Nasdem : Kinerja Legislasi DPR Masih Memprihatinkan

DPR
KINERJA DPR. Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021 tidak memiliki perubahan yang signifikan baik secara kuantitatif maupun kualitiatif. (MIFTAHULHAYAT/JAWA POS)

JAKARTA — Ketua DPP Partai Nasdem Atang Irawan mengatakan, Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR tahun 2021 tidak memiliki perubahan yang signifikan baik secara kuantitatif maupun kualitiatif. Bahkan, secara kuantitatif dapat dikatakan sama saja dengan realisasi prolegnas tahun-tahun sebelumnya.

“Jika berkaca ke belakang maka dapat dikatakan bahwa Prolegnas masih mengalami potret buram,” ujar Atang kepada wartawan, Jumat (31/12).

Bacaan Lainnya

Berdasarkan data, tahun 2021 DPR hanya mengesahkan 8 Rancangan Undang-Undang (RUU) dari 33 RUU yang ditetapkan dalam Prolegnas. 8 RUU tersebut diantaranya RUU Kejaksaaan, RUU Jalan, RUU Otonomi Khusus Papua, RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, RUU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, serta tiga RUU mengenai pembentukan pengadilan di beberapa daerah.

Artinya, terang Atang, tidak ada perubahan yang signifikan dari target Prolegnas di tahun 2021. Di tahun-tahun sebelumnya juga sama, jumlah RUU yang ditetapkan hanya sedikit dibandingkan yang masuk dalam Prolegnas.

Atang pun memberikan contoh konkret, misalnya di tahun 2015 hanya 3 RUU yang disahkan, lalu 10 RUU pada 2016, 6 RUU pada 2017, 5 RUU pada 2018, 14 RUU pada 2019, dan 3 RUU pada 2020.

Dia juga mengingatkan Prolegnas bukan hanya sebatas deretan daftar RUU yang akan dibahas dalam satu tahun, sehingga hanya terkesan dalam rangka memenuhi target (kejar setoran) dalam bentuk wist list, tapi seharusnya penetapan Prolegnas sebagai prioritas didasarkan pada tujuan bernegara yang secara filosofis sesungguhnya telah tegas dinyatakan dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945.

“Sehingga Prolegnas bukan hanya keranjang sampah yang kemudian dipungut dengan dasar kesukaan lembaga pembentuk UU,” katanya.

Menutur Atang, banyaknya RUU yang memiliki relasi kuat (close engagement) dengan tercerabutnya pemenuhan hak konstitusional rakyat justru tidak ditetapkan sebagai UU. Misalnya saja RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Masyarakat Hukum Adat dengan alasan persoalan-persoalan teknis harmonisasi kemudian menjadi terabaikan.

“Sebaiknya tarik menarik kepentingan dan perbedaan pandangan menjadi kekuatan pokok dalam perumusan, pembahasan dan penetapan RUU yang berimplikasi kepada perlindungan hak-hak fundamental rakyat,” ungkapnya.

Atang menyarankan agar pemerintah sebaiknya segera membentuk pusat atau badan regulasi nasional. Nantinya, badan ini langsung berada di bawah presiden. Tujuannya, agar dalam segi formal peraturan perundang-undangan tidak berakibat munculnya disharmoni atau bertentangan, dan juga agar tertata dengan baik serta lebih efektif dan efisien.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *