Gara-gara Baru

Oleh: Fawzy Ahmad – Redaktur Radarsukabumi.com

Pokoknya baru. Gaya hidup baru. Aktivitas baru. Habitat baru. Cara pikir baru. Semuanya baru.

Bacaan Lainnya

Tenang, masih ada lagi yang baru.

Ekonomi baru. Masalah baru. Rumah tangga baru. Pendidikan baru. Pengangguran baru.

Apakah mungkin ada pemerintahan yang baru? Apakah mungkin ada agama baru? Apakah mungkin ada kiblat yang baru?

Entahlah. Yang pasti semua serba baru. Gegara hadirnya si virus baru.

Hidup baru alias new normal kini jadi diksi yang merepotkan akal sehat dan alam bawah sadar.

Orang-orang lantas mengintepretasikan new normal ini dengan sangat liar. Sesuka otak mereka. Seenak udelnya. Ya namanya juga hidup yang baru. Cara pikir juga baru.

Orang-orang juga lantas terpecah. Tercerai-berai. Jadi parsial, layaknya lockdown parsial. Terkotak-kotak secara bulat-bulat. Ada yang menerima new normal, ada pula yang menolak. Ada juga yang masa bodoh.

Sebelumnya, saya sempat dengan seorang psikolog di Kota Sukabumi. Joko Kristianto namanya.

“Pro kontra pasti ada. Yang menolak membutuhkan waktu untuk menerima new normal ini. Bahkan, yang menerima pun butuh waktu juga. Jadi kita membutuhkan waktu untuk adaptasi dengan new normal atau tatanan kehidupan yang baru,” kata Joko dalam wawancara virtual dengan saya.

Ya, menurut saya itu benar. Mau tidak mau, kita harus wajib kudu menerima hal baru ini. Karena memang beginilah situasi terkininya. Dan ini bukan karena like and dislike, tapi true or false.

Namun, indikator yang menentukan new normal ini benar atau salah pun terkadang didasari oleh like and dislike pula. Jadi, sarua keneh. Sama saja.

Ada sebuah pertanyaan, apakah new normal atau hidup baru ini implementasi dari berdamai dengan corona?

Saya pernah mengkritisi pernyataan ‘berdamai dengan corona’ di beranda akun Facebook pribadi. Bahwa berdamai dengan corona artinya kita berdamai dengan penjajah yang menjajah Indonesia.

Jangan dibantah, jangan didebat. Ini kembali ke persoalan like and dislike. Soal true or false pun kembali ke cara pandang masing-masing.

Berdamai dengan corona adalah stigma yang kontra-produktif dengan tagar Indonesia Lawan Corona. Di Sukabumi, tagar itu pun disunting menjadi Sukabumi Lawan Corona. Bahkan tagar ini dengan gamblang nangkring di rompi khusus Gugus Tugas Covid-19 Jabar yang dikenakan Wali Kota Sukabumi Achmad Fahmi dan Bupati Sukabumi Marwan Hamami.

(Rompi corona itu keren banget loh. Saking kerennya, saya kira ada dijual di Shopee. Barangkali ada dijual yang mirip-mirip)

Kalau sudah begitu, artinya Indonesia Lawan Corona berevolusi menjadi Indonesia Damai Corona. Jadi diksi baru. Jadi kebijakan baru. Yang mungkin baru-baru saja terpikirkan oleh pemerintah baru.

Apa yang menyebabkan perubahan dari lawan menjadi damai? Entahlah. Sekali lagi entah. Bisa jadi apa yang dikatakan Jerinx SID benar, bahwa ada konspirasi.

By the way, Jerinx SID kini jadi pengamat pendatang baru. Tapi dia adalah wajah lama. Karena pria kelahiran Bali itu adalah drummer band Superman Is Dead (SID). Band punk rock dari pulau Dewata.

Tapi karena Jerinx SID pula, istilah konspirasi pun mulai kesohor. Trending topic. Analisa atau data saya boleh salah, berkat Jerinx SID pula nama eks Menteri Kesehatan dr Siti Fadilah Supari muncul lagi.

Teringatlah sejarah epic bagaimana Siti Fadilah melawan WHO tentang virus flu burung. Dia menang dengan sangat terhormat. Dia juga sukses menyelamatkan Indonesia agar tidak berbisnis dengan konspirasi flu burung tersebut. Konon saat itu Indonesia digoda agar mau membeli vaksin flu burung dengan harga yang sangat abnormal.

Ibu Siti Fadilah tegas menolak. Tapi tampaknya konspirasi berlanjut. Dia pun kini dijebloskan ke dalam penjara. Ya, ibu Siti Fadilah Supari telah menjalani new normalnya. Tatanan hidupnya yang baru. Jauh sebelum ada pandemi corona.

Apakah ada yang diuntungkan dari new normal ini? Bisa iya, bisa juga tidak. Tergantung di sisi mana kita melihat masalahnya. Yang pasti, menurut Ahmad Dhani, konspirasi itu adalah ada yang diuntungkan.

Saya ingin kembali ke pernyataan Indonesia Damai Corona. Nah, kalau sudah terjadi perdamaian, maka biasanya. Sekali lagi, biasanya ya, akan ada pihak atau pihak-pihak yang diuntungkan. Konspirasi? Entahlah, biar corona saja yang menjawabnya.

Sementara itu.

Di sisi lain.

Ternyata kita sebenarnya memang sudah benar-benar menjalani apa itu new normal.

Contohnya;

1. Dulu, kita berkomunikasi lewat telepon. Kadang ada yang ke wartel. Kini, komunikasi itu ada pada telepon genggam pintar alias smart-handphone.

2. Dulu, kita belanja pakaian harus ke toko. Kini, cukup lewat aplikasi e-commerce. Belanja bisa dengan rebahan, barang pun datang diantar.

3. Dulu, kalau mau belanja harus pakai uang cash. Kini, sudah ada yang namanya virtual money. Ada yang namanya Ovo. T-Cash. Ah, pokoknya macam-macam lah.

4. Dulu. Ah sudahlah, tiga saja dulu. Selebihnya kalian lah yang menambahkan.

Pokoknya sekali lagi, semua serba baru. Dan baru-baru ini pula, setiap pengunjung toko/supermarket/mall wajib pakai hand sanitizer, wajib memakai masker dan wajib dicek suhu tubuhnya oleh thermo gun atau alat sejenisnya.

Itu ngantri. Dulu, masuk mall gak perlu ngantri. Ya masuk saja. Paling-laing penjagaannya cuma dicek pakai metal detector, takut bawa bom atau senjata tajam.

Repot lainnya lagi, terkadang kita harus masuk ke bilik desinfektan. Badan kita harus disemprot cairan desinfektan agar virus-virus yang nempel dipakaian hilang. Meskipun Kementerian Kesehatan telah resmi melarangnya.

Ada laigi repot lainnya. Muncul ‘astronot’ di titik-titik tertentu. Ya, petugas kesehatan terpaksa harus memakai seperangkat Alat Pelindung Diri; baju hazmat, goggle, masker, sepatu boot, dan lainnya. Pakai APD itu hareudang, panas!

Trus begini, masalah lainnya, dibalik hal baru ini, apakah ada yang hal lama?

Saya berpendapat, yang lama adalah peradaban kita yang susah diperbaharui. Bahwa jika bicara tentang tatanan kebangsaan yang lebih universal, peradaban adalah tolok ukur yang paling menentukan.

Peradaban orang Indonesia harus maju, harus baru, harus canggih dan harus hebat.

Begitupun peradaban orang Sukabumi, kota saya saat ini. Dan peradaban Kota Tarakan di Kalimantan Utara, kampung halaman saya. Kalau mau menjalani new normal, maka pastikan peradaban kita telah diperbaharui agar tidak kaget menerima segala konsekwensinya.

Kita harus mampu mendulang keuntungan dan faedah dengan adanya new normal ini. Semisal, menjadi pedagang masker. Atau jadi produsen masker. Karena bisa jadi, sekali lagi, bisa jadi, corona memang benar adalah konspirasi. Kan konspirasi itu ada pihak yang diuntungkan.

Maka, pada pernyataan berdamai dengan corona, saya menafsikan bahwa kita harus bisa berdamai (beradaptasi, red) dengan masalah baru. Covid-19 hanyalah salah satu contoh masalah baru itu.

Kelak, kita akan dibuat ruwet gara-gara masalah baru lainnya. Siap tidak siap. Suka tidak suka. Benar atau salah. Ya beginilah sunatullah nya.

Seperti saya saat ini, mendapat amanah baru. Jadi Ketua RW. Otomatis, ada masalah baru. Panggilan baru; Pak RW.

Yasudah, pokoknya sekali lagi; Selamat menempuh hidup baru. (izo/rs)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *