Hanya ada Tiga Cara Jalan untuk Menunda Pemilu

YUSRIL IHZA MAHENDRA
YUSRIL IHZA MAHENDRA

Saya mengungkapkan kembali peristiwa berhentinya Presiden Suharto dan digantikan BJ. Habibie itu sebagai catatan sejarah bahwa legalitas dan legitimasi penyelenggara negara itu sangat penting untuk mencegah meluasnya konflik politik. Persoalan penundaan Pemilu yang berimplikasi kepada legalitas dan legitimasi kekuasaan ini tidak bisa diselesaikan dengan usulan-usulan Ketua-Ketua Umum Parpol yang sarat dengan kepentingan politik. Meskipun usul itu kemudian disepakati oleh semua partai yang punya wakil di DPR, DPRD dan MPR, tetapi kesepakatan itu bukanlah kesepakatan lembaga-lembaga negara yang resmi dan legitimate untuk mengambil keputusan menurut UUD 45.

Bacaan Lainnya

Saya berpendapat, penundaan Pemilu 2024 itu hanya mungkin mendapatkan keabsahan dan legitimasi jika dilakukan dengan menempuh tiga cara: (1) Amandemen UUD 45; (2) Presiden mengeluarkan Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner; dan (3) Menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.

Ketiga cara ini sebenarnya berkaitan dengan perubahan konstitusi, yang dilakukan secara normal menurut prosedur yang diatur dalam konstitusi itu sendiri, atau cara-cara tidak normal melalui sebuah revolusi hukum, dan terakhir adalah perubahan diam-diam terhadap konstitusi melalui praktik, tanpa mengubah sama sekali teks konstitusi yang berlaku.

Dasar paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan Pemilu dan sebagai konsekuensinya adalah perpanjangan sementara masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD dan DPRD adalah dengan cara melakukan perubahan atau amandemen terhadap UUD 45. Prosedur perubahan konstitusi sudah diatur dalam Pasal 37 UUD 45, Pasal 24 sampai Pasal 32, UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana telah diubah, terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019, serta Peraturan Tata Tertib MPR yang detilnya tidak perlu saya uraikan di sini.

Apa yang perlu diubah sebenarnya bukanlah mengubah pasal-pasal UUD 45 yang ada sekarang secara harfiah, tetapi menambahkan pasal baru dalam UUD 45 terkait dengan pemilihan umum. Pasal 22E UUD 45 dapat ditambahkan pasal baru, yakni Pasal 22 E ayat (7) yang berisi norma “Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu. Ayat (8) Semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar ini, untuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum.

Dengan penambahan 2 ayat dalam pasal 22E UUD 45 itu, maka tidak ada istilah perpanjangan masa jabatan Presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Para anggota dari Lembaga Negara seperti MPR, DPR, DPD tersebut berubah status menjadi anggota sementara, sebelum diganti dengan anggota-anggota hasil pemilu. Status mereka sama dengan anggota KNIP di masa awal kemerdekaan, anggota DPRS di masa Demokrasi Liberal dan anggota MPRS di masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Kedudukan Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin juga menjadi Pejabat Presiden dan Pejabat Wakil Presiden, sebagaimana Pejabat Presiden Suharto di awal Orde Baru.

Jalan kedua, di luar mengubah UUD 45 adalah Presiden mengeluarkan Dekrit menunda pelaksanaan pemilu dan sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 45 harus diisi dengan pemilu. Dekrit adalah sebuah revolusi hukum, yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum. Revolusi yang berhasil dan mendapat dukungan mayoritas rakyat, kata Professor Ivor Jennings, menciptakan hukum yang sah. Tetapi sebaliknya revolusi yang gagal, menyebabkan tindakan revolusi hukum sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum. Pelaku revolusi yang gagal bisa diadili oleh pengadilan dengan dakwaan makar (kudeta) atau penghianatan terhadap bangsa dan negara, atau dipecat dari jabatannya oleh lembaga yang berwenang.

Masalahnya apakah Presiden Jokowi punya nyali untuk mengeluarkan dekrit, sebagaimana Bung Karno keluarkan Dekrit membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 45? Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu bukanlah tindakan yang didasarkan kepada dalil “staatsnoodrechts” (keadaan darurat negara) atau “noodstaatsrechts” (hukum tata negara dalam keadaan darurat) sebagaimana didalilkan oleh Prof Mr Djokosutono dan Prof Mr Notonegoro karena tidak cukup alasan untuk menyatakan adanya faktor itu. Dekrit 5 Juli 1959 adalah sebuah revolusi hukum yang berhasil berkat politik cipta kondisi yang kala itu diorganisir oleh Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal AH Nasution yang lebih dulu menyatakan SOB (Staat van Oorlog en Beleg) atau “negara dalam keadaan bahaya”, serta dukungan partai-partai politik terutama PNI dan PKI. Revolusi hukum tidak mungkin akan berhasil tanpa dukungan militer. Itu sejarah tahun 1959.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *