Tuntaskan Konflik Reforma Agraria!

mahasiswa dan petani Sukabumi
Puluhan massa yang tergabung dari elemen mahasiswa dan petani Sukabumi berunjuk rasa di depan Kantor Setda Kabupaten Sukabumi, Palabuhanratu, Kamis (30/9).

SUKABUMI – Pekikan orasi tentang hak petani soal agraria kembali berlanjut di depan Gedung Sekretariat Daerah (Setda) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Kamis (30/9).

Sebelumnya, massa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Petani Sukabumi melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Agraria Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Sukabumi pada Jumat (24/9) lalu bertepatan dengan Hari Tani Nasional.

Bacaan Lainnya

Pantauan Radar Sukabumi di lapangan, massa yang terdiri dari puluhan mahasiswa memulai aksi unras dengan berjalan kaki dari depan Gedung Pendopo hingga ke depan kantor Setda Kabupaten Sukabumi. Satu persatu massa menyampaikan aspirasinya dengan dijaga ketat oleh aparat gabungan.

Koordinator aksi sekaligus Ketua DPC GMNI Sukabumi Raya, Anggi Fauzi mengatakan, aksi unras ini merupakan tindak lanjut aksi sebelumnya pada 24 September 2021 lalu di ATR BPN Kabupaten Sukabumi. Sebab, saat itu tidak bisa menyampaikan apa yang menjadi persoalan yang ada.

“Kita menuntut agar bagaimana proses percepatan konflik reforma agraria yang ada di Kabupaten Sukabumi ini bisa cepat diselesaikan, terlebih ada surat intruksi dari Mendagri bahwa ada tiga titik prioritas di akhir tahun 2021 harus sudah selesai. Namun sampai hari ini kita melihat belum ada tahapan apapun, tidak ada keseriusan dari Ketua Gugus Tugas Reforma Agraria dalam hal ini Bupati Sukabumi,” ujar Anggi seusai unras.

Ia menjelaskan, pada 21 September 2021 lalu Bupati Sukabumi menyampaikan telah membagikan sertifikat Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Namun ditegaskannya bahwa perlu diketahui bersama ada perbedaan antara TORA dan Program Sertifikat Tanah Gratis (PTSL).

“Dalam TORA sertifikasi lahan adalah tahap terakhir, tetapi berbicara Perpres 86 ini Tora itu merupakan redistribusi tanah eks lahan-lahan HGU atau HGB yang sudah tidak terpakai, terlantar atau perpanjangan itu harus melepaskan 20 persen untuk masyarakat, itu baru bisa dikatakan sebagai Tora,” paparnya.

Ia memaparkan, sertifikat TORA yang dibagikan bupati saat itu merupakan sertifikat PTSL yang merupakan sertifikat tanah yang sudah dikuasai oleh masyarakat sehingga tidak ada konflik disertifikasi.

“Jadi perlu ada pemahaman, bahwa yang dibagikan itu bukan Tora. Bupati sama saja menyampaikan kebohongan publik kepada rakyatnya. Makanya tadi kita sampaikan bupati pembohong, karena alasan kita seperti itu, kalau berbicara Tora tanah mana yang sudah distribusi oleh ketua GTRA ini. Yang menjadi tiga titik prioritas hari ini antara lain ada PT Jaya, Bumiloka, dan Surya Nasa sampai hari ini juga belum,” jelasnya.

Anggi menjelaskan, sampai hari ini jika berbicara soal jumlah HGU dan HGB di Sukabumi, ada 58 sedangkan yang sudah berjalan baru dua, lalu sisanya terindikasi terlantar.

“Mari kita kroscek bersama ke lapangan, sudah hampir 80 persen lahan lahan HGU dan HGB di Sukabumi ini sudah dikuasai oleh masyarakat, harusnya ketua harian dalam hal ini adalah ATR BPN Sukabumi mengeluarkan sertifikat terindikasi terlantar, karena itu akan dijadikan sebagai tanah subjek Tora untuk dibagikan kepada masyarakat,” imbuhnya.

Ia menyesalkan dalam aksinya yang telah dilakukan bersama kawan – kawan mahasiswanya, Ketua GTRA tidak pernah hadir. Bahkan sudah diundang secara resmi pun untuk berdialog tetapi tetap saja tidak pernah hadir.

“Kita datang aksi demonstrasi bersama kawan-kawan ke kantornya juga ternyata tidak menampakan diri juga sampai hari ini. Tanggal 21 dia (bupati) berkicau di media sosial, bahwa dia membagikan sertifikat Tora, kita menanyakan Tora itu di mana, tanah Tora yang sudah diredisibusi di mana, eks HGI dan HGB yang sudah diredisibusi. Ini sama saja pimpinan tidak bisa bekerja, dan tidak bisa memahami, harusnya tiga titik prioritas tahun ini harus sudah selesai dan mampu menjelaskan kepada kita,” ketusnya.

“Secara garis besar jawaban-jawaban dari dewan, kita menilai normatif saja, mereka selalu bilang, menampung, menampung dan menampung saja. Para prakteknya beliau-beliau melakukan sidak, tidak ada dampak yang signifikan untuk masyarakat, malah justru menuai konflik di lapangan,” ucap Anggi.

Jika tidak ada jawaban atas permasalahan itu Anggi menegaskan akan kembali melakukan aksi pada hari pangan nasional 16 Oktober 2021 mendatang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *