”Saya pendam sendiri dan tidak saya ceritakan ke orang tua,” katanya.Semasa SMP-SMA, Iqbal mengaku tak punya banyak teman. ”Paling tak lebih dari sepuluh orang saja. Saya maklumi saja, siapa sih yang mau berteman dengan orang cacat,” terangnya, lantas tertawa dengan nada getir.
Meski mengalami trauma hebat di pelajaran olahraga, olahraga pulalah yang membuatnya percaya diri. Suatu hari, setelah turun dari bemo, dia bertemu dengan salah seorang pengurus National Paralympic Committee (NPC) Kota Surabaya. Pria yang secara fisik tidak jauh berbeda dengan Iqbal itu menawarinya kesempatan untuk menjadi atlet. Menjadi seorang pelari cepat jarak 100 meter dan tolak peluru.
Hasilnya? Setelah melalui rangkaian latihan berlapis, pria usia 22 tahun itu mampu menggondol juara di cabang olahraga sprint dan tolak peluru. ”Dari lomba itu, semua berubah. Guru dan semuanya bangga punya teman difabel berprestasi,” ucapnya, lantas tertunduk dan sejenak terdiam.
Kini arek Tegalsari itu aktif di Pusat Studi Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Negeri Sura ba ya (Unesa). Dia menjadi pen da mping mahasiswa berkebutuhan khusus. Iqbal memilih menjadi pendamping karena berkaca pada diri sendiri.
Dia menemukan banyak sisi lain tentang penyandang disabilitas. Terlebih setelah menjadi relawan pendamping mahasiswa difabel. Dia menemukan ilmu, kepercayaan diri, keteguhan, dan semangat untuk bermanfaat dengan ke terbatasan yang dimiliki. Misalnya, dari Citra Widyaka. Mahasiswa tunanetra low vision di jurusan pendidikan luar biasa itu merupakan teman sekelasnya yang dia dampingi sejak 2014.
Bersama Raka, sapaan akrabnya, Iqbal menyadari banyak hal. ”Raka yang membuat saya open minded tentang difabel dan diri saya sendiri,” ungkapnya.Lalu, dia pernah mendampingi siswa tunagrahita saat mengikuti ujian nasional. Ada pula pengalaman saat melakukan pendampingan tes TOEFL.
