Ikan Julung-Julung, Riwayatmu Kini

kang-warsa

Oleh Kang Warsa

Ukiran ikan julung beriring, dalam terma masyarakat Sunda disebut ikan julung-julung, terlihat jelas pada atap Balai Kota Sukabumi. Tepat pada ujung “wuwung” bangunan yang didirikan oleh Mr. Knaud ini, ukiran ikan julung-julung kendati terlihat jelas namun tidak semua orang dapat melihatnya langsung jika tidak diamati secara mendalam terlebih dahulu.

Bacaan Lainnya

Bagi para penganut illuminati, dapat saja ukiran bergenre artdeco pada ujung atap Balai Kota Sukabumi bukan gambar ikan julung-julung melainkan ilustrasi Dewi Atargatis, salah satu simbol dewa ikan yang dipuja oleh orang-orang Filistin dan Semit. Bagi para penganut illuminati, simbol-simbol yang pernah digunakan oleh masyarakat kuno dipandang sebagai pemantik kekuatan magis yang harus dihadirkan dalam gerakan bawah tanah.

Alasan para arsitek Belanda menyematkan simbol-simbol illuminati pada setiap bangunan di negara ini akan saya paparkan dalam tulisan terpisah. Secara sederhana, sejak era kolonialisme hampir tidak ada celah kosong yang tidak luput dari gerakan kaum illuminati. Jejak illuminati bukan berarti gerakan global ini harus dipandang berbahaya bagi kita, karena landasan dasar pendirian gerakan ini di era Aufklarung dipicu oleh perubahan mendasar dalam memandang kehidupan bersamaan dengan pergolakan antara Gereja dengan para ilmuwan sejak abad pertengahan awal.

Meskipun demikian, tidak sedikit  pihak yang merasa khawatir terhadap kehadiran gerakan ini. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Pertama, gerakan iluminasi atau pencerahan (Aufklarung) abad ke 17 di Eropa merupakan penafsiran baru masyarakat Eropa terhadap kondisi dan situasi dunia dari tradisional yang dikendalikan oleh hal supernatural ke modern yang rasional. Dengan kata lain, Aufklarung merupakan penafsiran baru masyarakat dari kekuatan adikodrati kepada kekuatan internal manusia sendiri atau antroposentris. Kehidupan ditentukan oleh manusia sendiri tanpa harus ada campur tangan kekuatan tak kasat mata.

Kedua, persinggungan dan pergolakan panjang antara Gereja sebagai entitas penting keagamaan dengan para cendekiawan sebagai entitas keilmuan tanpa ada perekat dan pengikat telah mengaburkan dua hal dalam kehidupan; materi dan immateri. Lebih lanjut telah mengokohkan pandangan nihilisme berbasis rasionalitas yang dipandang tidak memiliki ikatan dengan irasionalitas kaum agamawan. Tidak mengherankan, para pemuka agama masih harus berhati-hati dalam menghadapi kelompok ilmuwan dari dulu hingga sekarang. Dampaknya, pandangan terhadap kaum iluminasi sebagai kelompok berbahaya dialirkan kepada seluruh penganut agama, terlebih ada semacam kekeliruan terutama dari sebagian besar umat Islam yang sering mengaitkan illuminati dengan Yahudi.

Kita harus menyadari, masa kini hanya menyisakan bayang-bayang gerakan kaum illuminati, bahkan cenderung menghantui pihak yang selalu merasa risih dan takut terhadap kehadiran kelompok iluminasi ini. Kita harus menyadari sepenuhnya, antara kedua pihak antara kelompok yang menyanjung irasionalitas secara berlebihan dan rasional yang ekstrim sering tidak pernah menemui titik temu sejak abad ke-5 SM atau di era aksial. Bahkan, di dalam tubuh kelompok para penganut agama saja sampai saat ini masih menyisakan bibit pertentangan.

Dan jika dipikir secara jernih, masing-masing kelompok; antara para penganut irasionalitas dengan rasionalitas telah mencoba mewariskan jejak-jejak mereka melalui fitur-fitur kehidupan yang dapat diakses oleh khalayak. Dari mulai pembuatan simbol, arsitektur, emblem, pataka, dan pernak-pernik lainnya tetap dikerjakan oleh masing-masing kelompok sebagai pesan yang dapat dibaca dan diamati oleh setiap generasi.

 

Julung-Julung Sebagai Indikator Lingkungan Bersih

Andai saja iluminasi dan gerakan serupa saya pandang sebagai hantu yang mengintai para penakut, ini tidak jauh berbeda dengan ikan julung-julung yang mulai mengalami penyusutan populasi, lantas saya khawatirkan keberadaannya benar-benar akan punah dalam waktu dekat.  Ikan julung-julung masih dapat ditemui di perairan tawar dengan kualitas air yang masih baik. Kehadirannya menjadi bioindikator terhadap kualitas ekosistem sungai dan perairan tawar.

Tidak heran, saat saya kecil, sampai pertengahan tahun 1980-an, sungai-sungai di Sukabumi masih menjadi habitat yang baik ditempati oleh ikan dari famili hemiramphidae ini. Populasi julung-julung terancam dan mengalami pengurangan ketika kualitas air sungai memburuk karena dimasuki oleh polusi berasal dari limbah rumah tangga. Penggunaan detergen, sabun mandi, dan pengharum cucian menjadi faktor determinan yang telah merusak ekosistem sungai.

Polusi air juga disebabkan oleh pola hidup masyarakat perkotaan yang begitu mudah mengotori air dengan membuang sampah ke sungai. Produksi sampah rumah tangga berbanding terbalik dengan kesadaran masyarakat terhadap pengetahuan mereka terhadap upaya pelestarian lingkungan semakin memperparah pencemaran sungai.

Sampai duduk di bangku SMP, saya belum pernah mengalami hal mengerikan dalam hidup: melihat aliran sungai beraroma busuk, berwarna hitam pekat, dan menjijikan di kampung sendiri. Saya merasakan hal mengerikan ini ketika mengunjungi wilayah perkotaan saja.

Aliran sungai dari hulu ke hilir, dari wilayah padat penghuni ke sungai-sungai di perkampungan secara perlahan mulai merusak dan mematikan produsen makanan di air seperti algae, tumbuhan renik yang dikonsumsi oleh ikan-ikan air tawar. Kerusakan tumbuhan renik ini menjadi penyebab populasi ikan tertentu seperti julung-julung mengalami penyusutan.

Kenyataan ini memang ironi bagi para penganut agama dan keyakinan. Misalnya, kita sebagai muslim memahami benar konsep kebersihan sebagian daripada iman. Apalagi telah berani mengklaim diri kita sebagai khalifah atau pelestari bumi namun sungguh bertolak belakang dengan apa yang telah kita perbuat.

Dosa terbesar umat manusia bukan lagi karena telah memfitnah sesama, meninggalkan salat, dan ritual-ritual lainnya melainkan telah melakukan tindakan paling ceroboh namun terabaikan seperti merusak ekosistem air, membunuh ganggang, dan memusnahkan populasi ikan air tawar demi alasan yang sulit diterima nalar.

Ukiran ikan julung-julung di ujung atap Balai Kota Sukabumi tidak akan saya beri makna sebagai ilustrasi Dewi Atargatis melainkan sebuah pesan masa lalu bahwa wilayah Sukabumi ini awalnya merupakan habitat yang baik bagi ikan julung-julung.

Generasi kita telah dibutakan oleh cara pandang keliru tentang inti ajaran agama. Kita terlena oleh buaian isi ceramah tentang kebaikan, cara beramal baik, cara masuk surga, dan cara merajuk Tuhan namun sikap dan tindakan kita sangat kosong dan hampa dari kebaikan yang dapat diterima oleh makhluk lain.

Saya, kalian, dan kita sulit bertobat karena enggan mengakui secara sukarela telah menjadi bagian besar dari kelompok munafik perusak alam namun masih tetap mengklaim sedang berbuat kebaikan, menjaga bumi, merawat kehidupan, dan menjaga alam.

Kelangkaan ikan julung-julung merupakan permulaan kepunahan makhluk lain karena perbuatan manusia. Kerusakan ini akan terus berlangsung dan satu persatu akan dibuktikan oleh peristiwa alam sebagai akibat dari keengganan manusia dalam mengakui dosa besarnya, merusak alam tetapi dengan tidak malu pandai berkhotbah tentang hablun minal alam (hubungan manusia dengan alam).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *