Guru Malu dan Guru Ulam

Oleh : Hema Hujaemah
Kepala SMPN 11 Kota Sukabumi

Guru identik dengan sosok yang patut digugu dan ditiru. Kalimatnya sederhana, namun mempunyai filosofi yang begitu mendalam. Tidak sembarang orang bisa memaknai, memahami. Apalagi mengaplikasikannya, butuh ilmu yang cukup, komitmen, tanggung jawab, dan keikhlasan yang besar. Sehingga dengan kasat mata, akan terlihat mana guru yang benar-benar bisa digugu dan ditiru, atau sebaliknya.

Bacaan Lainnya

Guru tidak sekedar datang untuk mentransfer pengetahuan pada peserta didik. Ilmu dari berbagai sumber bukan untuk dijejalkan kepadanya. Hal yang mendasar dan utama adalah mentransfer nilai-nilai karakter baik dan akhlak mulia. Oleh karena itu guru harus mempuyai rasa malu bila tampil sekedar di ruang kelas. Ia harus istimewa, bermutu agar selalu dirindu.

Ada ungkapan “malu sebagian dari iman”. Itu benar, dengan budaya malu, setiap individu akan berpikir ulang untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan norma. Malu kepada Sang Khaliq, malu kepada sesama makhluk, dan malu kepada diri sendiri. Sehingga “malu” menjadi salah satu indikator kadar keimanan seseorang.

Dalam KBBI, malu artinya merasa sangat tidak enak hati karena berbuat sesuatu yang kurang baik. Budaya “malu” perlu diciptakan, dikembangkan, dilaksanakan, dan ditularkan oleh guru kepada peserta didik. Malu tidak disiplin, malu kurang belajar, dan malu melakukan hal negatif lainnya. Tetapi ada malu versi lain, yang dapat menambah wawasan bagi pembaca, sebagai berikut:

Pertama, m (mawas diri), nama lainnya introspeksi. Artinya guru yang baik adalah guru yang pandai melihat dan mengoreksi diri sendiri secara jujur. Apakah yang sudah dilakukan itu sudah sesuai dengan tupoksi, kaidah, dan norma yang berlaku? Apakah hak yang diterima sudah sesuai dengan kewajiban? Apakah yang dituliskan sudah sesuai dengan apa yang dilakukan? dan apakah-apakah lainnya.

Kedua, a (adaptif), agar seorang guru tidak disebut jadul, kuper, dan baper perlu merubah mindset. Pola pikir yang adaptif akan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan dan perkembangan zaman. Waktu terus berjalan, zaman terus berkembang, teknologi semakin canggih, regulasi terus berubah. Guru tidak boleh pura-pura tidak tahu, atau pura-pura tahu padahal tidak tahu. Tetapi guru harus belajar menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan zaman now.

Ketiga, l (loyal), guru yang loyal akan setia kepada perintah Tuhannya, amanah jabatan, dan “perintah” pimpinan. Jika perintah Tuhan dilaksanakan dengan baik, akan ada perubahan yang baik dalam dirinya. Dia akan amanah dengan tugas dan tanggung jawab, melaksanakan “perintah” pemimpin, dan menebar manfaat bagi sesama umat.

Keempat, u (untuk mengabdi), karakter mawas diri, adaptif dan loyal, semuanya untuk mengabdi kepada kepentingan peserta didik. Dibalik pengabdian tersebut akan diperoleh ilmu, pengalaman, saudara, rizki untuk menafkahi keluarga, dan rizki untuk berbagi dengan sesama.

Malu jika dibalik menjadi ulam. Dalam Bahasa sunda artinya sebangsa ulat yang suka melubangi kayu (perusak). Kalau guru kurang mempunyai rasa malu, hidupnya dikawatirkan akan menjadi ulam. Ulam yang dimaksud bukan sebangsa ulat, namun menjadi individu yang ujub, lalai, arogan dan maruk disingkat “ulam”.

Ujub nama lainnya takabur, yaitu sifat membanggakan dirinya sendiri secara berlebihan, memandang orang lain lebih rendah. Takabur termasuk sifat tercela, merasa dirinya paling benar menurut versinya. Sehingga dia berperilaku semaunya, tidak mendengar, peduli, terhadap pendapat orang lain.

Lalai nama lainnya lengah, dalam KBBI artinya kurang hati-hati, tidak mengindahkan (kewajiban, pekerjaan). Guru yang lalai, ketika diberikan wewenang selalu menolak, dengan berbagai alasan. Diberikan tugas dan tanggung jawab tidak tuntas. Diberikan contoh dan himbauan tidak mengindahkannya.

Arogan, nama lainnya angkuh, dalam KBBI artinya mempunyai perasaan saya segalanya. Sehingga dalam bersikap cenderung memaksa atau pongah. Guru yang arogan suka memaksakan kehendak, pandai beralasan, sulit menerima kritik, dan kaku dalam memandang sesuatu.

Maruk, nama lainnya rakus, serakah, atau tamak dalam KBBI artinya selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki. Guru yang maruk kurang pandai bersyukur, sehingga lalai dalam melaksanakan pekerjaannya. Terlalu banyak menuntut, sedikit memberi. Rizki yang didapatkan seakan-akan milik pribadi sehingga sulit untuk berbagi. Bekerja semata orientasi uang dan demi uang.

Semoga kita menjadi guru yang mempunyai rasa malu, terhindar dari sifat ulam. Kembangkan perilaku responsif, inovatif, normatif, dedikatif, untuk mengabdi (rindu). Kapanpun, dimanapun, dengan siapapun, bisa menjadi guru yang di rindu. Kebahagiaan sesungguhnya adalah rasa syukur kita terhadap profesi guru. Wallahu a’lam..self remind.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *