Manusia: Pewaris Keenam Alam Semesta

kang-warsa

Oleh Kang Warsa

Kitab suci Al-Quran dan Bibel memberikan informasi mengenai penciptaan alam semesta dalam enam masa. Kemunculan angka enam ini telah ditafsirkan – baik  secara konvensional juga kontemporer.

Bacaan Lainnya

Pemaknaan lain terhadap kalimat enam masa, belakangan disebutkan sebagai proses tahapan penciptaan alam secara simultan berdasarkan fase-fase dan terus berkelanjutan. Hingga memunculkan spekulasi, penciptaan enam masa berbanding lurus dengan pemusnahan enam kali alam semesta.

Merujuk pada beberapa penelitian berdasarkan jejak arkeologis dan astromonin, planet Bumi sebagai rumah bersama seluruh makhluk yang kita kenal sekarang ini telah mengalami lima kali pemusnahan.

Pemusnahan kelima terjadi sekitar 200 juta tahun lalu ketika rantai makanan tertinggi ditempati oleh makhluk besar bernama dinosaurus.

Beberapa pihak banyak yang menolak dan tidak menyetujui dinosaurus pernah merajai planet Biru ini dengan pandangan apriori hanya karena langsung merujuk kepada kitab suci tentang penciptaan manusia berasal dari satu pasangan, Adam dan Hawa.

Dalam kajian keilmuan, penelitian tidak pernah memberikan bantahan terhadap kehadiran manusia berawal sejak  Adam dan Hawa diturunkan dari surga ke Bumi.

Walakin, penelitian berusaha memberikan solusi alternatif agar manusia saat ini menyadari sepenuhnya bahwa kehadirannya di muka Bumi memiliki tanggung jawab besar sebagai pewaris keenam planet yang memiliki daya dukung kehidupan.

Apalagi sebagai seorang muslim, saya memiliki pandangan yang sama dengan muslim lainnya bahwa manusia merupakan khalifah di muka Bumi, penjaga sekaligus pemakmur Bumi.

Kepunahan Bumi dalam terma keagamaan disebut dengan kiamat atau armagedon merupakan salah satu cara alam untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada di planet Bumi demi keberlangsungan kehidupan organisme dari mikro hingga makhluk berukuran besar.

Lama rentang waktu dari sebuah ledakan besar hingga kepunahan kelima diperkirakan selama 10 sampai 11 miliar tahun lamanya. Waktu yang cukup panjang bagi alam ini untuk menata dan membangun kembali apa pun yang ada di Bumi setelah setiap kepunahan dan kemusnahan.

Perdebatan mengenai apakah alam ini diciptakan atau muncul begitu saja tidak hanya terjadi antara para saintis dengan penganut agama, termasuk di dalam tubuh para saintis sendiri.

Namun dari sekian perdebatan yang saya ikuti dapat ditarik kesimpulan bahwa alam ini cenderung diciptakan berdasarkan formula yang tepat, rumus-rumus berdasarkan tetapan semesta, dan terstruktur secara sistematis.

Dalam bahasa Leibniz, apapun yang terjadi di alam ini, peristiwa alam, dan kepelbagaian di alam telah disematkan oleh Tuhan sejak semula alam ini diciptakan. Perlu dicatat, Leibniz seorang matematikawan penganut agnostik, artinya dia meyakini ada atau tidak adanya Tuhan memang belum dapat dibuktikan melalui penelitian.

Perdebatan para saintis tentang alam dan Tuhan pada akhirnya mendorong kita untuk berpikir lebih jernih, bagaimana mengkompromikan dan mengakomodasikan antara dalil-dalil dalam wahyu dengan pengetahuan, termasuk terhadap hal paling krusial yang saat ini sedang dihadapi oleh manusia, pemusnahan keenam planet Bumi. Proses pemusnahan planet Bumi sedang berlangsung sejak Bumi mereformasi ulang kehidupan setelah hujan meteor pada 200 juta tahun lalu.

Perlu diketahui, kepunahan disebabkan oleh anomali-anomali yang terjadi di muka Bumi yang disebabkan oleh tindakan makhluk tertinggi di muka bumi dalam mengeksploitasi sumber daya alam.

Tak dapat ditawar lagi, maka alam pun secara sepihak mengambil peran untuk menyelesaikan masalah yang ada di Bumi. Dengan bahasa lain dapat saya sebutkan, tanpa kepunahan dan kemusnahan di masa lalu, kemungkinan besar manusia tidak akan pernah menjadi pemegang kehidupan di planet ini.

Pos terkait