Di daerah empat penjuru itu kemudian ditanami masing-masing kepala sapi sebagai tumbal untuk melindungi kota Sukabumi dari roh-roh jahat. Akhirnya wabah berangsur-angsur hilang dan sejak saat itu Kongco diarak keliling Kota Sukabumi dalam acara Cap Go Meh.
Vihara ini menjadi simbol keragaman di Kota Sukabumi mengingat sudah lebih dari 200 tahun orang Tionghoa menghuni wilayah ini. Pada awalnya orang Tionghoa tinggal di Chinesekamp, Jalan Ahmad Yani sekarang, namun sesudah berdirinya klenteng, banyak yang mulai tinggal di sekitar klenteng.
Peduduk yang mayoritas Muslim sudah lama berinteraksi dengan masyarakat Tionghoa di sini dan hidup berdampingan. Secara sosial mereka berhubungan dalam perdagangan, mengingat kebanyakan profesi warga Tionghoa adalah pedagang.
Ada masyarakat muslim yang bekerja di toko Tionghoa atau berjualan di sekitar klenteng seperti tukang cakwe gado-gado, nasi kuning, dan sekoteng.
Di belakang Klenteng juga berdiri mushola, bahkan sebuah masjid dekat Lapang Danalaga dan Gang Murni menjadi tanda toleransi yang baik. Salah seorang mualaf Tionghoa juga membuka praktek dokter di seberang vihara. Bahkan, banyak pemuda Muslim mengikuti olahraga kungfu di vihara dan menjadi pemain barongsay.(*)