Puasa di Lembur: Lapdek, Capitol, dan Masjid Agung

kang-warsa

Oleh Kang Warsa

Dalam beberapa opini ke depan, mungkin selama bulan Ramadhan, penulis akan memaparkan situasi bulan puasa pada dua dekade terakhir abad ke-20. Penuturan kembali pengalaman pada salah satu fase transisi atau peralihan zaman dari era yang serba manual ke tahap penggunaan alat-alat yang mulai menerapkan digitalisasi.

Bacaan Lainnya

Meskipun setiap generasi dapat saja memiliki cerita berbeda saat mereka menghadapi dan mengisi bulan Ramadhan pada setiap tahapan perkembangan zaman, walakin bagi penulis, tahun 80-90an merupakan ujung pangkal atau titik akhir era tradisional menuju ke zaman yang dipandang benar-benar modern.

Generasi Baby Boomers dan generasi X kemungkinan besar tidak akan mengalami kesulitan jika diajak mengembalikan kenangan ke masa tiga puluh sampai empat puluh tahun ke belakang. Penulis tidak perlu menguras pikiran dalam memberikan pemaparan bagaimana situasi Kota Sukabumi di saat bulan puasa, tradisi dan kebiasaan apa yang biasa dilakukan oleh masyarakat pada saat itu, dan kenangan seperti apa yang paling membekas dalam ingatan dua generasi ini ketika diajak membuka berkas ingatan tiga dekade ke belakang?

Dekade kedua di akhir abad ke 20 dicirikan oleh beberapa perubahan mendasar dalam praktik dan fitur kehidupan. Alat-alat elektronik seperti radio, tape recorder, dan televisi mulai diminati dan dimiliki oleh masyarakat. Pada empat hingga tiga dekade di penghujung abad ke-20 keberadaan properti tersebut hanya dimiliki oleh kelompok tertentu.

Misalnya, televisi hanya dimiliki oleh seseorang yang benar-benar dikategorikan jegud (sangat kaya) atau televisi hanya dimiliki oleh lembaga dan sebuah instansi saja.

Di ujung milenium pertama, secara perlahan pesawat televisi sudah mulai dimiliki oleh masyarakat. Berbeda dengan televisi, pada dekade kedua di penghujung abad 20, mayoritas masyarakat telah memiliki pesawat radio dan tape recorder.

Selain harganya lebih murah, radio tape dengan mengandalkan gelombang AM, FM dan SW lebih mudah dioperasikan dan memiliki kemampuan menangkap gelombang lebih mumpuni daripada televisi yang mulai memanfaatkan gelombang UHF.

Keberadaan pesawat radio ini dapat diandalkan oleh masyarakat pedesaan selama bulan puasa. Program radio pun dapat lebih bervariasi selama bulan Ramadhan, tentu dengan maksud untuk menyisir dan menyasar pemirsa radio. Acara dongeng sunda di beberapa radio menjadi program menarik dan menghibur.

Mang Dina Mara dengan Mang Dedi Mulyadinata menjadi dua orang pendongeng yang selalu menemani masyarakat dari mulai anak-anak hingga orang tua. Dongeng sunda dapat saja dikategorikan sebagai program hiburan yang ditayangkan bertepatan dengan waktu ngabeubeurang dan ngabuburit.

Memang ada pandangan dari beberapa ajengan dalam menyikapi dongeng sunda sebagai sebuah perkara yang makruh didengarkan di saat sedang menunaikan ibadah puasa.

Mereka berpikir dongeng sunda merupakan cerita bohong, jadi ditarik lah satu simpulan mendengarkan dongeng sunda sama artinya dengan mendengarkan orang yang sedang berbohong.

Mungkin karena keterbatasan pemahaman terhadap sastra dan genrenya saja pandangan seperti di atas dikeluarkan oleh sebagian ajengan.

Toh sampai sekarang pun masih ada ajengan yang melarang pemakaian alat pengeras suara. Hanya saja, terhadap pandangan ambigu seperti ini, seperti hukum mendengarkan dongeng sunda di bulan puasa, masyarakat apalagi anak-anak menanggapinya tak acuh saja.

Dongeng sunda pun didengarkan secara beramai-ramai. Hiburan yang tersedia memang hanya itu, jadi sangat wajar ketika dongeng sunda menjadi acara paling ditunggu-tunggu oleh anak-anak pedesaan.

Dongeng sunda tentu saja bukan cerita bohong, melainkan sebuah sastra yang dikategorikan ke dalam jenis dongeng (fiktif). Peristiwa atau alur di dalam dongeng yang bersifat fiktif bukan berarti kisah atau cerita ini tidak ada.

Fiktif dalam sastra dapat berarti pernah terjadi, sedang terjadi, atau akan terjadi. Jadi fiktif tidak dapat disejajarkan dengan bohong karena spektrumnya lebih luas. Berbohong atau cerita bohong adalah menutupi cerita yang sebenarnya dengan manipulasi yang dipenuhi kepalsuan.

Tiga tradisi selama bulan puasa di masyarakat pedesaan yaitu nyubuh, ngabeubeurang, dan ngabuburit. Tiga tradisi atau kebiasaan ini berbanding lurus dengan waktu-waktu krusial selama pelaksanaan puasa; subuh, tengah hari, dan menjelang maghrib. Berbeda waktu maka praktik tradisi yang dilakukan pun sudah tentu berbeda.

Misalnya, setelah shalat subuh berjamaah, anak-anak berkumpul di lapangan, berjalan-jalan ke kampung tetangga, atau berjalan mengitari satu kawasan menjelang matahari terbit disebut tradisi nyubuh. Sebagian kondisi jalan masih berbatu dan belum diaspal, hanya dengan cara berjalan kaki jalan seperti ini dapat dilalui, apalagi kendaraan roda dua masih merupakan barang tersier mewah saat itu.

Ngabeubeurang dilakukan siang hari antara pukul 11.00 sampai pukul 14.00. Berbeda dengan nyubuh, tradisi ngabeubeurang ini biasanya dilakukan oleh anak-anak dengan mengunjungi tempat-tempat yang ada di kota atau dayeuh. Lapang Merdeka Kota Sukabumi menjadi pusat berkumpul anak-anak.

Berbagai macam permainan dan tentu saja berbayar dapat ditemui di lapang milik warga Sukabumi ini. Apa yang tidak ditemui di kampung seolah sengaja ditampilkan oleh para pedagang untuk memikat atau menjerat anak-anak kampung yang lugu.

Bayangkan, bibit ikan sapu saja diperjualbelikan di lapang Merdeka. Apalagi jika cuaca cerah, lapang Merdeka menjadi lautan yang dijejali oleh anak-anak yang datang dari berbagai kampung.

Tempat lain yang biasa ramai di saat ngabeubeurang yaitu arena-arena hiburan seperti Capitol, Shopping Center,  dan Kings. Pesona kota yang ditampilkan di tempat-tempat hiburan ini yaitu dingdong. Anak-anak sudah pasti tertarik dengan permainan dengan cara memasukkan koin sebesar Rp 50 sampai Rp 100 lantas dapat memainkan dingdong sambil duduk atau berdiri.

Anak-anak yang memiliki temperamen tinggi saat bermain dingdong sering memperlihatkan arogansinya dengan memukul-mukul tombol atau memutarkan stik dingdong dengan kasar.

Kalah bermain, tidak menjadi soal, tinggal merogoh kembali saku celana, masukkan kembali koin, dan permainan baru pun dimulai kembali. Lagipula tidak pernah ada yang menang dalam permainan dingdong ini.

Menjelang dzuhur anak-anak beristirahat, kemudian berjalan dari arena hiburan ke Masjid Agung untuk menunaikan sholat dzuhur. Masjid Agung, sesuai namanya merupakan masjid berukuran besar, berkubah besar dan memiliki menara menjulang tinggi tempat pengeras suara disimpan pada bagian atasnya.

Dari menara inilah suara adzan terdengar menggema ke seluruh wilayah perkotaan. Hawa di dalam masjid cukup sejuk, tidak mengherankan setelah menunaikan sholat dzuhur banyak orang merebahkan badan dan tidur di dalam masjid.

Fungsi masjid sebagai tempat ‘i’tikaf sebetulnya telah dipraktikkan oleh masyarakat tradisional sejak dulu ketika orang-orang baru menunaikan i’tikaf beberapa tahun terakhir saja.

Masyarakat saat itu juga memiliki pikiran sederhana, tidur di dalam masjid dikategorikan sebagai ibadah dengan merujuk salah satu hadits nabi; tidurnya orang yang sedang berpuasa adalah ibadah. Memang demikian, karena di saat seseorang sedang tidur, sama artinya dia dengan tidak melakukan kejahatan dan perbuatan tidak baik.

Setelah ashar atau dalam terma kasundaan disebut wanci kalangkang satangtung awak, tradisi ngabuburit dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Tempat-tempat keramaian dan ruang publik di perkotaan disesaki oleh orang-orang. Warung-warung makan penuh sesah dipadati oleh pembeli. Ruang publik dijejali oleh masyarakat yang berjalan-jalan.

Berbeda dengan suasana di perkotaan, alam pedesaan menyimpan cerita berbeda. Tradisi ngabuburit biasanya diisi oleh kegiatan ringan, nongkrong di pinggir sawah, mengisi TTS, atau berjalan-jalan ke pinggir kampung sambil menikmati hangatnya udara sore menjelang buka puasa.

Tradisi ini terus berlangsung selama puasa di bulan Ramadhan. Masyarakat memiliki berbagai cara dalam menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan sebagai bentuk kecintaan mereka kepada ajaran Islam. Udara musim kemarau begitu hangat di ujung hari. Pohon nyiur melambaikan daunnya, berkilauan dengan cahaya keemasan. Langit cerah, lelawa beterbangan menembus angkasa. Matahari di ufuk Barat terlihat bulat merona merah. Awan-awan tipis seperti selaput yang membungkus matahari. Kemudian terdengar suara bedug ditabuh di surat, samar-samar terdengar kumandang Adzan Muammar ZA menjadi penanda waktu berbuka telah tiba.

Masyarakat menghaturkan doa Allahumma Laka Shumtu Wa Bika Amantu, sebagai tanda rasa syukur kepada Dia Yang Maha Kuasa karena masih diberi usia dan diberi kemampuan menunaikan puasa sampai di ujung hari.

Langit di ufuk Barat memerah, ditandai oleh matahari yang tenggelam ditelan kegelapan. Begitulah nikmat dan kasih sayang Allah kepada mahluk-Nya terus terpendar dan terpancar tanpa henti. Alam pun kembali ke keheningan, sesekali terdengar suara petasan menghiasi angkasa. Allahu Akbar

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *