Melayu Dayak

Dahlan Iskan
Dahlan Iskan

OLEH: DAHLAN ISKAN

MELAYU dan Dayak sama kuat di Kalbar. Saat ada lelang jabatan untuk sekretaris provinsi, pemenangnya suku Padang. Namanya: Horison. Seorang dokter. Terakhir ia menjabat Kepala Dinas Kesehatan provinsi. Horison sudah jadi urang Kalbar. Ia berpuluh tahun mengabdi di pedalaman.

Bacaan Lainnya

Babak akhir lelang itu diikuti tiga orang: suku Melayu, suku Dayak, dan suku Padang itu. Bahwa yang menang oknum dari suku Padang memang sudah seharusnya. Bukan sebagai jalan tengah. Bukan pula karena pertimbangan suku. Itu murni karena Horison mendapat nilai tertinggi dalam proses lelang.

Lelang jabatan –untuk level tertentu– memang sudah jadi keharusan baru di Indonesia. Dan untuk wilayah seperti Kalbar itu bisa jadi jalan keluar dari sentimen suku.

Saya makan malam di Pontianak Kamis malam kemarin. Setelah pulang dari Banyuwangi sehari sebelumnya. Menarik juga bicara-bicara soal suku dan jabatan di situ.

Sambil makan malam dengan tokoh di Kalbar. Di pinggir sungai Kapuas yang sangat lebar. Di restoran apung di belakang Hotel Grand Kartika. Dengan menu khas Pontianak: tim ikan jelawat dan ikan salju. Ditambah sayur pucuk pakis dan sapo tahu.

Di Kalbar, Pilgub selalu bisa diramal dengan tepat hasilnya: tergantung banyaknya calon dari salah satu suku. Suku mana yang calonnya hanya satu pasti menang. Kalau suku Melayu hanya punya satu calon ia yang terpilih. Kalau hanya satu calon dari suku Dayak ia yang menang.

Jumlah suku Melayu dan Dayak memang hampir imbang di Kalbar. Masih ada dua suku penyeimbang: Tionghoa dan Madura –masing-masing sekitar 8 persen.

Sebelum ada pemilihan langsung, Gubernur Kalbar selalu dari suku Melayu. Begitu ada Pilgub langsung, yang terpilih dari suku Dayak: Cornelis. Namanya hanya satu kata: Cornelis. Nama istrinya pun satu kata: Frederika.

Cornelis menggandeng wakil gubernur bukan dari suku Melayu, melainkan dari suku Tionghoa: Christiandy Sanjaya.

Banyak yang berspekulasi Kalbar –di tangan pasangan Dayak-Tionghoa– akan kacau. Berbalik arahnya terlalu drastis.

Ternyata Kalbar baik-baik saja. Aman. Rukun. Bahkan Cornelis terpilih lagi untuk masa jabatan kedua. Dan Cornelis cukup akomodatif: ia selalu memilih Sekdaprov dari suku Melayu.

Di periode pertama, yang dipilih Cornelis adalah M. Zeet Hamdy Ashovie. Ia dari suku Melayu-Arab. Mantan Sekda Singkawang. Juga mantan kepala dinas pariwisata.

Tentu, di zaman Cornelis, komposisi kepala-kepala dinas berubah. Orang-orang suku Dayak mulai lebih punya tempat. Waktu itu belum ada sistem lelang jabatan. Gubernur masih bisa menentukan sepenuhnya.

Setelah Cornelis terpilih, suku Melayu ternyata bisa menerima. Tidak ada gejolak apa pun. Tokoh-tokoh suku Melayu lebih memilih introspeksi: mengapa kalah. Salah sendiri.

Penyebabnya jelas: waktu itu calon dari suku Dayak hanya satu, Cornelis. Sedang calon dari Melayu tidak kepalang tanggung: empat pasang. Mereka adalah nama-nama besar. Tokoh-tokoh nasional. Asli Kalbar: Oesman Sapta Odang (OSO) yang top itu, pengusaha besar Usman Ja’far yang juga incumbent, Akil Mochtar yang kelak jadi Ketua Mahkamah Konstitusi dan ditangkap KPK itu. Satunya lagi Herman Kadir.

Rupanya tidak ada yang mau mengalah. Tiga-tiganya pun kalah.

Periode berikutnya suku Melayu belum juga mau belajar dari kekalahan. Cornelis maju lagi sebagai incumbent. Juga sebagai calon tunggal dari suku Dayak.

Sedang dari suku Melayu, meski tidak lagi empat, masih juga tiga pasang. Tiga-tiganya bukan tokoh nasional: Armyn Aliayang, Morkes Effendy, dan Abang Tambul Husein.

Tiga-tiganya “tewas”.

Begitu Cornelis tidak bisa maju lagi, suku Melayu kapok. Bukan sukunya yang kapok, tapi tokoh-tokohnya. Kali itu hanya satu pasangan dari suku Melayu.

Justru dari suku Dayak yang punya dua pasang calon. Salah satunya putri Cornelis yang sedang menjabat Bupati Landak: Karolin Margret Natasa.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *