Indonesia Negeri Buzzer, Bayarannya Rp 50 Juta

Buzzer

RADARSUKABUMI.com – Buzzer. Istilah ini marak di Indonesia, khususnya sebagai propaganda politik. Ternyata ada fakta mencengangkan soal buzzer yakni sebuah penelitian dari Universitas Oxford dan Institut Internet Oxford, Inggris membuktikan bahwa Indonesia merupakan satu dari 70 negara yang terdeteksi memiliki buzzer.

Penelitian terbaru berjudul “The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation” itu mengungkap aktivitas buzzer politik sebagai penggerak isu politik yang merupakan propaganda dari pihak politikus tertentu, di media sosial Twitter, WhatsApp, Instagram dan Facebook.

Bacaan Lainnya

Di balik perang tagar, ada peran buzzer politik untuk menaikkan isu menjadi sebuah trending topic. Hal ini senada dengan kesaksian Ranger (bukan nama sebenarnya), seorang buzzer politik kepada IDN Times dalam sebuah wawancara akhir tahun lalu.

Dilansir dari IDN Times, Ranger mengakui aktivitasnya di media sosial dilakukan sesuai pesanan pihak tertentu. Perang opini di media sosial untuk memunculkan suatu isu atau propaganda menjadi ladang bisnis para buzzer.

“Goals-nya adalah trending. Jadi nanti ketentuannya dari koordinator (bilang), ‘oke stop, oke mulai’, itu dari koordinatornya. Jadi ketika mulai memang sampai ada isu yang mereka ingin angkat dan itu terangkat,” kata Ranger.

Laporan penelitian yang ditulis oleh Samantha Bradshaw Philip N Howard dari Oxford mengungkap bayaran yang diterima buzzer berkisar antara Rp1 juta hingga Rp50 juta.

Sementara itu Ranger mengaku, honornya untuk mengerjakan proyek trending topic biasanya dibayarkan bulanan dengan nilai berkisar di atas Rp4 juta. “Tapi itu mungkin kalau dua tahun terakhir. Kalau tiga tahun yang lalu, empat tahun yang lalu di atas dua, di bawah tiga juta,” tuturnya.

Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa kapasitas buzzer di Indonesia tergolong kapasitas rendah. Kapasitas buzzer yang rendah melibatkan tim kecil yang mungkin aktif selama pemilihan atau referendum tetapi menghentikan kegiatan sampai siklus pemilihan berikutnya.

“Tim berkapasitas rendah cenderung bereksperimen dengan hanya beberapa strategi, seperti menggunakan bot untuk memperkuat disinformasi. Tim-tim ini beroperasi di dalam negeri, tanpa operasi di luar negeri,” kata laporan itu.

Laporan itu juga menyebut buzzer di Indonesia disewa secara temporer dan melibatkan lebih banyak dari masyarakat biasa ketimbang organisasi khusus. Sementara itu, Ranger mengaku ada koordinator khusus yang mengatur satu tim.

Ranger sendiri mengaku tidak mengetahui siapa-siapa saja orang di dalam timnya. “Memang tidak dibuka. Jadi yang (aku) tahu paling di atasku, itu pasti tahu siapa di atasnya. Tapi kalau untuk ke atasnya lagi, biasanya terlalu banyak layer sih jadi gak bisa sampai ketahuan,” ujarnya.

Dia pun mengatakan interaksi di dalam tim buzzer itu menggunakan sistem satu pintu. “Hanya dari orang satu ke orang ke dua. Kalau mau sampai orang kelima, yang bisa berinteraksi ke orang lima itu hanya orang empat,” tegas Ranger.

Di Indonesia, dalam laporan tersebut Oxford itu, buzzer disebut berafiliasi dengan politikus dan partai politik, serta kontraktor swasta. Masing-masing mereka terafiliasi dengan organisasi atau kelompok yang ditemukan bergerak menjadi kelompok buzzer.

“Salah satu fitur penting dari kampanye organisasi manipulasi media sosial adalah bahwa pasukan siber (cyber troops) alias buzzer sering bekerja bersama dengan industri swasta, organisasi masyarakat sipil, subkultur internet, kelompok pemuda, peretas (hacker) kolektif, gerakan pinggiran, influencer media sosial, dan sukarelawan yang secara ideologis mendukung perjuangan mereka,” papar laporan itu.

Tujuan dalam kelompok-kelompok ini seringkali sulit untuk digambarkan dan dibedakan, terutama karena kegiatan dapat secara implisit dan eksplisit disetujui oleh negara.

Ada 4 cara bagaimana buzzer bergerak: pertama, bot atau akun otomatis yang dirancang untuk meniru perilaku manusia secara online. Kedua adalah manusia itu sendiri. Ketiga, robot, dan terakhir adalah akun yang diretas atau dicuri.

Di Indonesia, menurut penelitian Oxford, buzzer lebih banyak yang digerakkan oleh bot dan manusia secara langsung. Senada, Direktur Komunikasi Indonesia Indicator, Rustika Herlambang, menyebut lebih banyak akun manusia dibanding dengan akun robot pada buzzer di Indonesia.

Sementara itu, Ranger menyebut para sistem penggunaan akun palsu pun dilakukan. “Akun palsu pasti atau mereka bikin akun anonim besar yang memang memberikan data-data dan ternyata masyarakat suka,” ujarnya.

“Ada yang follow-follow dan mereka jadi besar. Nah akun itu biasanya jadi main account-nya. Tapi mereka punya akun-akun kecil yang rata-rata palsu untuk support, kayak gitu sih polanya,” sambung Ranger.

Ranger setuju jika mereka disebut sebagai pasukan khusus. Dia mengatakan tidak pernah mengalami tekanan tertentu selama menjadi buzzer. “Karena mereka (buzzer) menyatakan sesuatu dengan data. Jadi gak ada tekanan sesuatu. Mungkin kalau mereka diancam di dunia digital ketika lagi melakukan buzzer, itu biasa,” kata dia.

Dalam laporan tersebut, ada 5 media sosial yang banyak digunakan oleh buzzer dalam memanipulasi kabar di media sosial yakni Twitter, WhatsApp, YouTube, Instagram, dan Facebook. Dalam kasus di Indonesia, buzzer menggunakan semua media sosial tersebut memanipulasi kecuali melalui YouTube.

“Meskipun ada lebih banyak media sosial dari sebelumnya, Facebook tetap menjadi platform pilihan untuk manipulasi di media sosial. Di 56 negara, kami menemukan bukti secara formal kampanye propaganda komputasi terorganisir di Facebook,” tulis laporan itu.

(idntimes/izo/rs)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *