Mana Lebih Berbahaya untuk Kesehatan, Galon BPA atau Plastik PET ? Simak Penjelasannya

Hasil pengawasan BPOM terhadap kemasan galon AMDK
ILUSTRASI. Hasil pengawasan BPOM terhadap kemasan galon AMDK menunjukan migrasi BPA di bawah 0,01 bpj dari batas aman 0,6 bpj. (Istimewa)

JAKARTA — Pertanyaan paling menohok terkait  air minum dalam kemasan (AMDK) galon plastik adalah, mana yang lebih berbahaya buat kesehatan manusia: galon polikarbonat (PC) plastik keras yang mengandung bisphenol-A (BPA) atau galon yang menggunakan plastik  polyethylene terephthalate (PET)? Kedua jenis kemasan plastik ini memiliki kelebihan dan kekurangan terkait risiko kesehatan bagi manusia.

Terkait produk-produk makanan dan minuman, kemasan polikarbonat yang kita kenal sebagai plastik keras atau kaku itu biasa digunakan sebagai galon isi ulang air minum 19 liter. Sementara, kemasan PET biasa digunakan untuk botol air minum ukuran 300 mililiter hingga 1 liter dan galon 15 liter.

Bacaan Lainnya

Sejumlah penelitian mengungkap bahwa BPA berdampak terhadap kesehatan melalui mekanisme gangguan hormon, khususnya hormon estrogen. BPA pada gilirannya berkaitan dengan gangguan sistem reproduksi, baik pada pria maupun wanita, diabetes, obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal, kanker, dan perkembangan kesehatan mental.

Sementara itu, PET dibuat dari, salah satunya, etilen glikol, yang juga berpotensi menimbulkan risiko kesehatan bila dikonsumsi secara ekstrem berlebihan.

Semua dampak kesehatan tersebut, baik dari polikarbonat maupun PET, dapat terjadi dalam konteks bahan kimia pembentuk kedua plastik itu bermigrasi ke bahan pangan (makanan dan minuman) yang dikemas pada tingkatan tertentu dan disebabkan oleh pola perlakuan  terhadap tiap-tiap kemasan (seperti dibiarkan terpapar sinar matahari langsung dalam waktu lama atau disimpan dekat benda berbau tajam).

Guru Besar Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Andi Cahyo Kumoro memperkuat pendapat ini. “Pelepasan BPA pada galon guna ulang rentan terjadi bila galon sampai tergores atau terpapar sinar matahari langsung,” katanya. “Efeknya,  paparan BPA bisa memunculkan gangguan pada sistem saraf dan perilaku anak. Sedangkan pada ibu hamil bisa memicu keguguran.”

Setidaknya sejak dekade kedua Abad ke-21, regulasi di sejumlah negara mulai membatasi, dan bahkan melarang, penggunaan kemasan plastik polikarbonat karena kandungan BPA di dalamnya. Pada 2018, misalnya, Uni Eropa menurunkan batas migrasi BPA yang semula 0,6 bpj (bagian per juta) menjadi 0,05 bpj. Beberapa negara, seperti Perancis, Brazil, serta negara bagian Vermont dan Distrik Columbia di Amerika Serikat bahkan melarang penggunaan BPA pada kemasan pangan, termasuk air minum. Negara bagian California di Amerika Serikat mengatur pencantuman peringatan label bahaya BPA pada kemasan produk pangan olahan.

Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah merancang peraturan pelabelan BPA pada air minum dalam kemasan plastik galon BPA. Rancangan itu antara lain akan mewajibkan produsen air minum dalam kemasan galon BPA untuk mencantumkan label “Berpotensi mengandung BPA” pada produknya.

Selain karena tren pembatasan penggunaan kemasan yang mengandung BPA di sejumlah negara, BPOM menempuh kebijakan tersebut setelah melakukan survei lapangan, baik di sarana produksi maupun peredaran, selama 2021-2022. Hasil survei lapangan itu menemukan 3,4 persen sampel di sarana peredaran tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA, yakni 0,6 bpj.

Lalu ada 46,97 persen sampel di sarana peredaran dan 30,91 persen sampel di sarana produksi yang dikategorikan “mengkhawatirkan”, atau migrasi BPA-nya berada di kisaran 0,05 bpj sampai 0,6 bpj. Ditemukan pula 5 persen di sarana produksi (galon baru) dan 8,67 persen di sarana peredaran yang dikategorikan “berisiko terhadap kesehatan” karena migrasi BPA-nya berada di atas 0,01 bpj.

Mengiringi temuan itu, epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono, kemudian mendorong rencana pelabelan BPA itu agar segera dilaksanakan. Dorongan ini berkaitan dengan masih adanya penolakan atas rencana itu dari kalangan industri air minum dalam kemasan.

Pos terkait