijalankan selama kurun waktu 4 tahun, sejak 1961 hingga 1965, yaitu berakhirnya rezim Soekarno dan menjadi awal berkuasanya Orde Baru (Wiradi, 2000: 136, Utrecht, 1969: 71-88; Lucas dan Bachriadi, 2009).

Orde Baru merubah politik pengurusan agraria, dengan lebih memperhatikan investasi modal asing. Kendati tidak menetapkan pembatalan UUPA 1960, Orde Baru memandulkannya. Pasca reformasi, kebijakan land reform disebut sebagai ‘pembaruan agraria’.

Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang diumumkan Presiden SBY pada tahun 2007, dan dilaksanakan pada tahun 2010. Selanjutnya disebut dengan ‘reforma agraria’ oleh pemerintahan Jokowi, yaitu Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) sebagai salah satu program prioritas pemerintahan. Beberapa kalangan mencatat sengkarut pengurusan land reform atau reforma agraria yang ditunjukkan oleh jumlah konflik agraria dan ketimpangan penguasaan tanah.

Perpres No. 86/2018 menggunakan istilah ‘reforma agraria’ yang dijelaskan sebagai ‘penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatantanah yang lebih berkeadilan melalui Penataan Aset dan disertai dengan Penataan Akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia’. Penjelasan UUPA 1960 bagian II angka (7) menyebutkan: ‘…apa yang disebut ‘land reform’ atau ‘agrarian reform’, yaitu, bahwa,’tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktip oleh pemiliknya sendiri’.

‘Land reform’ yaitu upaya-upaya untuk menata ulang struktur penguasaan tanah dengan jalan membatasi dan melakukan redistribusi penguasaan tanah-tanah yang berlebihan serta redistribusi terhadap tanah-tanah Negara dan memberikan prioritas kepada penguatan ekonomi rakyat di pedesaan yang diikuti dengan pemberian kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnya dengan syarat-syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain’ (Penjelasan UUPA 1960).

Ketimpangan kepemilikan, penguasaan maupun pengelolaan lahan sudah sejak lama menjadi permasalahan di Indonesia, khususnya di Jawa Barat termasuk di Kabupaten Sukabumi (Suhendar, 1995). Ketimpangan tersebut tidak hanya menciptakan kesenjangan kesejahteraan, namun menimbulkan konflik berkepanjangan.

Serikat Petani Indonesia (SPI) mencatat sejak 2016 hingga 2019 telah terjadi 6 kali konflik lahan, salah satunya berujung pengadilan. Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2018 tentang reforma agraria semestinya menjadi solusi, namun nampaknya ketimpangan dan potensi konflik masih akan terjadi.

Bagaimana sebetulnya implementasi reforma agraria di Kabupaten Sukabumi? Hasil penelusuran, di Kabupaten Sukabumi (2020) terdapat 52 perkebunan swasta dan 6 PTPN, totalnya ada 58 (data lain menyebutkan 63), dengan 22 perusahaan yang izin HGU-nya sudah habis. Dari 22 HGU yang habis ini, 8 yang dalam berproses perpanjangan.

Dalam proses perpanjangan, muncul berbagai temuan. Misalnya. dari 58 HGU, rata-rata ditelantarkan, paling bagus dari luas HGU yang diberikan itu, 50 persen yang diolah. Banyak yang diolah tidak sesuai dengan peruntukan, misalkan peruntukan untuk tanaman tertentu namun yang ditanam, palawijaya, cabai, tomat. Izinnya karet, menanamnya kelapa dan lain-lain. Dari penelusuran, basis-basis kemiskinan pedesaan berada disekitar lahan perkebunan.

Konflik panjang petani dengan pemegang hak atas lahan (HGU/HGB) disebabkan oleh adanya persoalan ketimpangan penguasaan dan kepemilikan lahan. Di Kabupaten Sukabumi, mayoritas perkebunan (namun) kawasan perkebunan ini adalah kantong-kantong kemiskinan.

Mengetahui tidak sesuai dengan perjanjian pengelolan lahan, masyarakat mengelola tanah tersebut sebagai sumber kehidupan. Konflik muncul ketika petani menggarap lahan HGU yang dianggap terlantar, kemudian pihak perusahaan melaporkan adanya penyerobotan lahan oleh petani. Selama ini pasal yang digunakan oleh pihak penegak hukum itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 51 Tahun 1960 tentang menduduki lahan tanpa izin kuasa yang sah atas pemiliknya. Persoalan-persoalan ini muncul ketika pemerintah tidak hadir pada saat petani mengalami masalah. Selama ini, aparat penegak hukum hanya mengambil pasal pidana penyerobotannya saja.

Padahal dalam UUPA ada penjelasan lebih lanjut bahwa kewenangan pemerintah harus ada. Ketika ada laporan tentang penyerobotan lahan, pemerintah daerah harus memfasilitasi penjelasan dari Perpu itu. Peran dari Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di daerah sangat penting.

Selain memastikan terselenggaranya land reform, sekaligus trasnformasi pengembangan kekuatan desa berdasarkan ketentuan yang telah ada.

Gugus Tugas Reforma Agraria dapat mengajukan luas lahan yang terlantar dan 20% dari lahan yang akan diperpanjang ke Kementerian supaya diproses lahan tersebut menjadi tanah objek reforma agraria (TORA) serta dapat diredistribusikan kepada petani tak bertanah/petani penggarap mengelola lahan untuk sumber kehidupannya.

Hari Bahari dan Hari Tani Nasional penting untuk mengingatkan kita akan nasib petani dan nelayan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 25,95 juta jiwa, jumlah tersebut banyak yang berasal dari kalangan petani dan nelayan.

Sangat ironis jika melihat potensi kekayaan sumber daya alam Indonesia, khususnya dari sektor pertanian dan kelautan yang melimpah. Menurut Asosiasi Perusahaan Maritim dan Perikanan Tangkap Indonesia (Aspitindo), Indonesia memiliki potensi ikan tangkap sebanyak 130 juta ton atau setara dengan Rp2.500 triliun hingga Rp3.000 triliun per tahun.

Data tahun 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 49,41% rumah tangga miskin menggantungkan hidupnya dari sekor pertanian. Angka ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan sumber penghasilan lain dari rumah tangga miskin lainnya. Rumah tangga miskin terbanyak yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian terdapat di desa, yaitu sebesar 63,73%. Sementara yang berada di perkotaan sebesar 26,71%.

Reforma agraria adalah suatu keharusan untuk mencapai keadilan dalam kendali sumber daya agraria. Pengurusan tata kelola sumber daya agraria sejak landreform, PPAN dan reforma agraria memperlihatkan dinamika kepentingan pengurusan sumber daya agraria.

UUPA yang menjadi fase sosiologis telah berubah menjadi fase politik dan ekonomi, penanda kuatnya pengaruh neo-liberalisme pada seluruh siklus kebijakan negara-negara berkembang.

Melalui Peringatan Hari Bahari dan Hari Tani Nasional, diharapkan kita ingat akan nasib para pejuang pangan. Bagaimanapun pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa (Bung Karno).

Petani dan Nelayan yang saat ini hidup dalam keterpurukan perlu diangkat nasibnya, kesejahteraannya perlu ditingkatkan. Kolaborasi pentahelix (pemerintah, masyarakat, akademisi, dunia usaha dan media) sangat penting agar bersinergis dan terdapat akselerasi peningkatan kesejahteraan. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *