Labelisasi Kota yang Melekat dalam Imajinasi

kang-warsa

Oleh Kang Warsa

Relokasi atau pemindahan para pedagang dari kawasan Jl. Ir.H.Juanda ke Jl. Dewi Sartika telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Sukabumi beberapa hari lalu. Pemerintah kota bertekad mewujudkan kawasan pedestrian ke makna sebenarnya sebagai sebuah pedestrian, tempat para pejalan kaki. Kendati, pemerintah kota tentu menghadapi dilema untuk benar-benar menerapkan kawasan pedestrian secara definitif karena beberapa hal. Pertama, pertumbuhan kendaraan bermesin roda dua dan tiga di Kota Sukabumi –apalagi jika ditambah dengan jumlah kendaraan dari luar kota–  tidak sepadan dengan ketersediaan  jumlah  dan lebar jalan di pusat keramaian. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh elemen di Kota Sukabumi untuk mewujudkan pedestrian sebagai ruang publik yang sesuai dengan khittahnya sebagai tempat beraktivitas bagi para pejalan kaki.

Bacaan Lainnya

Kedua, pertumbuhan pedagang di Kota Sukabumi juga tergolong signifikan, karena kota merupakan tempat strategis usaha di bidang perdagangan.  Keberadaan para pedagang di kawasan Jl. Ir. H. Juanda sejak dua dekade lalu yaitu menyediakan jajanan bagi para pelajar di beberapa sekolah di kawasan ini. Sekolah-sekolah di kawasan ini belum memiliki kantin yang dapat menampung varian jajanan bagi para pelajar. Dari tahun 2005, kawasan Jl. Ir. H. Juanda mengalami pertumbuhan sebagai pusat jajanan tidak hanya pada siang hari saja, pada malam-malam tertentu kawasan ini  kerap dikunjungi oleh para remaja, misalnya Sabtu malam, kawasan ini dibanjiri oleh pengunjung dan seolah telah menjelma menjadi “pasar malam mingguan remaja”. Artinya, penempatan pedagang jajanan ke lokasi terdekat memang dapat dimaklumi karena keterbatasan tempat bagi mereka.

Apalagi keberadaan kantin di sekolah-sekolah kawasan Jl. Ir. H. Juanda sampai saat ini belum diprogramkan secara serius oleh koperasi-koperasi sekolah. Tentu saja, hal ini bersentuhan juga dengan ketersediaan lahan sekolah yang akan dijadikan kantin penyedia jajanan bagi anak-anak. Lebih dari itu, sudah tentu setiap sekolah tidak akan memperkenankan para pedagang untuk berjualan di lingkungan sekolah demi alasan ketertiban dan suasana kondusif kegiatan belajar dan mengajar di sekolah itu sendiri. Akan tetapi, di beberapa sekolah yang jauh dari kawasan Juanda, kantin tempat jajanan para siswa telah disediakan oleh sekolah, biasanya mengambil tempat di belakang sekolah. Kecuali itu, para pedagang yang berjualan di sekolah-sekolah yang jauh dari kawasan Juanda tidak terlalu mengganggu aktivitas pengguna jalan dan tidak bersentuhan langsung dengan kawasan pedestrian.

Ketiga, kawasan pedestrian di Kota Sukabumi merupakan hal baru namun keberadaannya harus bersentuhan dengan hal-hal yang telah lama dan tumbuh di kawasan yang sama. Pedestrian Ahmad Yani, misalnya, dalam pengelolaannya  bersentuhan dengan para pedagang kaki lima (PKL) yang kadung telah lama tumbuh dari tahun ke tahun. Setelah peresmian lapang Merdeka, Alun-Alun, dan pedestrian Ahmad Yani, Pemerintah Kota Sukabumi mengeluarkan kebijakan nyata melakukan penataan kawasan pedestrian Ahmad Yani dan merekolasi para pedagang kaki lima (PKL). Sebagian pihak memandang, kebijakan ini kurang populis, karena para pedagang kaki lima yang semestinya dinaungi dan diberikan fasilitas oleh pemerintah harus menghadapi kebijakan yang sesuai aturan.

Pertanyaan seperti: kenapa penataan jalan dan trotoar tidak dilakukan oleh pemerintah sedari dulu jika dasar penertiban tersebut bertolak terhadap aturan fungsi jalan dan trotoar? Kita memang harus menyadari, kebijakan yang benar dan tepat yang diterapkan oleh Pemerintah Kota Sukabumi sebagai bentuk ketegasan penerapan aturan sering dipandang kebijakan kurang populis saat bersentuhan dengan “isi perut”. Tanpa disadari, siapapun akan lebih memilih kebijakan yang tampak populis meskipun secara legal melanggar aturan yang semestinya dijalankan oleh pemerintah dan masyarakat.

Dari tiga hal di atas, sangat jelas, setiap kebijakan yang diterbitkan akan melahirkan sebuah dilema jika faktor-faktor pendukung kebijakan belum terpenuhi dan sering memunculkan wacana-wacana baru apakah pemerintah akan menerapkan aturan yang benar atau harus memihak masyarakat kecil (para pedagang)? Pemerintah Kota Sukabumi tentu harus berada pada posisi yang tepat, menjalankan aturan yang dibuat dan tetap memfasilitasi para pedagang sebagai bagian penting dari masyarakat urban. Sebaliknya, kebijakan pemerintah kota seperti relokasi para pedagang kaki lima (PKL) ke tempat lain harus didukung secara aposteriori, didukung dengan beberapa rekomendasi yang tepat dan kritik membangun agar setiap tempat di Kota Sukabumi ini benar-benar tertata sesuai harapan.

Label Kota yang Melekat dalam Imajinasi

Pemindahan para pedagang jajanan dari kawasan Pedestrian Juanda akan terus dievaluasi oleh Pemerintah Kota Sukabumi. Dengan beberapa pertimbangan seperti; pertama, apakah setelah dipindahkan omset para pedagang relatif tetap atau berkurang? Kedua, apakah keberadaan pedagang jajanan di tempat baru (Jl Dewi Sartika) mengganggu fungsi jalan atau sama saja dengan sebelumnya? Ketiga, apakah Pemerintah Kota Sukabumi harus membuat rekayasa baru untuk Jl. Dewi Sartika, misalnya menjadikan kawasan ini tidak boleh dilalui oleh kendaraan roda empat, meskipun fisik jalan ini kecil dan pendek namun telah menjadi jalan alternatif bagi kendaraan bermesin roda dua dan empat.

Relokasi atau pemindahan pedagang bahkan jika dimungkinkan pemindahan pusat keramaian (Cikole)  ke kawasan terjauh dari pusat kota masih sulit dilakukan oleh pemerintah. Faktanya, daerah penyangga perbatasan dan tiga kecamatan perluasan (Bacile) justru menjadi ramai dengan sendirinya oleh entitas dan keberadaan masyarakat di kecamatan tersebut. Pusat kota, keramaian, pasar, pertokoan, dan perbelanjaan telah menjadi label yang tersemat bagi pusat kota dari dulu hingga sekarang.

Memindahkan pedagang dari kawasan pedestrian Ahmad Yani, Jl. Kapt Harun Kabir, dan di kawasan Pasar Pelita ke kecamatan lain tidak akan berjalan dengan baik karena tiga kecamatan (Baros, Cibeureum, dan Lembursitu) juga dengan sendirinya telah mulai ramai oleh pertokoan dan para pedagang. Misalnya di Baros, dari pertigaan kantor Polsek Baros sampai gerbang masuk Perumahan Baros Kencana telah menjadi kawasan jajanan.

Sepanjang Jl. Pelabuan II juga telah muncul pertokoan dan warung-warung penyedia kebutuhan masyarakat. Hanya saja, labelisasi pusat kota masih benar-benar mengendap dalam kognisi masyarakat. Pusat Kota Sukabumi tetap ramai dan padat oleh pengunjung, apalagi menjelang dan sesudah lebaran. Dengan kata lain, meskipun di perbatasan kota dan kabupaten telah terbentuk kawasan perbelanjaan, masyarakat akan tetap berdatangan ke pusat kota sambil berkata: Belanja ke kota. Dahi kita akan berkerut, masyarakat dari daerah Kabupaten Sukabumi seperti Surade dan Sagaranten meskipun di dua daerah ini telah terbentuk keramaian yang serupa dengan Kota Sukabumi, tetapi pada waktu tertentu, mereka tetap harus datang dan berbelanja ke Kota Sukabumi.

Di samping itu, penetapan zonasi daerah di Kota Sukabumi juga merupakan sebuah kebijakan integratif harus dijadikan dasar dalam pembangunan dan tata ruang wilayah. Lembursitu sebagai kawasan atau zona pertanian sebagai daerah penyangga ketahanan pangan Kota Sukabumi harus dipertahankan sebagai kawasan pertanian meskipun desakan alih fungsi lahan pertanian ke pemukiman dirasakan sangat kuat dari tahun ke tahun. Beberapa tahun ke depan, zonasi dan tata ruang wilayah Kota Sukabumi kemungkinan besar akan berubah sejalan dengan penyebaran keramaian hingga ke wilayah perbatasan.

Sampai beberapa tahun ke depan, labelisasi kota terhadap Kota Sukabumi tampaknya akan terus mengendap dalam imajinasi masyarakat Sukabumi. Pusat kota dan pertokoan akan terus dipadati oleh pengunjung, selain membawa keuntungan bagi kota , juga dapat memunculkan permasalahan di dunia yang tidak mudah terselesaikan; sampah, polusi, dan permasalahan sosial lainnya. Kota akan tetap menjadi kota sampai wilayah-wilayah panamping atau penyangga di perbatasan benar-benar mewujud menjadi daerah urban yang mampu mengimbangi pusat kota.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *