Penyerapan Tenaga Kerja Rendah, Pertumbuhan Ekonomi Belum Tepat Sasaran

Pertumbuhan ekonomi dinilai belum bisa memacu penyerapan tenaga kerja. Salah satu sebabnya belum bersandar pada industri manufaktur yang daya serap tenaga kerjanya tinggi.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, kontribusi industri pada perekonomian justru sedang turun. Kemerosotan kontribusi industri pada perekonomian atau deindustrialisasi sudah terjadi 10 tahun terakhir. Dari 26 persen, kontribusi industri manufaktur pada produk domestik bruto (PDB) menjadi hanya 20 persen.

Bacaan Lainnya

“Kalau deindustrialisasi ini dibiarkan maka serapan tenaga kerja secara nasional bisa kurang optimal,” ujar Bhima di Jakarta, Senin (25/6).

Dia menuturkan, pemerintah perlu memberi insentif pada industri penyerap tenaga kerja. Seperti penerapan pajak, cukai, dan retribusi berbeda atau khusus dibanding sektor dengan daya serap tenaga kerja rendah.

Selama bertahun-tahun, Indonesia mengandalkan pertumbuhan ekonomi pada sektor-sektor yang serapan tenaga kerjanya rendah seperti sektor jasa. Selain rendah serapan tenaga kerja, sebaran usaha sektor jasa juga terkonsentrasi di perkotaan. Padahal, lebih dari separuh penduduk Indonesia tinggal di perdesaan.

Berbeda dengan industri manufaktur yang memiliki daya serap tenaga kerja tinggi, serta dapat dibangun di mana saja sesuai potensi daerah. Idealnya industri manufaktur menjadi sektor andalan, dengan ditunjang sektor jasa, pertanian, dan investasi. Oleh karenanya, seluruh pemangku kepentingan perlu menyatukan pandangan dan upaya untuk mengembalikan sektor industri sebagai motor pembangunan.

Berdasarkan data yang dihimpun, kemerosotan industri antara lain bisa dilihat di Batam, daerah yang dirancang menjadi salah satu pusat industri. Setiap tahun, paling sedikit satu pabrik berhenti beroperasi di berbagai kawasan industri. Di luar kawasan industri, kemerosotan terlihat pada sektor galangan kapal. Dari 110 galangan dengan 250.000 tenaga kerja pada 2014, kini hanya lima galangan aktif dengan total pekerja tidak sampai 22.000 orang.

Kemerosotan juga terlihat nyata pada industri rokok. Dalam periode 2006-2016, 3.195 pabrik rokok tutup dan sedikitnya 32.729 pekerja pabrik rokok dipecat. Hampir seluruh pekerja yang dipecat merupakan pelinting atau pekerja sigaret kretek tangan (SKT). Jumlahnya terus meningkat. Para pekerja tidak punya keahlian lain karena buruh pelinting adalah orang-orang berketerampilan rendah yang tidak bisa dengan mudah mengganti pekerjaan.

(srs/JPC)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *