ROHINGYA WAJAH KEMANUSIAAN KITA

Sebagai pendidik saya menyatakan sungguh ketakberadaban itu sering mengemuka di sebagian muka bumi ini, tragedi Rohingya faktanya. Proses pendidikan terlihat gagal dibeberapa tempat di muka bumi ini. Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Tatkala manusia belum menjadi manusia yang tak mampu mengembangkan potensi nalar dan rasanya maka kemanusiaannya belum selesai ditemukan.

Perilaku sesama manusia yang melintasi kebinatangan terkadang dapat dengan mudah kita lihat saat ini dan pada masa yang lalu dalam lembaran sejarah.
Padahal semua manusia pada dasarnya adalah satu tubuh bahkan dari keturunan yang sama yakni Nabi Adam a.s. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi bila Tuhan tidak memprotek umat manusia dalam perspektif religis berasal dari Bapak yang sama. Anehnya dalam tragedi Rohingya potensi Qabilian yang menguat, bukan Habilian yang mulia.

Bacaan Lainnya

Perilaku “penjagalan” manusia di palanet ini masih sering terjadi seperti di Rohingya saat ini. Bila zaman primitif terjadi kanibalisme dan pembunuhan sadis masih bisa dipahami. Bila saat ini zaman humanisme, zaman HAM, zaman sudah mengenal pendidikan formal dan sudah menganut agama, kok bisa ada perbuatan brutal yang mirip dengan binatang. Bahkan binatangpun tidak melakukan pembantaian pada sesama jenisnya.

Ini sudah sangat keterlaluan dan masuk kategori super biadab. Inilah wajah kemanusiaan kita. Kita sebagai warga populasi manusia sungguh harus malu pada “warga” populasi binatang. Sapi, kambing, domba dan harimaupun tidak melakukan pembantaian pada sesamnya. Manusiakah kita? Si Korban adalah manusia dan yang menjagal bukanlah manusia. Bukan binatang dan bukan pula Iblis entah apa namanya.

Wajah kemanusiaan kita sudah lebih rendah dari binatang, mungkin sudah masuk kategori Iblis laknatullah. Atau bahkan Iblis saja tidak membantai sesama populasi Iblis. Kesimpulannya wajah kemanusiaan kita lebih rendah dari Iblis. Bahkan terkadang wajah kemanusiaan kita memperlihatkan ada seorang perempuan melahirkan anak yang dikandungnya kemudian dibuang ke tong sampah. Iblis saja tidak mengaborsi anaknya.

Wajah kolektif kemanusiaan kita sungguh memalukan bahkan lebih memalukan dari mempertontonkan alat vital di ruang publik. Bila ada seorang bule di Eropa sana telanjang karena berdemo mengaspirasikan sesuatu masih bisa dipahami. Namun bila sekelompok orang membantai, menjagal, meng-genoseida kelompok yang lain sungguh sangat biadab.

Ribuan orang tak berdosa dijagal memperlihatkan sebuah perilaku yang tidak dilakukan oleh binatang ataupun Iblis sekalipun. Sungguh kejahatan di Rohingya adalah kejahatan yang Iblis saja tidak berani melakukannya. Dimana wajah kemanusiaan kita, sebagai warga dunia yang harus satu tubuh, seirama dan saling menyayangi? Dimana rasa persaudaraan sebagai warga dunia yang punya nalar dan rasa?

Malulah kita sebagai manusia. Wajah kita dihadapan Tuhan dan dihadapan langit dan bumi sungguh sangat menjijikan. Kita adalah manusia harusnya mampu menjadi khalifah yang penuh kasih diantara sesama apapun perbedaannya. Kekuasaan, politik, ambisi, dendam, kebencian dan rasa binatang dan spirit Iblis telah menguasai saudara kita yang ada di negeri sana.

Tragedi Rohingya adalah miniatur sebagian wajah kemanusiaan kita yang memperlihatkan kebiadaban tiada tara. Para penjagal bukanlah manusia, mereka adalah sosok bukan manusia yang memperlakukan manusia muslim sebagai binantang. Padahal dihadapan Tuhan semuanya kelak akan dipertanggungjawabkan. Siapa sebenarnya yang manusia? Siapa sebenarnya yang menduplikasi binatang dan Iblis?

Sebagai warga Indonesia mari kita berdoa dan hindari kebencian dan saling meniadakan diantara kita. Hindari saling menghujat dan mencaci karena ini adalah cikal bakal tumbuhnya benih-benih permusuhan dan ujungnya saling membantai. Mari kita kuatkan keberagamaan kita, kuatkan solidaritas dan kuatkan rasa saling mengasihi.
Tubuh kita berbeda, lahir dari tempat dan daerah berbeda tapi hati kita satu sebagai manusia anak Adam as. Kita berhati besar Adam bukan berhati hitam Iblis.

Malu kita pada Tuhan, pada Bapak kita Nabi Adam a.s. dan malu kita pada rasa kemanusiaan kita yang ada dalam bathin kita yang paling dalam. Mari kita berbuat untuk memperbaiki wajah kemanusiaan kita. Berbuatlah yang terbaik untuk manusia di sekitar kita dan bila perlu berikan apa yang bisa kita berikan pada saudara kita di Rohingya. Ber-agama-kah kita? Punya hatikah kita? Manusiakah kita? Semoga kita masih manusia.
Mereka yang menjagal saudaranya sendiri di Rohingya bukanlah manusia.

Yu kuatkan Pancasila di atas keberagaman adat, budaya, agama, bahasa dan beragam keberbedaan yang unik dan menarik di negeri ini. Bila keberbedaan dan keberagaman tidak dibingkai oleh rasa cinta kasih dalam hati besar se Adam a.s. maka kita akan menunggu bencana pada masa yang akan datang. Stop saling hujat. Stop saling benci. Stop saling dendam.

Mari bergandengan hati untuk sama-sama berlomba-lomba dalam mencari ridho Illahi. Siapa yang paling mulia diatara kita tidak ditentukan oleh darimana kita, wajah kita, warna kulit kita dan agama kita melainkan karakter mulia kita.

Karakter mulia kita yang didasari iman dan takqwa yang sebenar-benarnya iman dan takwa. Pancasila dan agama yang kita anut adalah modal kita untuk menjadi bangsa mulia.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *