BEM Faperta UMMI Tolak Disahkannya UU Cipta Kerja

AKSI DAMAI: Sejumlah mahasiswa dari BEM Faperta UMMI ikut menyuarakan penolakan UU Cipta Kerja.

SUKABUMI — Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peranian Universitas Muhammadiyah Sukabumi ikut serta menolak UU Cipta Kerja yang disusun dengan model Omnibus Law, yang isinya dinilai mencederai rasa keadilan masyarakat.

Ketua BEM Fakultas Pertanian Muhammad Agung Bilal menilai, UU tersebut, bakal menimbulkan dampak negatif khususnya sektor pangan yang mempermudah persyaratan dari pertanian menuju non pertanian.

Bacaan Lainnya

Di mana, terdapat substansi terkait bank tanah, yang menyoal HGU. “Jika HGU habis dikontrakan akan dikembalikan ke bank tanah, sehingga investor akan merebut dan membeli tanah-tanah yang ada di desa – desa dan masyarakat adat.

Oleh karena itu kita harus bisa menghentikan rezim busuknya melalui UU Omnibus law dengan menolak monopoli tanah, menolak kriminalisasi petani, menolak penggusuran tanah, menolak perampasan tanah, karena nyatanya petani dan masyarakat adat mempunyai hak atas tanah,” tegas Agung dalam siaran persnya.

Namun BEM Faperta UMMI periode 2020/2021 tidak hanya menyuarakan suara menolak Omnibus Law, tetapi dengan aksi nyata yang sudah dilakukan dalam membela petani yaitu melalui beberapa rangkaian acara yang diantaranya memperingati Hari Bahari pada tanggal 23 September 2020.

Selain itu, memperingati Hari Tani Nasional pada tanggal 24 Setember 2020 dan pada saat ini sedang mempersiapkan serangkaian kegiatan untuk memperingati hari pangan sedunia pada tanggal 16 Oktober 2020 juga Milad Himpunan Mahasiswa Agribisnis (HIMAGRI) yang ke-17.

“Serangkaian kegiatan yang akan kami lakukan diantaranya yaitu launching kebun pangan lokal, diversifikasi pangan lokal (tanaman sorgum, hanjeli, jawawut, terubuk, beras hitam), diskusi online terkait ketahanan pangan dengan tema ‘Peran Pemerintah dalam Menanggulangi Krisis Pangan di masa Pandemi Covid-19’.

Kami juga akanan membagikan hasil olahan pangan lokal kepada masyarakat, ketahanan pangan melalui hydroponic skala kecil dengan memanfaatkan pekarangan rumah, dan Budikdamber,” terang dia.

Agung menambahakan, jika tidak ada yudisial review dalam kasus ini, pihaknya menyarakan agar adanya penguatan kelembagaan petani dengan korporasi petani, yang merupakan kelompok tani berbentuk perusahaan/berbadab hukum, sehingga pengelolaan usaha dapat dilakukan secara professional.

Tidak hanya itu, BEM Faperta juga menyarankan adanya yudisial review dengan perbandingan UUD 1945 pasal 33 ayat 3, karena tidak sesuai dengan isi dari pasal tersebut. Yang mana indikasi pada UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3.

“Karena dalam UU Cipta Kerja terdapat indikasi merugikan para petani kecil, petani penggarap, petani yang tidak memilikilahan yang notabene adalah petani miskin akan semakin termarginalkan. UU Ciptakerja akan lebih menguntungkan para investor.

Padahal sudah jelas UUD 1945 pasal 33 ayat 3 sudah mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan di pergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat, pungkasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *